RAMADHAN DAN UKHUWAH ISLAMIYAH

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: KH. M. Baidowi Muslich

Lafadz ramadhan jamaknya ramadhanat atau armidha mempunyai makna sangat terik atau yang panas karena terik matahari. Orang Arab dahulu ketika merubah nama-nama bulan dari bahasa lama kedalam bahasa arab, mereka menamakan bulan-bulan itu menurut masa yang dilalui (bulan itu) maka kebetulan bulan Ramadhan masa itu melalui mas panas karena sinar matahari yang sangat terik.

Bulan Ramadhan merupakan bulan memulai membasmi kemusyrikan di muka bumi. Di dalam bulan Ramadhan Nabi Muhammad S.A.W. menerima tugas pertama dari tugas – tugas risalah yang harus dijalankan sebagai rosul.

Dalam bulan Ramadhan  yang suci, Allah memerintahkan Nabi Muhammad S.A.W. melepaskan kain selimutnya untuk membasmi keberhalaan dan membesarkan agama Allah.

Dalam bulan Ramadhan Allah menghancurkan kekuasaan Quraisyi, mematahkan kecurangan mereka. Peperangan Badar merupakan sejarah gemilang bagi kaum muslimin.

Bulan Ramadhan mengandung sejarah yang begitu agung dan nilai keutamaan yang begitu besar mengapa dalam mengawali dan mengakhiri tidak dilaksanakan secara bersama-sama. Apa yang melatarbelakangi ketidaksamaan itu dan bagaimana pengaruhnya jika awal dan akhir bulan Ramadhan tidak bersama-sama terhadap ukhuwah islamiyah.

Sebab- Sebab Terjadinya Perbedaan Awal dan Akhir Bulan Ramadhan

Sudah menjadi watak “ Fiqih” adalah terdapatnya perbedaan bahkan perbedaan pendapat ini dipandang sebagai bagian dari rahmat Allah S.W.T. “ikhtilaafu ummatiy rahmatun” (perbedaan dikalangan umatku adalah rahmat). Hadits ini yang sering didengar ketika dihadapkan pada perbedaan pendapat diantara ahli fiqh (fuqoha). Perbedaan ini sering mengilhami timbulnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran tertentu di masyarakat.

Sejak manusia mengenal peredaban, mereka memerlukan kalender sebagai pedoman dalam menyelenggarakan ibadah sehari-hari. Maka lahirlah tiga sistem kalender, yaitu kalender syamsiyah (solar calendar) , kalender qomariyah ( lunar calender), dan kalender qomariyahsyamsiyah (luni-solar calendar) seperti kalender yahudi dan kalender arab sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad S.A.W.  Kalender Islam didasarkan pada kalender qomariyah yang ditentukan berdasarkan penampakan hilal sesaat sesudah matahari terbenam.

Alasan utama dipilihnya kalender qomariyah walau tidak dijelaskan dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits nampaknya karena alasan kemudahan dalam menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk ( fase bulan) . Ini berebeda dari kalender syamsiyah yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.

Dalam penetapan awal bulan qomariyah ada empat hal yang menjadi acuan sistem kalender, yaitu:

  1. Sebagian pendapat menganggap kelahiran bulan terjadi sebelum matahari terbenam sehingga malam berikut adalah awal bulan (Ijtima` qabl al ghurub)
  2. Kelahiran bulan sebelum tengah malam ( Ijtima` qabl Nishf al-Lail)
  3. Awal bulan saat terjadinya ijtima`atau tanpa memperhatikan siang dan malam hari ( Saat al-ijtimak)
  4. Taqwim bulan qomariyah berdasarkan rukyat hilal hal ini disebutkan dlaam hadits nabi “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal (awal ramadhan) dan berhari rayalah kamu karena melihat hilal (awal syawal) apabila mendung sempurnakanlan bilangan bulan Sya`ban 30 hari (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim).

Dalam sistem kalender yang empat tersebut muncul problematika mengenai penafsiran terhadap hadits tersebut yang pada gilirannya muncul berbagai masalah yang menyangkut penentuan awal bulan qomariyah. Maka dalam sistem kalender qomariyah sebagai berikut:

