Sikapi LGBT Menurut Islam dan Kemanusiaan

Published by Buletin Al Anwar on

Rizqi Nurrahman

Agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin, agama yang selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Agama yang menebarkan kebaikan, kedamaian dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Agama yang telah disempurnakan oleh Allah di akhir masa dakwah Nabi Muhammad SAW, yang ditegaskan dalam kalam-Nya “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu…” (QS. Al Maidah:3). Segala keindahan agama Islam menjadi harmoni dalam berjalannya kehidupan dan menjaga keseimbangan.

Salah satu contoh harmoni penjaga keseimbangan ialah Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, sehingga mereka bisa saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Adanya awal dan akhir, hidup dan mati, dunia dan akhirat, nyata dan gaib, laki-laki dan perempuan, siang dan malam, baik dan buruk, dan lain sebagainya. Hal ini telah termaktub dalam Al Qur’an surah Yaasin ayat 36 yang bermakna “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui ”. Dan didukung oleh ayat lain dalam surat Adz-Zariyat bahwa berpasang-pasangan ini bertujuan agar manusia selalu mengingat Allah. Alasan diciptakannya manusia di muka bumi tak lain dan tak bukan adalah untuk menyembah dan beribadah kepada Allah, di antaranya adalah dengan mengingat-Nya dalam setiap situasi. Untuk menguji ketakwaan manusia kepada Allah, dengan sengaja Allah mengizinkan iblis untuk terus menggoda manusia hingga akhir zaman. Karena ketika manusia bisa melewati godaan dan ujian itu, tingkat ketakwaan manusia tersebut akan terus meningkat.

Godaan iblis kepada manusia bermacam-macam bentuknya, seperti melanggar aturan Allah dengan tidak melaksanakan perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya. Salah satu contohnya adalah menyalahi kodrat manusia dengan berpasangan dengan sesama jenis, padahal Allah menciptakan manusia agar berpasangan laki-laki dengan perempuan. Kasus ini biasa disebut homoseksual, bahkan dewasa ini terkenal istilah LGBT yakni Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Perilaku seperti itu sebenarnya sudah dikecam keras sejak zaman dahulu, bahkan menjadi kasus dengan azab terbesar dalam kisah-kisah umat nabi sebelum Nabi Muhammad. Tentu saja cerita ini sudah sangat familiar, yakni kisah umat Nabi Luth yang melakukan praktik Homoseksual atau menyukai sesama jenis. Allah mengisahkan cerita itu dalam Al-Qur’an Surah Al Ankabut ayat 28-29 sebagai berikut:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ

اَىِٕنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُوْنَ السَّبِيْلَ ەۙ وَتَأْتُوْنَ فِيْ نَادِيْكُمُ الْمُنْكَرَ ۗفَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهٖٓ اِلَّآ اَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتَ مِنَ

الصّٰدِقِيْنَ

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِيْ عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِيْنَ ࣖ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, ‘Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu.(28) Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? ’Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, ‘Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar’. (29). Dia (Luth) berdoa, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas golongan yang berbuat kerusakan itu’ (30).

Kisah tersebut berakhir dengan hancurnya Kota Sodom dikarenakan kesombongan mereka dan maksiat yang mereka lakukan, sehingga Allah memberikan azab kepada mereka berupa hujan batu dari tanah yang terbakar dan bertubi-tubi. Hal ini lazim terjadi, masa kenabian sebelum Nabi Muhammad, Allah selalu langsung memberikan adzab kepada umat nabi-nabi yang membangkang. Berbeda dengan saat ini, umat Nabi Muhammad. Allah menangguhkan adzab di hari kiamat dan di akhirat nanti bagi umat nabi Muhammad SAW yang melakukan larangan-larangan Allah. Semakin berjalannya zaman, semakin lama setelah Nabi Muhammad wafat, kemaksiatan semakin merajalela. Salah satu di antaranya adalah homoseksual atau lebih terkenal dengan istilah LGBT.

