Pengantar Islam

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh : Ifan Hanafi

Semenjak Jibril as. turun dan melantik Muhammad bin Abdillah menjadi khatamul anbiya’ wal mursalin, mulai saat itu agama Islam menghendaki seluruh manusia mengganti status agama sebelumnya menjadi agama Islam. Allah SWT menurunkan syariat Islam untuk diterapkan pada setiap fungsi kehidupan. Syariat sendiri merupakan keseluruhan konstitusi umat Islam, aturan main kehidupan umat Islam yang harus dijalankan dan ditaati baik secara individu, kolektif per-kelompok, maupun sebagai sebuah bangsa melalui pranata dan norma sosial.

Hal inilah yang menjadikan ekspansi Islam ke berbagai penjuru dunia diselenggarakan. Semenjak Nabi SAW wafat, ekspansi terus dilakukan terutama di masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra. yang menduduki negeri Syam. Berlanjut hingga khalifah ke tiga dan ke empat. Bizantium di barat dan Persia di utara memang telah kelelahan berperang selama berabad-abad. Oleh karenanya di masa Mu’awiyah, Biyantium berhasil ditaklukkan melalui Spanyol, melalui Sisilia dan Pegunungan Giblatar. Persia juga demikian, bahkan hingga hari ini Islam di Persia (Iran) mengembangkan coraknya sendiri yang khas spiritual dan kekuatan rohani.

Keuntungan dari ekspansi ini, Islam menyadur berbagai bidang ilmu untuk mengambangkan akidah, syariat, dan tasawufnya. Berikut akan kami sajikan secara global bagaimana perkembangan Islam melalui tiga plot di atas. Hal ini tentu berguna sebagai wawasan keislaman yang lengkap dan kompleks.

Akidah

Akidah umat Islam pada masa nabi adalah satu yakni laa illaha illallah. Sepeninggal Nabi saw. dan seiring dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra., pergolakan politik mulai memperkeruh, diantara yang masyhur adalah sikap Muawiyah yang mengangkat Al-Quran. Pertentangan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan melahirkan dua firqoh. Satu firqoh atau kelompok adalah pembela sayyidina Ali ra. yang bernama Syiah, dan kemudian hingga kini berkembang di wilayah Iran. Satu firqoh lagi adalah Khawarij[1] (yang keluar), yakni kelompok yang menganggap sikap Ali ra. dan Muawiyah telah menyalahi Al-Quran dan keduanya dianggap salah. Khawarij, diwakili oleh Ibnu Muljam berhasil membunuh Sayyidina Ali ra., namun tidak berhasil membunuh Muawiyah.

Kelompok lain yang muncul pada masa sepeninggal Nabi SAW adalah Murji’ah (yang menunda). Kelompok ini mengambil sikap netral saat terjadi pertentangan antara Sayyidina Ali ra. dan lawan-lawannya. kenetralan ini berposisi pada sikap tidak memihak kelompok yang keras, tidak mendukung dan tidak menentang. Kelompok lain yang muncul di masa kekhalifahan Sayyidina Ali ra. adalah Muktazilah, firqoh yang netral dalam hal politik namun cenderung menggunakan akal sebagai tumpuan memahami Al-Quran dan Hadist.

Lawan dari Sayyidina Ali ra. juga berasal dari kelompok Jabariyah, yakni firqoh yang menganggap bahwa manusia diberi kebebasan yang untuk menentukan dirinya. Perkembangan seluruh firqoh-firqoh ini pada puncaknya di massa kekhalifahan Abasiyah. Kerancuan model pemikiran ini menjadi lebih rancu lagi setelah terpapar oleh filsafat Yunani. Hal ini mengingat pada masa dinasti Abasiyah adalah masa gencar-gencarnya penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Irak menjadi salah satu kota yang paling praktis terpapar gelombang pemikiran filosofis ini.

Jika menyebut tokoh, Hasan Al-Basri (w. 728 M) merupakan titik awal untuk melihat perkembangan ini. Hasan Al-Basri menganggap bahwa manusia adalah penentu perbuatannya sendiri, namun disisi lain kebaikan juga berasal dari Allah Swt. Kelompok Muktazillah secara resmi berdiri di bawah kepemimpinan pendirinya Wasil Bin Atha (h. 699-749 M). Dinamai Muktazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti ‘memisahkan diri’ dari Hasan Al-Basri. Muktazilah mengembangkan konsep janji dan ancaman (wa’du wa wa’id) yang ada di Al-Quran. Menurutnya dengan ancaman Allah SWT dalam Al-Quran, pelaku dosa besar tidak akan diampuni oleh Allah Swt. Oleh karenanya konsep Muktazilah terhadap pelaku dosa besar adalah manzilah bainal manzilataini (tempat di antara dua tempat). Menurutnya pelaku dosa besar tidak akan masuk surga dan tidak akan masuk neraka.

