Kiprah Internasional Ulama Nusantara
Oleh: Rijal Mumazziq Z[1]
Di sekitaran Masjidil Haram, selain orang Arab, Turki, Afrika dan orang dari Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh), kita bakal banyak menjumpai orang Indonesia. Para askar, petugas kebersihan, maupun pedagang juga menguasai beberapa kosakata bahasa kita. Saya membayangkan, satu-dua abad silam, kondisinya juga tidak jauh beda. Komunitas Jawi (orang Nusantara) punya segmentasi tersendiri dalam pergaulan internasional di kawasan Makkah. Jangan heran jika Belanda meminta Snouck Hurgronje pada 1884-1885 mendatangi dan memata-matai Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani (1815-1897), salah satu simpul terpenting jejaring Ulama Nusantara. Sebab, ulama yang produktif berkarya ini menjadi guru, bukan hanya bagi orang Nusantara saja, melainkan bagi bangsa lain.
Sejak era Syekh Abdurrauf Assingkili (1615-1693), hingga zaman Syekh Yasin bin Isa al-Fadani (1915-1990), bahasa Melayu dan Indonesia juga digunakan sebagai pilihan berkomunikasi, baik dalam soal ekonomi maupun ideologi. Solidaritas dan identitas kultural sesama warga Nusantara juga menguat, termasuk pada saat melakukan pembelaan secara ilmiah atas hoaks yang beredar: orang Nusantara gemar makan ular!
Di awal abad XX, komunitas orang Nusantara memang dirisak karena makan belut. Orang Arab menganggap binatang ini sebagai ular. Maka, ramailah gosip jika kaum muslimin Nusantara suka melahap ular, binatang yang haram dikonsumsi. Karena hoaks ini semakin liar, maka Syekh Raden Mukhtar bin Atharid al-Bughury tampil mengklarifikasinya dengan menulis sebuah kitab. Tidak tebal, tapi cukup memberikan pemahaman mengenai seluk beluk belut dan hukum memakannya, berdasarkan keterangan ulama di kitab-kitab lawas. Kitab ini diberi judul As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham Al-Kadzibah fi Bayani hilli al-Belut wa ar-Raddu ‘ala Man Harramahu. Kitab yang berarti “Halilintar yang Membakar Prasangka Dusta; Kitab yang Menerangkan Kehalalan Belut dan Bantahan Terhadap Pihak yang Mengharamkannya” ini diselesaikan pada tahun 1329 H/1911 M.[2]
Dengan demikian, Syekh Mukhtar tidak hanya pasif dan diam saja melihat kabar liar dan olok-olokan soal belut. Beliau tampil memberikan penjelasan komplit untuk menepisnya. Di hadapan para ulama non-Nusantara, beliau memiliki independensi dan kepercayaan diri untuk tidak langsung menerima hukum keharaman memakan belut, melainkan justru memberikan sanggahan serta meluruskan hukum menyantapnya.
Keberadaan orang Nusantara memang membawa berkah. Penerbit Musthafa Babi al-Halabi, Mesir, bahkan mencetak kitab-kitab berbahasa Melayu dan Jawa karya ulama Nusantara untuk segmen
pembaca di kawasan Haramain, dan untuk Kawasan Asia Tenggara hak distribusinya dikelola Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Bahkan, penerbit asal Mesir ini menerbitkan katalog khusus berisi berbagai kitab berbahasa Nusantara (kutub billughatil Jawiyyah), baik Melayu (seperti Sirath al-Mustaqim-nya Syekh Nuruddin Arraniri) maupun Jawa (Syarah Hikam Mriki, karya Syekh Sholeh Darat Assamarani). Hal ini sangat memudahkan para santri pada saat itu untuk mengakses berbagai kitab terbitan penerbit asal Mesir ini.
Tipologi Penulisan Karya
Ulama adalah koki intelektual. Mereka meramu bahan, memasak, menyesuaikan citarasa sekaligus menyuguhkannya kepada khalayak. Tidak heran jika masing-masing memiliki pola penulisan yang khas. Setidaknya pemetaan ini bisa menjadi awal memahami kiprah para ulama di negeri kita.
Pertama, ulama kita menulis karya menggunakan Bahasa Arab. Di antaranya Syekh Nawawi al-Bantani (1815-1897) yang semua kitabnya ditulis menggunakan Bahasa Arab. Antara lain, Nihayat Az-Zain, Uqudul Lujain, Tafsir Marah Labid, Maraqi al-Ubudiyyah, Qathr al-Ghaits, Tausyekh, dan lain sebagainya. Ada juga Syekh Mahfudz Attarmasy (1868– 1920), melalui Nail al-Ma’mul bi Hasyiyati Ghayat al-Wushul fi ‘ilmi al-Ushul, Manhaj Dzawi an-Nazhar, Hasyiyah at-Turmusi, Fath al-Khabir, Bughyat al-Adzkiya, dan sebagainya. Keduanya lahir di Jawa, besar dan berkiprah di Haramain (Makkah-Madinah) hingga akhir hayat. Satu lagi, ulama yang dianggap paling moncer di akhir abad XX, Syekh Yasin bin Isa al-Fadani (1915-1990). Ayahnya berasal dari Minangkabau, adapun beliau lahir di Makkah, dan menjadi salah satu sanad terpenting dalam jaringan keilmuan ulama dunia. Di antara karyanya, Al-Fawaid al-Janiyyah’ Ala Qawa’id al-Fiqhiyah, Husn as-Siyaghah, Bughyat al-Musytaq, Arba’una Haditsan min Arba`in Kitaban `an Arba’ina Syaikhan, dan lebih dari 100 karya lain ditulis menggunakan Bahasa Arab.[3]
Karya yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab merupakan langkah taktis agar kitab tersebut bisa diakses dan dinikmati oleh komunitas internasional. Sebab, hingga saat ini bahasa Arab merupakan lingua franca yang dipakai sebagai bahasa persatuan dan bahasa keilmuan Islam. Jika ketiga ulama di atas merupakan sedikit dari ulama Indonesia yang tinggal dan berkiprah di Makkah-Madinah hingga akhir hayat, maka ada banyak pula ulama Indonesia yang tinggal di desa kelahirannya, namun mampu menorehkan reputasi internasionalnya dengan menulis kitab berbahasa Arab. Di antaranya Syaikhona Kholil Bangkalan,[4] KH. M. Hasyim Asy’ari,[5] KH. Ihsan Jampes Kediri, KH. MA. Sahal Mahfudz Pati, KH. Maimoen Zubair Rembang, KH. Muhajirin Amsar Addary Bekasi, KH. Yasin Asmuni Kediri dan sebagainya. Saat ini ada beberapa ulama yang juga berkiprah dengan karyanya yang berbahasa Arab, di antaranya KH. Dr. Luqman Hakim al-Indunisi al-Azhari, KH. Muhyiddin Abdusshamad Jember, KH. Dr. Afifuddin Dimyathi Jombang, KH. Marzuqi Mustamar Malang, KH. Sholahuddin Munsif Jember, KH. Thoifur Ali Wafa Sumenep, Gus Nanal Ainal Fauz Pati, dan sebagainya.
Kedua, ulama Nusantara yang menulis karya berbahasa lokal. Pola seperti ini diawali oleh para Walisongo melalui Serat yang berbahasa Jawa, juga generasi berikutnya seperti Syekh Nuruddin Arraniry (w. 1658), Syekh Abdurrauf Assinkily (1615-1693), Syekh Abdusshamad Falimbani (1704-1789), Syekh Arsyad al-Banjari (1710-1812), Sayyid Utsman bin Yahya (1822-1913), Syekh Prof. Mahmud Yunus (1899-1982), yang menulis karya berbahasa Melayu.[6]
Selain ulama di atas, ada pula R.Ng. Ronggowarsito, Surakarta (1802-1873), KH. Sholeh Darat, Semarang (1820-1903),[7] Kiai Raden Bagus Arfah, Surakarta (w. 1913),[8] KH. R. Prof. Muhammad Adnan, Surakarta (1889-1969), KH. Bisri Musthofa, Rembang (1915-1977), KH. Mishbah Zainal Musthofa, Tuban (1916-1994), KH. Achmad Abdul Hamid, Kendal (1915-1998), KH. Asrori Ahmad, Magelang (1923-1994), dan ulama lain yang menulis menggunakan bahasa Jawa. Di Madura, ada KH. Abdul Hamid Itsbat dan KH. Abdul Majid Tamim, keduanya dari Pamekasan dan beberapa ulama lain yang menulis karyanya dalam bahasa setempat. Ada juga KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, yang mengupas aqidah dengan ulasan berbahasa Madura. Di wilayah Banjarmasin, Kalsel, berbagai kitab yang ditulis oleh ulama Banjar rata-rata menggunakan bahasa Melayu-Banjar, juga Sebagian menggunakan bahasa Arab.
Ada juga ulama yang menulis karya Tafsir al-Qur’an dan karya lain menggunakan bahasa Bugis, yaitu Anregurutta Daud Ismail (1907-2006), Anregurutta Abd. Muin Yusuf (1920-2004), Anregurutta Muhammad Abduh Pa’bajah (1918-2009). Ada pula yang menggunakan bahasa Sunda, seperti Ajengan Hasan Musthafa (1852-1930),[9] Ajengan Abdullah bin Nuh (1905-1987), Ajengan Ahmad Sanusi, Sukabumi (1889-1950), dan lain sebagainya.[10]
Ketiga, ulama yang menulis karya berbahasa Indonesia. Kategori ini lebih banyak karena tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Selain mudah diakses, karya-karya ini lebih mudah dinikmati oleh berbagai kalangan. Sebagian menulis karya utuh, seperti Prof. al-Habib Muhammad Quraish Shihab, Muallim Syafi’i Hadzami Jakarta, KH. Sirajuddin Abbas, Prof. M. Hasbi As-Shiddiqie, KH. Alie Yafie, KH. MA. Sahal Mahfudz, KH. Musthofa Bisri, dan sebagainya. Dalam level ini, jumlahnya seabreg.
Dengan demikian, ulama kita memiliki dua jangkauan keilmuan. Ada di antara mereka yang belajar ke Haramain, tinggal dan berkiprah di dua kota suci ini hingga wafat dan dikebumikan di sana, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Mahfudz Attarmasi. Ada juga di antara mereka yang lahir di Nusantara, belajar dan berkiprah di dua tanah suci, kembali lagi ke tanah airnya, lantas menulis kitab berbahasa Arab maupun lokal, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Ibaratnya, mereka menjadi jembatan penghubung antara proses internasionalisasi dan kebutuhan lokal sekitar. Menulis karya berbahasa Arab agar bisa dikaji komunitas internasional, dan menulis kitab menggunakan bahasa daerah agar bisa dinikmati oleh umat di sekitarnya. Soal keilmuan, mereka juga tidak kalah. Bahkan ada banyak ulama Arab yang mengagumi ulama kita karena kemampuannya dalam bahasa Arab dan ragam coraknya (nahwu, sharaf, balaghah, hingga arudl).
Ketika menuliskan namanya-pun, para ulama kita bangga dengan asal daerahnya. Di akhir namanya selalu dilekatkan asal daerahnya: al-Bantani, al-Minangkabawi, As-Sambasi, As-Samarani, al-Maqassary, al-Banjari, al-Falimbani, al-Baweyani, as-Sidarjawi, al-Bimawi, al-Jugjawi, al-Bughuri, al-Banyumasi, al-Batawi, al-Fadani hingga al-Kelantani. Dalam sebuah fase sejarah pada pertengahan 1930-an, mereka bahkan berkumpul, saling belajar dan berbagi. Mereka juga menghimpun diri dan bahkan bisa menyelenggarakan pendidikan melalui sebuah lembaga legendaris, Darul Ulum, Makkah.
Wallahu A’lam Bisshawab
رب فانفعنا ببرگتهم ، واهدناالحسنی بحرمتهم
وأمتنا فی طريقتهم ، ومعافاة من الفتن
[1] Penulis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong Jember.
[2] Kitab unik ini sudah diterjemahkan oleh Amirul Ulum dan Khoirul Anwar melalui Kitab Belut Nusantara (Yogyakarta: CV Global Press, 2017)
[3] Seorang murid Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, Syekh Mahmud al-Masri, menghimpun biografi ulama Nusantara abad 14 Hijri sekaligus guru-guru Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, melalui kitab “Tasynif al-Asma’ bi Ijazah as-Syuyukh wa al-Sama'”. Di dalam kitab ini terdapat sekira 30 ulama Nusantara yang penah berkiprah di Masjidil Haram, di mana sebagian dari mereka sangat asing dan tidak populer di Indonesia. Untunglah, dengan karya itu, Syekh Mahmud al-Masri berhasil mendokumentasikan nama-nama ulama kita yang berperan penting dalam transmisi keilmuan di Haramain.
[4] Berbagai karya Syaikhona Kholil Bangkalan yang ditemukan baru 28 karya. Sebagian sudah diterbitkan, sebagaian masih di-tahqiq. Beliaumenulis karya-karyanya dalam bahasa Arab.
[5] 23 karya KH. M. Hasyim Asy’ari telah disusun menjadi kitab Irsyadus Sari, yang ditahqiq oleh KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq dan KH. Muhammad Zaki Hadziq.
[6] Telaah atas karya para ulama Sumatera ini bisa dibaca di buku karya Ustadz Dr. Ahmad Fauzi Ilyas, Warisan intelektual Ulama Nusantara: Tokoh, Karya dan Pemikiran (Medan: Rawda Publishing, 2018), juga karya penulis yang sama berjudul, Pustaka Naskah Ulama Nusantara: Fatwa, Polemik, Sanad Ijazah dan Korespondensi (Medan: Rawda Publishing, 2019), juga dalam Ulama, Islam, dan Nusantara: Catatan Ringkas Pergulatan Pemikiran Keagamaan (Medan: Rawda Publishing, 2020). Data nama-nama ulama Sumatera, khususnya Jambi, bisa dilihat dalam karya Muhammadz Azro’i, al-Arba’un al-Jambiyyah: 40 Hadits dari 40 Kitab karya Ulama Jambi (t.k: t.p, 2021)
[7] Karya-karya KH. Sholeh Darat hingga kini tetap diterbitkan. Sebagian besar karyanya dikaji oleh Kopisoda (Komunitas Pecinta Kiai Soleh Darat), yang berbasis di Semarang.
[8] Ulama keraton Surakarta yang merupakan salah satu penerjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, Kur’an Jawi (1904).
[9] Filolog Jajang A Rohmana banyak mengupas karya KH. Hasan Musthafa ini dalam berbagai penelitiannya, di antaranya, Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa Untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 (Yogyakarta: Octopus, 2018), juga Membekap Halilintar: Polemik Wahdatul Wujud dalam Injaz al-Wa’d fi Ifta’ Ar-Ra’d karya Haji Hasan Mustapa (Garut: Layung, 2021). Sebelumnya Ayip Rosidi menelaah karya ulama ini melalui Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana (Bandung: Pustaka, 1989).
[10] Anotasi atas berbagai karya ulama Nusantara ini bisa dibaca dalam buku karya A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip, dan Korespondensi Ulama Nusantara (Jakarta: Pustaka Compass, 2017)
0 Comments