Beberapa negara di dunia dengan tegas melegalkan pernikahan sesama jenis entah itu lesbian maupun gay. Berdasarkan data yang dilansir dari Pew Research Center, terdapat 30 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis, baik secara nasional maupun di sejumlah daerah. Di antaranya adalah Argentina (dilegalkan tahun 2010), Australia (2017), Austria (2019), Belgia (2003), Brasil (2013), Kanada (2005), Colombia (2016), Denmark (2012), Ekuador (2019), Inggris dan Wales (2013), Finlandia (2015), Prancis (2013), Jerman (2017), Grrenland (2015), Islandia (2010), Irlandia (2015), Luxemburg (2014), Malta (2017), Belanda (2001), Selandia Baru (2013), Norwegia (2008), Portugal (2010), Skotlandia (2014), Afrika Selatan (2006), Spanyol (2005), Swedia (2009), Taiwan (2019), Amerika Serikat (2015), Uruguay (2013), dan Meksiko (2009). Ratusan pernikahan sesama jenis telah digelar dan disahkan dalam hukum negara dan norma sosial. Bagaimana dengan Indonesia?

Isu pelegalan pernikahan sesama jenis sudah menjadi isu sosial sejak lama. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) pun sejak lama mendesak pemerintah agar melegalkan pernikahan sesama jenis ini seperti negara-negara lain yang sudah mengizinkan pernikahan sesama jenis. Mereka berpendapat bahwa kecenderungan seksual kepada sesama jenis merupakan gift atau pemberian sejak lahir dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga bagi orang yang cenderung kepada sesama jenis juga harus dibela haknya sebagai manusia karena memang hal tersebut sulit atau bahkan tidak bisa diubah secara total kembali normal. Bahkan beberapa mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah kelainan, hanya saja tidak lazim terjadi di masyarakat.

Gerakan LGBT di Indonesia dimulai dengan berdirinya organisasi transgender pertama yakni Himpunan Wadam Djakarta (HWAD) pada tahun 1969. Selanjutnya, pada tahun 1982 organisasi gay pertama di Indonesia dan Asia berdiri di Solo, Jawa Tengah dengan nama Lambda. Mereka mengorganisasi pertemuan sosial dan juga peningkatan kesadaran masyarakat mengenai LGBT dan hak-haknya. Tidak berumur panjang, Lambda akhirnya bubar pada tahun 1986. Organisasi dan kelompok LGBT terus bertambah dengan didirikannya Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) pada April 1982, dan juga Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) pada 1985, yang pada 1988 organisasi ini berganti nama menjadi Indonesia Gay Society (IGS). Tidak berhenti pada itu, sebagai penerus Lambda yang telah bubar, didirikan kembali organisasi dengan nama Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) pada tahun 1986 di Pasuruan yang disingkat namanya menjadi Gay Nusantara (GN).

Organisasi, aktivis dan individu yang mendeklarasikan dirinya sebagai LGBT menyelenggarakan kongres Lesbian dan Gay pada tahun 1993 di Kaliurang, Jawa Tengah. Kemudian disusul dengan kongres kedua pada 1997 diselenggarakan di Bali. Organisasi LGBT ini semakin tahun semakin berkembang, apalagi setelah Kementrian Kesehatan mengeluarkan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan melalui Pedoman Penggolongan Dagnosis Gangguan Jiwa (PPDJG) III pada tahun 1993. Bahkan perayaan Gay Pride digelar di Surabaya pada tahun 1999, acara besar ini digagas oleh GAY Nusantara, Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS) dan Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL).

Fenomena LGBT ini memang mendapat sorotan dari aktivis maupun organisasi HAM. Tercatat bahwa pernah diselenggarakan pertemuan ahli Hukum Internasional di Universitas Gadjah Mada pada bulan November 2006. Organisasi HAM global Intrnational Service for Human Rights, dan ahli-ahli hak asasi manusia dari seluruh dunia menyepakati terbentuknya prinsip-prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles). Prinsip ini adalah prinsip internasional pertama yang membahas tentang penerapan hukum hak asasi manusia internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksuai dan identitas gender.

Kemudian, terbentuklah forum LBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, & Queer) pada tahun 2012. Pembentukan ini terwujudkan setelah Konferensi International Asosiasi Lesbian, Gay, Bisexual, Trans dan Interseks (ILGA) tingkat Asia yang ke-3 di Chiang Mai, Thailand pada tahun 2008. Forum tersebut membuat visi, misi, dan rencana strategis yang hasilnya menetapkan pertemuan nasional diadakan tiga tahun sekali sebagai badan tertinggi di forum ini. Tahun 2013 diadakan Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diadakan di Nusa Dua, Bali dihadiri 71 peserta dari 49 lembaga, termasuk wakil-wakil organisasi LGBT dari 15 provinsi di Indonesia. Pada tahun yang sama, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) menetapkan hak LGBT sebagai topik untuk diskusi pleno untuk pertama kalinya.

Bagaimana pemerintah menanggapi isu LGBT tersebut? Selama ini, pemerintah tidak mengkriminalisasi pelaku homoseksual pribadi dan non-komersial di kalangan orang dewasa, tetapi hukum di Indonesia pun tidak melindungi komunitas LGBT terhadap diskriminasi dan kejahatan kebencian. Namun, sejak tahun 2014, Gay menjadi target razia Satpol PP di Surabaya. Tahun 2002, Pemerintah Indonesia memperbolehkan Provinsi Aceh untuk memberlakukan syariat. Berdasarkan hukum syariat tersebut, homoseksualitas dianggap suatu kejahatan atau tindakan kriminal dengan ta’zir berupa cambuk layaknya hukuman untuk pelaku zina yang belum menikah.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pada tahun 2015 menyatakan bahwa pernikahan sesama jenis tidak dapat diterima di Indonesia, karena norma-norma agama berbicara keras menentang hal tersebut. Hal ini diperkuat oleh ujaran Saleh Partaonan Daulay, Ketua Komisi VIII DPR RI bahwasanya pernikahan LGBT tersebut bukan hanya mengganggu tatanan kehidupan sosial, tetapi juga mengganggu keyakinan dan nilai-nilai spiritual masyarakat. Ia menambahkan bahwa pernikahan sejatinya adalah tradisi dan ajaran agama, ranah agama bukan ranah negara. Tugas negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan pelaksanaanya. Oleh karenanya, unsur-unsur pernikahan harus sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Jika agama saja tidak memperbolehkan, negara tidak bisa turun tangan untuk memperbolehkannya karena negara tidak punya wewenang untuk itu.

Dalam wawancaranya pada tanggal 23 Januari 2018, Lukman Hakim menyatakan bahwa tidak ada agama yang mentolerir hubungan sesama jenis : lesbian, gay, bisexual dan transgender (LGBT), apalagi pernikahan sesama jenis. Hal ini yang menjadikan pelegalan pernikahan sesama jnis di Indonesia tidak pernah diwujudkan. Dalam Agama Islam sudah tidak diragukan lagi, Allah mengecam keras bagi siapapun yang melakukan praktik homoseksual atau liwath jika disebut dalam bahasa Arab.

Dalam pandangan fikih, keempat imam mazhab berbeda pendapat terkait hukuman atau ta’zir yang dilimpahkan kepada orang yang melakukan hubungan dengan sesama jenis. Terdapat tiga perbedaan pendapat, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal memberikan sanksi dibunuh, baik yang mengerjai maupun yang dikerjai dengan alasan hadis riwayat Imam Lima (Imam Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, Nasai) yang artinya ”Bila kalian menemukan seseorang mengerjakan pekerjaan kaum Luth (Homoseks), maka bunuhlah yang mengerjai dan dikerjai”.

Sedangkan Golongan As-Syafi’iyah berpendapat bahwa sanksi pelaku tercela itu sama dengan hukum zina berdasar hadis: yang artinya Apabila ada laki-laki menyetubuhi sesama laki-laki, maka keduanya adalah berzina.” Pendapat ketiga, golongan Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu tidak sama dengan zina. Karena itu, sanksinya cukup dengan ta’zir (hukuman yang dapat menjadikan orang jera).