Asy’ariyah muncul erat kaitannya dengan firqoh muktazilah. Mengingat bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 330 H) meninggalkan gurunya, Al-Jubba’i dari kelompok Muktazilah. Kelompok lain yang hampir mirip dari Asy’ariyah adalah Maturidiyah yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Maturiddi (w. 333 H). Perdebatan atau permasalahan seputar ilmu kalam Abu Hasan Al-Asy’ari dapat dilihat dalam cuplikan berikut.

“bayangkan jika seorang anak dan seorang dewasa meninggal dalam keadaan imam sejati dan ditempatkan Allah SWT di surga. Orang dewasa tersebut menduduki tempat yang lebih tinggi ketimbang anak tersebut. Sang anak bertanya kepada Tuhan: “mengapa Engkau berikan tempat yang lebih tinggi pada orang itu ?”. Tuhan menjawab “karena ia telah beramal saleh”. Kemudian sang anak berkata: “mengapa engkau lekas mematikan aku sehingga aku tak sempat beramal saleh?” “Aku tahu bahwa engkau akan tumbuh menjadi orang durhaka, karenanya lebih baik mati belia”. Mendengar itu para penghuni neraka menjerit, “Tuhan ! mengapa engkau tidak mematikan kami saja sebelum kami menjadi durhaka?”.

Rumitnya perdebatan ilmu kalam melahirkan berbagai firqoh dalam umat Islam. Hal ini pun telah diramalkan Nabi SAW jauh-jauh hari. Banyak ahli Hadist yang meriwayatkan, tetapi penulis memilih dari yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani: “sataftariqu ummati alaa salasati sab’ina firqotan” kelak umatku akan terbagi atas 73 golongan, “annajiyatu minhaa wahidah wal baquuna halakii” hanya ada yang selamat hanya satu golongan, sisanya akan celaka. Kemudian para sahabat bertanya golongan manakah yang selamat ? Nabi SAW menjawab: “ahlu Sunnah wal jamaah”. “Siapakah ahlu Sunnah wal jamaah” tanya sahabat. Kemudian nabi menjawab: “maa anaa alaihil yaumi wal ashabi” apa yang ada padaku dan sahabatku saat ini.

Perkembangan Asy’ariyah mendapat dukungan dari Timur pada abad ke-11 H berkat wazir Bani Seljuk, Nizamul Mulk dan beberapa ulama besar seperti Imam Al-Ghazali. Sementara itu Ibn Thaimiyah akan menghidupkan kembali cara berpikir yang puritan, yang kelak kitab-kitab Ibn Thaimiyah akan dibaca dan mendapat pengaruh besar bagi Neo-Khawarij (Khawarij gaya baru) seperti Islamic State Irak and Syiria (ISIS).

 Hingga saat ini hanya ada dua golongan kelompok besar dalam hal akidah. Syiah dan Ahlusunnah Wal Jamaah. Ahlusunnah Wal Jamaah merupakan firqoh yang paling banyak di klaim, meskipun prinsip akidahnya berbeda. Ahlusunnah yang pegang orang Nahdliyyin di Indonesia merujuk pada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Sementara kelompok Wahabi saat ini cenderung tidak mau mengakui ke-Wahabi-annya melainkan mengaku sebagai Ahlusunnah, padahal prinsip akidah yang pegangnya merujuk pada Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1701 M) dan merujuk pada Ibn Thaimiyyah.

Syariat

Setelah akidah, pembicaraan kita akan mengarah pada perkembangan syariat Islam. Syariat berasal dari kata “syari’” yang berarti jalan besar menuju sumber air. Makna ini hampir sama dengan makna kata thariqah. Thariqah berasal dari kata “thariq” yang berarti jalan kecil menuju sumber air. Syari’ dengan thariq memiliki perbedaan pada makna, syari’ merupakan jalan raya yang umumnya dipakai seseorang, sementara thariq merupakan jalan pintas atau jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pada syariat ini akan lebih banyak membicarakan mengenai perkembangan fikih. Fikih sendiri merupakan konstitusi perundang-undangan bagi umat Islam.

Sejatinya fikih adalah suatu ilmu yang kodifikasi ayat dan Hadist ke dalam tema dan bab. Kehidupan Nabi SAW dan sahabat merupakan semulia-mulianya kehidupan umat Islam yang pernah ada, pada waktu itu pun fikih tidak tersusun atas kitab yang utuh. Para sahabat langsung menanyakan pada Nabi SAW tentang suatu permasalahan yang dihadapinya. Namun perkembangan selanjutnya, sepeninggal Nabi SAW, perluasan wilayah Islam kian melebar. Karena itulah permasalahan syariat kian melebar dan luas.

Sebagai contoh, ketika utusan dari Yaman menghadap Nabi SAW dan bersedia memeluk agama Islam. Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk membimbing penduduk Yaman. Sebelum berangkat Nabi SAW bertanya: “wahai Mu’adz, dengan apa kamu menetapkan sesuatu di sana ?” “dengan kitab Allah SWT” jawab Mu’adz. Nabi SAW bertanya kembali “bagaimana jika engkau tidak menemukan di kitab Allah?”, Mu’adz menjawab “maka aku menetapkan dengan Sunnah Rasulullah”, Nabi SAW kembali bertanya, “bagaimana jika engkau tidak menemukan di Sunah rasulullah?. Mu’adz menjawab, “saya akan berijtihad dengan pemikiran saya”. Maka kali ini rasul menjawabnya lagi “segala puji bagi Allah SWT yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada apa yang diridai rasulullah”.

Pesan Nabi SAW kepada Mu’adz menjadi dasar berkembangnya fikih, usul fikih dan kaidah fikih. Hadist di atas menjadi dasar semua madzhab fikih untuk berijtihad. Hasil ijtihad tersebut memperoleh produk fikih yang memiliki corak tersendiri. Madzhab hanafi merupakan madzhab pertama yang lahir, yang dinisbatkan pada Imam Nu’man bin Tsabit al-Kufi al-Hanafi (80-150 H). Abu Hanifah berguru pada seorang ulama bernama Syaikh Humad bin Abi Sulaiman yang telah mewarisi ilmu dari Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat yang terkenal dalam bidang fikih. Selain dari itu Abu Hanifah juga berguru dengan imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan Ja’far al-Sadiq. Corak pemikiran fikih Abu Hanifah mengambil Al-Quran sebagai sumber utama, kemudian Hadist, aqwal shahabah dan istihsan.

Madzhab berikutnya adalah maliki yang dinisbatkan pada Imam Malik bin Anas al-Asbahi (93-179 H), berasal dari Yaman dan lahir di Madinah, dan tak pernah meninggalkan Madinah kecuali untuk haji, beliau lebih suka duduk  bersebelahan dangan Nabi saw. Oleh karenanya Imam Malik selain mengambil Al-Quran dan Hadist sebagai hukum, beliau juga mengambil amal ahl madinah sebagai dasar penetapan hukum. Hal ini karena Nabi SAW hidup di Madinah, dan ahlu madinah-lah yang melihat secara langsung bagaimana kehidupan Nabi saw. Beliau telah banyak berguru dengan para tabi’in. Imam Malik belajar dan mengajar di Masjid Nabawi dan di antara murid beliau adalah Imam Syafi’i, anak khalifah Harun al-Rashid. Imam Malik telah menulis sebuah kitab yang dinamakan Al-Muwatta’, Buku ini mengandungi Hadith-Hadith yang Sahih dan Mursal, Fatwa sahabat dan pendapat para tabi’in, dan juga mengandungi  Ijtihad beliau sendiri dalam bentuk qiyas, tafsir, tarjih. Beliau menulis kitab tersebut dalam masa empat puluh tahun, ini adalah merupakan karya terbesar Imam Malik dan merupakan kitab pertama dalam ditulis seumpamanya, setelah al-Qur’an dan Hadist. Al-Muwatta ingin dijadikan kitab dan mazhab resmi bagi Khilafah Abbasiah masa itu tetapi Imam Malik dengan tawaduk menolak permintaan tersebut.

Madzhab selanjutnya adalah Madzhab Syafi’i yang disandarkan pada Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H). Menimba ilmu di Mekkah sampai berumur 15 tahun dan diberikan izin berfatwa, kemudian beliau pindah ke Madinah berguru dengan Imam Malik sampai wafat, lalu mengembara ke Yaman untuk berguru dengan Yahya bin Hassan Murid Imam al-Auza’i. Pemikiran Imam Syafi’i mengambil sikap yang moderat, hal ini karena keluasan ilmu berkat pengembaraannya dalam menuntut ilmu dari berbagai madzhab. Di Madzhab Syafi’i, ijma’ dan qiyas menjadi sumber hukum ketiga dan keempat setelah Al-Qur’an dan Hadist. Karya Imam Syafi’i yang terkenal adalah Al-Risalah yang membahas ilmu usul fikih, kitab lain yang membahas madzhabnya adalah Al-Umm.

Madzhab ke empat adalah madzhab yang hanbali yang disandarkan pada Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Beliau merupakan salah satu dari murid Imam Syafi’i. Imam Ahmad tidak pernah menulis kitab yang menjelaskan madzhabnya sendiri, melainkan ditulis oleh murid-muridnya. Dalam mazhabnya beliau berpegang pada lima sumber hukum yakni Al-Quran dan Hadist, fatwa sahabat, ijtihad sahabat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah, mengambil hadith mursal dan dha’if sebagai fadhailul a’mal, dan yang terakhir adalah qiyas. Di antara pengikut beliau ialah Imam Ibn taymiyah dan Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.

Tasawuf

Islam merupakan agama terakhir yang hadir di muka bumi ini, sebelumnya umat telah menganut berbagai macam kepercayaan dan agama. Setiap agama memiliki sisi lahir dan sisi batin. Sisi batin cenderung memiliki banyak kesamaan prinsip, meskipun tujuannya berbeda. Tasawuf sendiri sebagai jalan batin umat Islam dianggap telah menyadur ke berbagai agama masa lalu, Zoroaster, Hindu, Budha, dan bahkan Kristen. Tentu mistisisme Islam berbeda dengan mistisisme agama lain.

Cara hidup bertasawuf telah ada sebelum kata tasawuf itu sendiri muncul. Kerap kali tokoh pada zaman Nabi saw. yang dijadikan prototipe kehidupan tasawuf adalah Abu Dzar Al-Ghifari (w. 652-653 M) yang hidup secara sederhana dan zuhud, dengan dikombinasikan kerendahan hati yang luar biasa. Tokoh lain pada zaman Nabi saw. adalah Salman Al Farisi (w. sekitar 656 M) yang rela meninggalkan kampung halamannya di Isfahan, Persia untuk bertemu dengan Nabi saw. Tokoh lain yang menjadi prototipe kehidupan bertasawuf atau ber-thariqah adalah Uways Al-Qarani dari Yaman. Tokoh di zaman tabi’in yang pernah diramalkan oleh Nabi saw. yang akan bertemu dengan Sayyidina Umar r.a. Tokoh-tokoh selanjutnya yang lebih terkenal dalam perilaku dan cara hidup zuhud berkembang semenjak abad ke 6 H/ 12 M dan 7 H/ 13 M. Semua sumber silsilah Sufi akan bermuara pada Hasan al-Basri (w. 728 M) yakni seorang Sufi pertama yang dianggap meletakkan pondasi hidup zuhud.

Perkembangan tasawuf berlanjut seiring perkembangan zaman, namun untuk memudahkan dapat dibagi menjadi tiga madzhab, yakni pertama, madzhab Baghdad. Baghdad merupakan kota agung yang tidak berubah nama sekalipun telah ribuan tahun. Namun, pemikiran dan coraknya selalu berubah dalam setiap zaman. Tokoh sentral dalam madzhab ini adalah Syaikh Abu Al-Qasim Al-Junayd (w. 910 H) yang merupakan “guru kelompok (Sufi)”. Tokoh lain yang muncul adalah Al-Harist Al-Muhasibi (w. 857) yang terpengaruh oleh Hasan Al-Bashri. Al-Muhasibi dikenal dengan metode muhasabah (mencermati hati nurani dan keadaan psikis diri sendiri).

Asal usul madzhab Baghdad ini banyak yang menyebut berasal dari ajaran Ma’ruf Al-Karkhi (w. 815 M) yang merupakan murid dari Imam Ali Al-Ridha (w. 817 M). Ma’ruf Al-Karkhi mempunyai murid yang terkenal bernama Sari Al-Saqati (w. sekitar 867 M), yang mempunyai konsep keadaan (hal), kedudukan (maqam), kesatuan (altauhid) yang kemudian dikembangkan oleh keponakannya, Junayd. Murid lain dari Sari Al-Saqati adalah Al-Kharazz (w. 26 H/899 M) yang mengurai panjang konsep kesatuan (al-tauhid) yang kemudian oleh Al-Husain bin Al-Masyur yang dijuluki Al-Halaj (‘pemintal wol’) diungkapkan “Ana Al-Haq”. Tokoh lain yang berperan penting di Baghdad yang berasal dari Persia adalah Habib Al-’Ajami, Junayd, Nuri, Dan Al-Halaj. Satu lagi tokoh penting lainnya di Baghdad adalah Abu Bakr Al-Syibli (w. 945 M). Namun kematian Al-Halaj menandai berakhirnya madzhab Baghdad. Setelah kematian ini, orang-orang meletakkan fondasi tasawufnya ke Madzhab Khurasan.

Kedua, Madzhab Khurazan, madzhab ini memiliki tokoh terkemuka yakni Ibrahim ibn Idham (w. 790 M), yang pada awalnya adalah seorang pangeran, seperti Buddha Gautama, dan meninggalkan kehidupan istananya demi membaktikan diri secara penuh pada kehidupan spiritual. Ibrahim adalah peletak sekaligus model perilaku zuhud yang paling masyhur. Tokoh sezamannya adalah Fudhaiyl Ibn ‘Iyadh (w. 803 M) yang juga sangat zuhud. Madzhab Khurazan sejatinya dikenal dengan corak ‘Cinta Ilahi’. Corak ini dibawa langsung oleh Sufi besar Abu Yazid Al-Busthami (w. 260 H/874 M). Tokoh yang tidak boleh dilupakan adalah Sahl Al-Tustari dan kelompoknya, sekalipun tidak berasal dari provinsi tersebut. Perlu diketahui bahwa Madzhab Khurazan menyebar ke beberapa tempat sebagaimana penyebaran Madzhab Baghdad.

Ketiga, Periode Konsolidasi dan Sintesis. Periode ini menjadi penting karena sepanjang abad ke-2 H/8 M dan 3 H/9 M, kaum alim cendekia cenderung terbagi dalam dua golongan: ‘ulama’ atau teolog dan fuqaha’. Para fuqaha’ sendiri sering kali memasukkan unsur batiniyyah ke dalam sistem hukum Islam. Pertentangan antara fuqaha’, teolog, dan juga Sufi berlangsung lama. Percampuran antara ortodoksi juga turut mewarnai perselisihan ini. Namun sebelum itu muncul berbagai ulama dengan karya yang menunjukkan perselisihan tersebut diakhiri dengan sintesis Sufisme dan ortodoksi. Misalnya saja kitab Al-Luma’ (Kitab Sorotan Cahaya) oleh Abu Nashr Al-Sirraj (w. 987 M/ 988 M) dan al-ta’arruf li madzahib ahl- al-tasawuf (Doktrin Kaum Sufi) oleh Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi (w. 990 M atau 994 M) juga kitab Risalah tahun 1047 M karya Imam Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (w. 1073 M). Juga yang tidak kalah penting adalah kitab Qut Al-Qulub (Makanan Hati) karya Abu Thalib Al-Makki (w. 996 M), kitab Thabaqat Al-Shufiyyah (Tingkatan-Tingkatan Kaum Sufi) karya Abu Abd Al-Rahman Al-Sulami (w. 1021 M) dan kitab Hilya Al-Awliya (Hiasan Orang Suci) karya Nu’aym Al-Isfahani (w. 1037 M). kitab tulisan Persia yang telah berbahasa arab, juga telah banyak diterjemah terutama dalam bahasa India adalah kitab Kasyf Al-Mahjub (Membuka Tirai Kegaiban) karya Ali ibn Utsman Hujwiri (w. sekitar 1071 M).

Puncak kajian tasawuf terletak pada pundak Imam Al-Ghazali (w.1111 M) tidak ada tokoh Sufi yang semasyhur Imam Al-Ghazali dalam hal keilmuan dan thabaqat (tingkatan). Bahkan Imam Al-Ghazali menjadi tokoh terbesar sepanjang Abad Pertengahan (middle age). Hal ini karena pemikirannya didasarkan pada pengalaman pribadi yang mendalam. Wawasan keagamaan yang langka bahkan pergulatan spiritualnya membekas hingga ke fisik. Pengaruh Imam Al-Ghazali tidak terkira besarnya. Beliau tidak hanya merombak Islam ortodoks – di mana tasawuf menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya – melainkan juga merevisi dan membangun ulang tasawuf. Proyeknya membersihkan tasawuf dari hal-hal yang tak islami dan mengabdikannya pada agama ortodoks. Tidak sia-sia, setelah proyek besar itu pengaruhnya sampai pada Afrika, Asia Tengah, dan India, bahkan seluruh dunia termasuk dunia akademisi di Barat (Orientalis).


[1] Khawarij menganggap seorang yang berdosa besar bukan lagi seorang muslim dan boleh dibunuh. Percampuran fanatisme kelompok dengan pemahaman Al-Quran ini menjadikan kelompok ini sering kali melancarkan aksi jihad (perang) terhadap penguasa dan umat Islam yang dianggapnya telah kafir dengan dalil “laa hukma illallah


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *