Ketika Imam Khalil Cemburu Kepada Imam Sibawaih Hingga Kelahiran Ilmu ‘Arudl

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Mohammad Shofi Anwar

الرِّزْقُ عَنْ قَدَرٍ لَاالضَّعْفُ يَنْقُصُهُ # وَلَايَزِيْدُكَ فِيْهِ حَوْلُ مُحْتَالٍ

وَالفَقْرُ فِي النَّفْسِ لَافِي المَالِ نَعْرِفُهُ # وَمِثْلُ ذَاكَ الغِنَى فِي النَفْسِ لَاالمَالِ

Rezeki yang ada jangan dilemahkan egoisme diri # Dan ditopang oleh tipu daya nafsu jahat

Kefakiran ada dalam jiwa, bukan harta # Sebagaimana kaya itu di hati, bukan harta

(Khalil bin Ahmad Al Farahidi)

Bagi pecinta bahasa Arab, khususnya yang menggeluti ilmu nahwu pasti tidak asing dengan Imam Sibawaih, yang sering disebut sebagai bapaknya ilmu nahwu. Imam Sibawaih adalah sosok pemuda yang memiliki kealiman dalam kancah disiplin ilmu terutama lughat dan nahwu. Dibalik kealiman Imam Sibawaih ada sosok guru yang tak kalah hebatnya, yaitu Imam Khalil bin Ahmad Alfarahidi. Ketika kita mempelajari Nahwu, mungkin nama Imam Khalil jarang disebut. Yang sering disebut justru Imam Sibawaih. Padahal Imam Sibawaih mempelajari ilmu nahwu dari Imam Khalil. Bahkan Kitab Sibawaih karya Imam Sibawaih banyak diambil dan diriwayatkan dari Imam Khalil. Ada kisah yang menarik antara Imam Khalil dan Imam Sibawaih yang diceritakan dalam beberapa riwayat. Kisah ini juga menjadi tonggak pertama kelahiran ilmu Arudl. Suatu ilmu yang menurut beberapa orang sudah jarang dipelajari. Kita bisa mengambil hikmah dari kisah menarik ini, dalam rangka menambah semangat kita dalam belajar.

Dalam Kitab Al Wasith Fi Al ‘Adab Al ‘Araby wa Tarikhuhu, diceritakan bahwa Imam Khalil bin Ahmad mempunyai nama asli Abu Abdurrahman Khalil bin Ahmad bin ‘Amr bin Tamim Al Farahidi Al Azdi Al Bashori. Di beberapa riwayat Imam Khalil bin Ahmad lebih dikenal dengan Al Farahidi. Al Farahidi dinisbatkan pada Farahid ibn Malik ibn Abdullah ibn Malik Ibn Mudhor Ibn al-Azad. Imam Khalil adalah seorang cendekiawan Arab, ahli sastra, penemu Ilmu ‘Arudl, penemu kamus, dan pemberi syakl/ harakat yang kita gunakan sekarang.

Imam Khalil dilahirkan pada tahun 100 H dan dibesarkan di Bashrah. Selama di Bashrah, Imam Khalil mempelajari bahasa Arab, hadis nabi, dan qiro’ah dari para imam pada zamannya. Dia lebih sering keluar dari rumahnya dan lebih banyak mendengar bahasa Arab fusha, sehingga dia sangat mahir dalam berbahasa Arab. Imam Khalil sangat ahli dalam analogi dan memecahkan masalah-masalah nahwu beserta penjelasannya, kemudian mengembangkan dan menggolongkannya berdasarkan dasar-dasar yang ada. Menurut Syeh Al Iskandar dan Syeh Musthofa Anani selain cerdas, Imam Khalil juga dikenal sebagai seorang yang zaahid (Zuhud), muta’affifan (memelihara diri dari dosa), mutaqossyifan (tinggal dalam kesederhanaan).

Syauqi Daif dalam bukunya Al Madaris An Nahwiyah mengungkapkan bahwa, Imam Khalil memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga menjadi orang yang sangat ‘alim dan belum ada tandingannya. Salah satu bukti sumbangsih Imam Khalil dalam bidang ilmu nahwu adalah beliau memunculkan istilah-istilah kebahasaan seperti mubtada’, khabar, kaana wa akhawatuha, Inna wa akhawatuha, fi’il ladzim, muta’adi, hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Selain itu, Imam Khalil juga berhasil menyusun tanda-tanda nahwu yang berhubungan dengan i’rob dan bina’ dalam setiap kata Arab seperti rofa’, nasab, jar, dan lain sebagainya.