K.H. Sahal Mahfudh dalam bukunya Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika umat menatakan bahwa memang manusia sulit untuk tidak memenuhi seksnya, namun pemenuhan itu tidaklah kemudian dilakukan secara bebas yang absolut, tetapi ada batas-batas tertentu yang secara normatif disetujui oleh masyarakat dan lingkungannya. Problema yang dihadapi pelaku homoseks umumnya bukan sekedar hasrat terhadap pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi sudah merupakan perilaku kebiasaan, fantasi, hobi, bahkan watak yang sangat sulit diubah apalagi dalam waktu yang singkat.

Namun, penyembuhan terhadap permasalahan tersebut bukanlah hal yang mustahil. Ada banyak hal yang bisa dilakukan sebagai penyembuhan homoseks atau kelainan seks yang lain. Hal itu bisa berlaku secara individual dengan memperbanyak ibadah, zikir, atau aktivitas yang dapat mengurangi pada dorongan seks, semisal tidak bergaul dengan sesama pelaku homoseks. Terapi individual ini harus didukung oleh niatan serta tekad yang kuat untuk sembuh, kesabaran, sekaligus disiplin tinggi. Memang tipis kemungkinan orang dapat sembuh dari kelainan psikis seks ini dengan sendirinya, sehingga bisa juga untuk melibatkan orang lain, seperti menikah misalnya. Karena dengan demikian akan ada interaksi dengan sang istri uang tidak menutup kemungkinan akan bisa memberikan kontribusi besar, setidaknya memberikan penyaluran seks yang sehat, atau bergaul dengan pribadi-pribadi atau komunitas masyarakat yang memperhatikan norma-norma sosial serta agama yang baik yang tidak membenarkan adanya homoseks, bila memungkinkan bisa juga meminta bantuan kepada psikiater.

Meskipun sangat dikecam, tidak seharusnya kita mencaci maki orang yang memiliki orientasi seksual kepada sesama jenis. Sebaiknya kita bisa membimbing, menasihati, atau memberikan arahan padanya dengan cara yang baik. Islam adalah agama yang damai, sebisa mungkin menyikapi segala hal dengan baik tanpa ada kekerasan. Bukan hak kita juga bisa membuli dan mengucilkannya dalam masyarakat, karena mereka membutuhkan bantuan agar bisa mentas dari keinginan melakukan hubungan dengan sesama jenis. Dukungan untuk kembali normal dari keluarga, teman dan sahabat sangat dibutuhkan karena jelas dia tidak mungkin bisa mementaskan dirinya dengan sendirian. Jika tidak ada yang mendukung dia untuk sembuh, maka kemungkinan besar ia akan depresi dan malah melanjutkan hubungan tersebut lebih liar lagi. Itulah kenapa dukungan moral, dukungan psikis sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang memiliki kecenderungan seperti ini.

Daftar Rujukan

Mahfudh, Sahal. 2003. Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh, Solsi Problematika Umat. Surabaya. Ampel Suci dan LTNNU Jawa Timur.

Prihatini, Destri Ananda. 2019. Daftar Negara yang Melegalkan Pernikahan Sesama Jenis. (Online), (https://tirto.id/daftar-negara-yang-melegalkan-pernikahan-sesama-jenis-ekhS), diakses tanggal 3 Maret 2020.

Ika. 2015. Difficult for Indonesia to legalize gay marriage: minister. (Online), (thejakartapost.com/news/2015/07/02/difficult-indonesia-legalize-gay-marriage-minister.html), diakses tanggal 5 Maret 2020.

Amalia, Shafira. 2019. Sejarah Gerakan dan Perjuangan Hak-hak LGBT di Indonesia.  (Online), (magdalene.co/story/sejarah-gerakan-dan-perjuangan-hak-hak-lgbt-di-indonesia), diakses tanggal 4 Maret 2020.

Taufiq, Muhammad. 2018. Menteri Agama: Tak Ada Agama yang Mentolerir LGBT. (Online), (nasional.tempo.co/read/1053040/menteri-agama-tak-ada-agama-yang-mentolerir-lgbt), diakses tanggal 4 Maret 2020.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *