MUSH’AB BIN UMAIR: MENINGGALKAN KESEMPURNAAN HIDUP DEMI MASUK ISLAM
Tiarah Mawati
Pendidikan Agama Islam, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Mush’ab bin Umair seorang bangsawan dengan kehidupan yang bergelimangan harta, wajah yang tampan, otak yang cerdas, populer, dan sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Segala keinginannya dapat terwujud hanya dalam sekejap. Namun dengan kehidupan yang sesempurna itu tidak lantas membuat hati seorang Mush’ab bin Umair tenang. Entah apa yang sebenarnya menjadi penyebab hatinya terasa hampa dan kosong itu. Mush’ab pun terus mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi penyebab kekosongan dalam hatinya sampai ia menemukan didalam hatinya terasa tentram dan damai.
Suatu hari seperti biasa Mush’ab datang dalam suatu pertemuan bangsa Arab suku Quraisy. Ia datang dalam forum itu untuk belajar bagaimana cara dalam beretorika yang baik agar dapat berkomunikasi, bernegosiasi, dan berargumen dengan baik. Ia juga belajar bagaimana memahami kepribadian seseorang, dan memilih kalimat yang tepat dalam berkomunikasi. Dalam pertemuan tersebut suku Quraisy sedang membahas tentang seseorang yang dikatakan membawa ajaran dari langit yaitu Muhammad.
Mushab yang saat itu ikut dalam pertemuan itu terus mengamati pembahasan suku Quraisy tersebut. Banyak diantar suku Quraisy yang mengatakan bahwa Muhammad adalah orang gila, penyihir, tukang tenung, dan lain sebagainya. Suku Quraisy meganggap ajaran Muhammad sebagai suatu penyelewengan, karena mereka bernaggapan bahwa hanya agama nenek moyang merekalah yang paling benar. Selain itu terdapat hal lain yang sangat mengganggu mereka, yakni ajaran yang dibawa Muhammad merupakan ajaran yang merubah tatanan masyarakat Arab yang telah mereka terapkan selama bertahun-tahun, salah satunya adalah menghapuskan sistem kasta.
Mushab yang cerdas itu pun akhirnya berpikir bagaimana bisa mereka (bangsa Quraisy) dengan mudahnya mengatakan kalau ajaran yang dibawa Muhammad merupakan ajaran yang sesat sedangkan mereka tidak membandingkannya dengan ajaran yang mereka anut. Selain itu, Muhammad juga dijuluki al-Amin yang mana ia yakin bangsa Quraisy tahu akan kejujuran Muhammad. Dari situlah ia berpikir bagaimana bisa seorang yang di juluki al-Amin kemudian berdusta. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari tahu kebenaran dari ajaran yang dibawa Muhammad, karena ia ingin memastikan stigma negatif yang didapatkannya dari pertemuan tersebut.
Disuatu malam di rumah al-Arqam dilangsungkan pertemuan antara Muhammad dan pengikutnya. Tanpa diketahui, Mush’ab ikut hadir diantara pengikut Muhammad itu dengan menyamar menjadi masyarakat biasa. Tentu pertemuan ini dirahasiakan oleh umat muslim pada waktu itu. Mush’ab memperoleh informasi ini dari Khabbab bin al-Arat yang secara diam-diam memeluk agama Islam. Dalam pertemuan tersebut, Rasulullah memulainya dengan salam dan menyampaikan risalahnya. Kemudian membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para jamaah yang hadir dimalam hari itu. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dilantunkan mulai mengisi setiap hati para jama’ah yang hadir tidak terkecuali hati Mush’ab.
Setelah mendangarkan lantunan Al-Qur’an dari Rasulullah ia merasakan suatu hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, hati dan pikirannya berubah menjadi damai dan tentram karena kekosongan hati yang pernah ia alami kini telah terisi dengan hidayah Allah. Dengan keyakinan hati, akhirnya Mush’ab memutuskan untuk memeluk Islam. Rasulullah yang mengetahui keinginan Mush’ab pun menanggapinya dengan suka cita dan dibarengi dengan para pengikutnya. Melihat bahwa Mush’ab adalah seorang bangsawan, berwajah tampan, pandai beretorika, dan cerdas, membuat Islam memiliki peluang yang besar dalam menyebarluaskan ajarannya.
Proses keislaman Mushab ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Pada kenyataannya Mush’ab justru merasa sangat khawatir setelah masuk kedalam agama Islam. Kekhawatiran ini muncul bukan karena berhala sesembahan nenek moyangnya, atau takut dengan para tokoh dan pemuka sukunya. Rasa khawatir ini timbul karena wanita yang paling ia cintai, yakni Khunas binti Malik yang tidak lain merupakan ibunya sendiri. Karena ia tahu bahwa ibunya merupakan seseorang yang sangat memegang teguh prinsip dan kepercayaan leluhurnya. Selain itu, Mush’ab juga sangat mengetahui bahwa ibunya sangat tidak menyukai ajaran yang dibawa oleh Muhammad.[1]
Pada awalnya Mush’ab berniat untuk menyembunyikan kaislamannya itu, dengan alasan karena ia ingin tetap beriman dan ingin menghindari kemurkaan ibunya. Namun di Makkah tidak ada rahasia yang dapat tersembunyi, karena mata dan telinga suku Quraiy ada disetiap tempat serta dapat mengikuti dan menyusuri setiap langkah dan jejak. Ketika Mush’ab memasuki rumah al-Arqam dan saat ia melasanakan shalat ternyata Utsman bin Thalhah melihat hal itu dan kemudian melaporkannya kepada ibu Mush’ab.
Mush’ab pun akhirnya mengakui keislamannya didepan para pemuka dan pembesar Makkah, juga ibunya dengan juga melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Mendengar pengakuan anak kesayangannya itu, seketika Khunas melayangkan tangannya kearah mulut Mush’a, namun tiba-tiba ia merasa lemah dan tak mampu malakukan hal itu kepada Mush’ab yang merupakan anak yang paling ia sayangi. Mengetahui keislaman Mush’ab Bani Abduddar kemudian memboikot Mush’ab berupa hukuman sosial dan ia pun diasingkan dari masyarakat. Sementara itu, Khunas memilih untuk mengurungnya Mush’ab didalam rumahnya diruangan yang terisolir, hal ini bertujuan agar Mush’ab tidak lagi berkomunikasi dengan Muhammad dan pengikutnya. Selain itu, Khunas juga menghentikan dan mengambil segala kenikmatan yang telah ia berikan kepada Mush’ab dengan harapan Mush’ab mau merubah pikiran dan keputusannya dan meninggalkan ajaran Muhammad.
Mush’ab tinggal didalam kurungan itu selama beberapa hari lamanya, hingga suatu harri ia mendengar kabar tentang hijrahnya kaum muslimin ke Habasyah (Etiopia). Mush’ab pun mencari cara untuk keluar dari tempat itu, dan ia pun mengelabui para penjaga dan juga ibunya untuk dapat keluar dari ruangan yang mengurungnya itu. Setelah berhasil keluar, Mush’ab akhirnya menyusul para umat muslim yang berhijrah dan berhasil sampai ke sana.[2]
Kepulangan Mush’ab dari Habasyah merupakan pertemuan terakhir Mush’ab dengan ibunya. Karena Khunas telah mengetahui kebulatan tekad anak kesayangannya tidak dapat ditawar lagi membuatnya harus melepaskan Mush’ab. Perpisahan itu menuai tangis antara ibu dan anak yang saling menyayangi. Didalam perpisahan itu terergambar bagaimana kegigihan seorang ibu dalam kekafirannya dan bulatnya tekad seorang anak yang kuat dalam mempertahankan keimanannya.
Akhirnya Khunas mengusir Mush’ab dan mengatakan, “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi.” Mush’ab pun menghampirinya dan berkata , “Wahai Ibunda!, Saya ingin menyampaikan nasihat kepadamu, dan aku merasa kasihan kepadamu. Bersaksilah bahwa tiada Ilah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan Utusan-Nya.” Mendengar itu ibunya pun menjawab dengan rasa kesal, “Demi bintang, aku sekali-kali tidak akan masuk kedalam agamamu. Otakku akan menjadi rusak, dan akalku akan melemah.” Akhirnya Mush’ab meninggalkan segala kesenangan dan kemewahan yang telah dinikmatinya selama ini, dan lebih memilih hidup miskin dan sengsara. Walaupun tidak lagi berpenampilan serba mewah, Mush’ab masih merupakan seorang yang penuh wibawa, dihormati dan disegani. Hal ini karena jiwanya telah dikuasai oleh akidah dan hidayah dari Allah SWT.
Referensi:
Ahmad Zafran, Shahrul Azhar. “Kisah Sahabat Nabi,” 2018, 1–60.
Arifin Alfatih, (2018), “MISI RAHASIA MUSH’AB BIN UMAIR”, Bogor: Al-Azhar Fresh Zone Publishing.
[1] Arifin Alfatih, (2018), “MISI RAHASIA MUSH’AB BIN UMAIR”, Bogor: Al-Azhar Fresh Zone Publishing.
[2] Shahrul Azhar Ahmad Zafran, “Kisah Sahabat Nabi,” 2018, 1–60.
0 Comments