A. Problematika Syar`i

Dalam memahami hadits tersebut diatas, timbullah masalah apakah menentukan awal bulan qomariyah terutama bulan ramadhan syawal dan dzulhijjah termasuk bidang ta`abudi atau termasuk bidang ta`aquli . Penganut madzhab maliki , hanafi dan hambali berpendapat bahwa penentuan awal bulan ramadhan, syawal dan dzulhijjah termasuk ta`abudi. Oleh karena itu bulan-bulan tersebut hanya ditentukan berdasarkan rukyat secara empirik bil fi`li , yaitu mata telanjang atau dengan bantuan alat seperti teleskop. Kalau hilal tidak dapat dilihat pada tanggal 29 akhir bulan maka umur bulan disempurnakan 30 hari. Sementara penganut madzhab Imam Syafi`i yang dipelopori oleh Imam Ibnu Hajar al Haitami juga menentukan awal bulan qomariyah sebagai hal yang ta`abudi (lihat kitab Tuhfatul Muhtaj). Sedangkan sebagian penganut madzhab Syafi`i yaitu safi`iyah muta`akhirin yang dipelopori oleh Imam Romli, mereka berpendapat penentuan awal bulan-bulan tersebut termasuk bidang ta`aquli . Yakni dengan adanya dzon (dugaan kuat) dapat melihat bulan. Dugaan ini sebagai hasil dari informasi dari dua orang saksi yang dapat dipertanggungjawabkan atau berdasarkan hisab (qulyuby II, hlm 49 : innahu hamalat `alaa maa yasmulu al-adzan dakhola khabar al-munajjim). Jadi menurut pendapat mereka bahwa rukyat secara empirik merupakan salah satu cara menentukan bulan-bulan tersebut, dan bukan merupakan satu-satunya.

B. Problematika Rukyat

Rukyat bilfi`li adalah usaha melihat hilal secara langsung pada saat matahari terbenam tanggal 29 bulan Qomariyah, terutama dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Sistem ini didasarkan pada hadits Nabi:

صمو ا لرؤ يته وا فطروا لرؤ يته

Kita ketahui bahwa bagian permukaan bulan yang memantulkan sinar matahari dan tampak dari permukaanm bumi, pada awal bulan, sangat kecil sekali tidak lebih dari 0,9% . Oleh karena itu hilal awal bulan jarang dapat dirukyat dengan mata telanjang atau teleskop , apalagi pada waktu terbenam matahari awan akan berada di horizon sleama 30 menit. Ditembah polusi atmosfir (debu dan cahaya) memperseulit penglihatan hilal.

Aliran-aliran / kelompok sistem rukyat dapat diringkas sebagai berikut:

  1. Berdasar alat yang digunakan, aliran ini terbagai menjadi dua, pertama rukyat harus dilakukan dengan mata telanjang dan tidak boleh mempergunakan alat bantu sama sekali. Kedua, rukyat digunakan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik.
  2. Berdasarkan dengan kesesuaiannya dengan hisab, aliran ini terbagi menjadi dua. Pertama, rukyat tidak harus sesuai dengan hasil perhitungan hisab. Kedua, rukyat harus sesuai dengan hasil perhitungan hisab.
  3. Berdasarkan cakupan wilayah, aliran ini merujuk pada hadits kuraib, aliran ini terbagi menjadi empat. Pertama rukyat hanya berlaku sejauh daerah qoshor. Kedua, rukyat hanya berlaku pada daerah tersebut ditambah sejauh 8 derajat bujur. Ketiga, rukyat berlaku untuk dlam satu wilayah hukum yang sama. Keempat, rukyat berlaku untuk seluruh dunia atau mathla` global.

C. Problematika Hisab

Hisab adalah sistem penentuan awal bulan qomariyah yang berdasarkan perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi. Argumen dasar hisab ini adalah keteraturan gerakan (peredaran) benda-benda langit termasuk peredaran bulan mengelilingi bumi.

Aliran hisab terbagi menjadi:

1. Ditinjau dari metode hitungan yang digunakan

a. Hisab urfi` adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi. Metode ini tidak dapat digunakan untuk kepentigan ibadah.

b. Hisab haqiqi taqribi adalah sistem hisab yang menghitung ijtima` dan ketinggian hilal dengan cara sederhana, yaitu dicari waktu ijtima` ddengan ditambah koreksi. Sistem ini tidak menggunakan rumus segitiga bole, tetapi melakukan koreksi-koreksi yang lebih banyak mempergunakan data-data astronomi.

c.Hisab haqiqi tahqiqi adalah sistem hisab yang di dasarkan pada konsep astronomi modern segitiga bola dan juga memasukkan parameter –parameter lain seperti lokasi pengemat, posisi matahari dan bulan dan lain-lain.

2. Ditinjau dari segi kriteria yang digunakan

Pada sistem hisab ini ada dua aliran besar : yaitu aliran yang berpengang pada ijtima` semata dan aliran yang berpegang pada ijtima` dan posisi hilal.

a. Aliran Ijtima` semata. Aliran ini menetapkan awal bulan qomariyah (termasuk ramadhan dan syawal) itu pada ijtima` matahari dan bulan . Jadi saat ijtima` dijadikan perubahan dari bulan yang sedang berjalan ke bulan baru. Aliran ini terbagi lagi menjadi aliran yang lebih kecil, seperti:

  • Ijtima` qoblal ghurub ( conjuction before sunset)
  • Ijtima` qoblal fajri ( conjuction and twilight)
  • Ijtima` dan terbit matahari (conjuction and sunrise)
  • Ijtima` dan tengah siang ( conjuction and midday)
  • Ijtima` dan tengah malam ( conjuction and midnight).

b. Ijtima` dan posisi hilal di atas ufuk.

Aliran ini berpendapat bahwa bulan baru dimulai sejak matahari terbenam lokal setelah terjadi ijtima` dan posisi hilal sudah diatas ufuk (horison) . Dalam aliran ini ada tiga aliran kecil, yaitu:

    • Ijtima` dan ufuk haqiqi, yaitu awal bulan baru dimulai apabila pada saat matahari terbenam lokal setelah terjadi ijtima` posisi hilal sudah diatas ufuk hakiki.
    • Ijtima` dan ufuk hissi, yaitu awal bulan baru dimulai apabila pada saat matahari terbenam lokal setelah terjadi ijtima` posisi hilal sudah diatas ufuk hissi.
    • Ijtima` dan ufuk mar`i, yaitu awal bulan baru dimulai apabila pada saat matahari terbenam lokal setelah terjadi ijtima` posisi hilal sudah diatas ufuk mar`i.

    3. Imkanur rukyat

      Untuk menetapkan masuknya bulan baru, aliran ini mengemukakan bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima` hilal harus mempunyai posisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dilihat. Para ahli yang termasuk golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dilakukan rukyat bilfi`li. Ada yang mengetakan hilal 8 °, 7°,6°, 5° dan sebagainya.

      Disamping ukuran ketinggian hilal sebagai syarat untuk dapat dirukyat, ada juga yang menentukan unsur lain. Dalam konferensi internasional tentang penentuan awal bullan qomariyah yang diadakan Turki tahun 1978 dinyatakan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada 2 syarat yang harus dipenuhi, yaitu  “ketinggian” hilal tidak kurang dari 5 ° dan “sudut pandang” (angular distance) antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8°.

      Kriteria Depag RI berdasarkan tinggi hilal terendah yang dilaporkan bisa dirukyat , minimal 2 derajat di atas ufuk mar`i. Kriteria ini berdasarkan kriteria tinggi hilal minimum 2 derajat menurut hisab dan digabungkan dengan pengamatan (rukyat) . Secara ilmiah prinsip penggabungan antara hisab dan rukyat memang baik karena keduanya saling mendukung, tetapi kriteria yang ditetapkan sebesar 2 derajat tersebut sangat sulit diterima masyarakat astronomi internasional.

      Dengan penjelasan diatas tentang berbagai problematika yang dihadapi, kita dapat memahami begitu kompleks permasalahan yang dihadapi dan banyak pendapat yang mengalir dalm penentuan waktu ibadah, tetapi menurut kaidah hukum, sahnya suatu ibadah cukup asas dasar dzan (dugaan kuat) . Pembatasnya hanya satu : tinggalkan yang meragukan , misalnya puasa pada hari yang masih diragukan awal masuknya ramadhan ( yaumusy-syak).

      Kesaksian melihat hilal, keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan ramadhan dan hari raya oleh pemimpin umat semuanya adalah hasil ijtihad kebenaran hasil ijtihad relatif. Kebenaran mutlaq hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang ijtihad dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad  itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh.

      Kesaksian rukyat tidak mutlaq kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. Mungkin yang dikira hilal ternyata objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal.

      Hasil hisabpun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat banyak. Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan pengetahuan selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan matahari (tepatnya peredaran bumi mengelilingi mathari) (QS. 6:96). Makin lama hasil perhitungan makin akurat dengan memasukkan banyak faktor. Seperti hisab gerhana matahari yang demikian teliti sampai ordo detik. Gerhana matahari pada hakikatnya adalah ijtima` teramati.

      Penetapan awal bulan Ramadhan dan Hari Raya itupun hasil ijtihad berdasarkan kesaksian rukyatul hilal atau hisab yang dianggap sah, pemimpin umat( pemerintah, ketua organisasi islam, atau imam masjid) kemudian menetapkannya. Karena pemimpin umat di dunia ini tidak tunggal, keputusanpun bisa beragam, hal yang wajar dalam proses ijtihad.

      Dengan kenyataan yang ada apakah perbedaan mengenai awal dan akhir ramadhan dapat menimbulkan perpecahan umat? Ini semua tergantung pada diri kita masing-masing, apakah kita dapat memahami keberagaman hasil ijtihad sebagai rahmah atau tidak dan bagaimana para pemimpin umat, apakah mereka tetap menekankan pada fanatisme yang membabi buta kepada jamaahnya, sehingga timbul suatu pandangan bahwa yang benar hanyalah kelompoknya sedang yang lain adalah salah, tanpa bisa menghormati hasil ijtihad orang lain.


      0 Comments

      Leave a Reply