Menurut salah satu sumber, Imam Khalil tidak menulis prinsip-prinsip nahwu Arab dalam buku besarnya. Yang menulis prinsip-prinsip nahwu tersebut justru muridnya, yakni Imam Sibawaih. Mungkin hal inilah yang membuat Imam Sibawaih lebih dikenal sebagai ‘ulama’ nahwu daripada Imam Khalil. Imam Sibawaih telah menulis hampir semua kaidah nahwu dan shorof yang diajarkan Imam Khalil. Apabila Imam Sibawaih menyatakan “سألته” (aku bertanya kepadanya) atau “قال” (dia berkata), dengan tanpa menyebut fa’il (subyek)nya, maka yang dimaksud dengan dhomir “nya” dan “dia” tersebut adalah Imam Khalil.

Ada sebuah kisah menarik antara guru dan murid ini, yaitu Imam Khalil dan Imam Sibawaih yang diceritakan dalam beberapa riwayat yang berbeda. Konon Imam Khalil adalah seorang ulama’ yang memiliki banyak santri pada masanya. Banyak orang dari segala penjuru datang kepadanya untuk belajar ilmu nahwu dan shorof. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa Imam Khalil sangat ahli dalam ilmu nahwu shorof dan kemampuannya jarang dimiliki orang-orang Arab pada masa itu. Hingga suatu ketika datanglah Imam Sibawaih kepadanya untuk belajar ilmu nahwu dan shorof. Selama belajar dengan Imam Khalil, Imam Sibawaih terkenal sebagai murid yang cerdas dan tekun. Bahkan karena kecerdasan dan ketekunannya itu, Imam Sibawaih mampu mengungguli gurunya yakni Imam Khalil. Karena kecerdasan dan ketekunanannya pula, Imam Sibawaih berhasil menyusun kitab yang dikenal dengan Kitab Sibawaih, yang mana kitab itu banyak diriwayatkan dari Imam Khalil. Setelah Imam Sibawaih menyelesaikan studinya bersama Imam Khalil, Imam Sibawaih pulang ke kampung halamannya. Betapa terkejutnya Imam Khalil ketika mengetahui bahwa murid-muridnya yang lain ikut Imam Sibawaih pulang ke kampung halamannya. Murid-murid Imam Khalil lebih tertarik belajar nahwu dan shorof kepada Imam Sibawaih dari pada kepada dirinya.

Bisa kita bayangkan, betapa sedihnya Imam Khalil saat itu ketika ditinggal oleh murid-muridnya. Bisa dibilang Imam Khalil cemburu kepada Imam Sibawaih karena murid-muridnya lebih memilih belajar kepada Imam Sibawaih dari pada dengannya. Imam Khalil tidak mau terus-terusan merasa sedih dan cemburu. Tak lama setelah itu, Imam Khalil pergi ke tanah haram (mekah) untuk berdo’a kepada Allah supaya diberikan ilmu, yang mana ilmu tersebut belum pernah diberikan kepada siapapun. Allah mengabulkan do’a Imam Khalil. Sepulang dari tanah haram, Imam Khalil melewati sebuah pasar tembaga dan beliau mendengarkan irama pukulan palu para tukang tembaga disana. Setiba di rumah, Imam Khalil merenungi irama alunan palu tersebut dan menyusunnya menjadi kaidah-kaidah ilmu yang dinamakan ilmu ‘Arudl.

Sedangkan dari sumber lain, dikisahkan bahwa sepulang dari tanah haram Imam Khalil menyeberangi lautan yang luas. Ketika menyeberangi lautan, Imam Khalil mendengar suara gelombang air laut memunculkan not-not irama teratur. Setelah Imam Khalil merenungi not-not tersebut, ternyata not-not irama dari gelombang air laut itu mengikuti pola fa’ilun- mustaf’ilun- fa’ulun. Kemudian Imam Khalil menata dan menyusun not-not tersebut hingga melahirkan sebuah kaidah ilmu baru yang dinamakan Ilmu Arudl. Oleh karenanya dalam kaidah ilmu Arudl, terdapat istilah bahr, yang artinya laut. Bahr adalah wazan/neraca tertentu yang dibuat pedoman oleh penyair dalam membuat sya’ir.  Mungkin kata bahr muncul karena not-not irama ilmu Arudl berasal dari gelombang air laut yang ditemukan Imam Khalil ketika menyeberangi lautan.

Kisah Imam Khalil mendapatkan ilmu Arudl diabadikan dalam nadzam berikut:

عِلْمُ الخَلِيْلِ رَحِمَةُ اللهِ عَلَيْه # سَبَبُهُ مَيْلُ الوَرَى لِسِيْبَوَيهْ

Ilmunya Imam Khalil, semoga rahmat Allah tercurah beliau # penyebabnya ialah condongnya manusia pada Imam Sibawaih

فَخَرَجَ الإِمَامُ يَسْعَى لِلْحَرَمْ # يَسْأَلُ رَبَّ البَيْتِ مِنْ فَيْضِ الكَرَمْ

Lalu, Sang Imam pun keluar pergi menuju tanah haram (Mekah), # memohon pada Tuhan Baitullah (Ka’bah) dari luapan anugrah

فَزَادَهُ عِلْمَ العَرُوْضِ فَانْتَشَرْ # بَيْنَ الوَرَى فَأَقْبَلَتْ لَهُ البَشَرْ

Maka, Tuhan pun menambahkan padanya Ilmu Arudl, lalu meyebarlah ilmu itu # diantara kalangan manusia, maka merekapun mengahadap kepadanya

Dari peristiwa ini, Allah mengabulkan doa Imam Khalil untuk memberinya ilmu yang belum pernah diberikan kepada siapa pun. Itulah ilmu Arudl. Ilmu Arudl adalah cabang ilmu yang membahas dasar-dasar kaidah, yang dengannya, seseorang dapat membedakan wazan-wazan sya’ir Arab yang benar dan salah, serta membahas perubahan-perubahan pada wazan sya’ir, baik perubahan berupa zihaf maupun ‘illat. Menurut KH. Abdullah Kafabihi Mahrus Pengasuh PP Lirboyo Kediri, ilmu Arudl adalah ilmu yang bergengsi, yang dipelajari santri setelah menguasai ilmu nahwu, shorof, dan balaghah (sastra Arab)

Alkisah, setelah Imam Khalil mendapatkan Ilmu Arudl, murid-muridnya yang dulu pernah meninggalkannya dan lebih memilih belajar bersama Imam Sibawaih datang kembali ke pada Imam Khalil untuk belajar ilmu Arudl, termasuk Imam Sibawaih sendiri.

Dari kisah Imam Khalil dan Imam Sibawaih kita bisa mengambil hikmah, bahwa jika kita memiliki Ilmu Allah akan mengangkat derajat kita. Kita tidak hanya mulia disisi Allah, tetapi juga mulia di antara manusia. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al Mujadalah ayat 11 yang artinya, Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman di antara kalian dan orang-orang berilmu dengan beberapa derajat. Dengan ilmu juga kita bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana sabda nabi, barang siapa menginginkan kebahagiaan di dunia raihlah dengan ilmu, barang siapa menginginkan kebahagiaan di akhirat raihlah dengan ilmu, barang siapa menginginkan kebahagiaan keduanya (dunia akhirat) maka raihlah dengan ilmu.

Cemburu dalam hal kebaikan itu boleh, apalagi cemburu terhadap kealiman orang lain. Cemburu yang dimaksud disini adalah cemburu yang menjadi pemicu untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Bukankah berkompetisi dalam hal kebaikan itu diperbolehkan ? termasuk berkompetisi dalam hal ilmu. Ini dilakukan dalam rangka  fastabiq al khairaat atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Setelah mencapai derajat ‘alim kita tidak boleh sombong dan berbangga diri. Kita harus ingat, bahwa di atas langit masih ada langit. Hendaknya kita tetap tawadhu’ dengan ilmu yang kita miliki, karena ilmu yang kita miliki untuk menambah kedekatan dengan Allah bukan untuk dibangga-banggakan.

Waallahu ‘a’lam bisshowaab…


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *