Dahsyatnya Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh : Romi Mahendra*

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Isra [17] ayat 32 yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan merupukan suatu jalan yang buruk.”

Allah SWT telah menitipkan rasa cinta kepada setiap manusia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Rasa cinta  pada dasarnya adalah netral, tetapi tergantung siapakah yang mengemudikannya. Jika jiwa seseorang didominasi oleh nafsu syahwat maka wajarlah cinta itu berakhir dengan kebinasaan. Di sisi lain ketika cinta yang bertaburan semerbak bunga iman kepada Allah maka cinta itu akan menjadi pengikat yang kokoh antara manusia dengan tuhannya, sehingga akan menjadikan dia ikhlas dalam menjalankan ibadah.

Dalam mendefinisikan cinta, setiap orang memiliki pandangan tersendiri yang bisa saja sama dan bisa juga berbeda. Banyak diantara mereka mengkiaskan makna cinta dalam kata-katanya, Al-Asmha’i berkata, “saya pernah bertanya kepada seorang Arab Badui tentang cinta”. Dia menjawab, “Cinta itu tersembunyi di dalam batu. Apabila dinyalakan, ia akan tamapak. Namun apabila dibiarkan, ia pun sembunyi di dalamnya. Rasa cinta yang tersimpan dalam diri seseorang haruslah tersalurkan ke objek yang diperbolehkan menurat ajaran agama Islam.  Lantas bagaimana jadinya apabila rasa cinta itu tersalurkan ke objek yang tidak sesuai atau menyimpang dari ajaran agama, yakni melalui pacaran. Karena dalam ajaran agama Islam sudah sangat jelas, bahwasanya pacaran merupakan perbuatan yang sangat berpotensi besar untuk mendekati kepada zina. Tidak ada alasan terkait memaknai pacaran akan mengarah kepada perkara yang baik, karena diantara dua jenis kelamin yang berbeda pasti terdapat nafsu syahwat di dalamnya. Ditambah cara berpacaran zaman sekarang yang setiap orang mungkin akan sangat malu apabila ditanya terkait hal ini. Jarak diantara keduanya hampir-hampir seperti pasangan suami dan istri.

Dalam memaknai cinta yang sebenarnya, tentu harus berdasarkan sumber yang benar pula, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Ada beberapa makna cinta dalam hadits, yang salah satunya termasuk rasa cinta kepada lawan jenis. Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah setiap orang akan merasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya diliputi nafsu syahwat semata.

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatan shohih oleh Syeikh Al Albani).

Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Salah seorang pemikir bijak bernama Ibnul Qayyim berkata, “Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membeci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.” Jadi, tidak ada gunanya apabila pernikahan harus hilang kelezatannya hanya karena rasa cinta yang menyimpang dari ajaran agama, yaitu pacaran.

Tidak dapat dipungkiri terkait banyaknya rasa cinta yang tersalurkan melalui pacaran, dan ironisnya orang Islam yang mengetahui bahwa pacaran itu menyimpang dari ajaran agama, malah berpacaran. Fenomena inilah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Padahal sudah sangat jelas Islam telah memberikan tinjauan syari’at mengenai pacaran, yaitu diantaranya:

Ajaran Islam Melarang mendekati zina

Seperti yang telah dipaparkan di muka, kemudian di jelaskan dalam Tafsir Jalalain bahwasanya larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

Asy Syukani dalam Fathul Qodir mengatakan, “Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram.” dilihat dari maksud perkataan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa setiap jalan atau perantara  yang mengarah pada zina adalah jelas-jelas perkara yang terlarang. Perbuatan yang termasuk mendekati zina diantaranya: memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk lain yang dilakukan dengan lawan jenis yang dapat menimbulkan nafsu syahwat. Karena hal itulah sebagai perantara kepada zina dan merupakan suatu hal yang terlarang.

Ajaran Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan

Allah SWT telah menegaskan  dalam kitab suci-Nya yang mulia, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur [24]: 30). Adapun dalam lanjutan ayat ini, Allah SWT juga menegaskan kepada kaum perempuan, “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: “hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan kemaluannya.” (QS. An-Nur [24]: 31).

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke-30 dari QS. An-Nur mengatakan, “Ayat ini merupakan perintah Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”

Adapun ketika menafsirkan ayat selanjutnya (An-Nur: 31), beliau mengatkan, “Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahawa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahramnya) baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat.

Allah SWT. memerintahkan kepada wanita untuk menutup auratnya

Dalam kitab suci-Nya yang mulia, Allah SWT berfirman, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Ahzab [33]: 59).

Adapun tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Atho’bin Abi Robbah terkait potongan ayat 31 dari surat An-Nur, bahwa yang boleh ditampakkan oleh wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Jadi dengan memperhatikan kedua firman Allah beserta tafsiran dari para ulama, sudah sangat jelas memberikan batasan-batasan bagi wanita dalam menutup auratnya.

Ajaran Islam melarang berduaan dengan lawan jenis

Terdapat dua hadits yang popular di kalangan umat Islam, namun banyak orang melanggarnya. (1) Dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW. bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahramya.” (HR. Bukhari, no. 5233), dan (2) “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena sesungguhnya setan adalah orang ketiga diantara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shahih ligairihi).

Dari kedua hadits di atas, secara umum tidak ada keraguan dari padanya. Apabila antara lawan jenis berduaan, pasti ada setan diantara mereka. Karena banyak tindakan-tindakan tidak terpuji seperti pemerkosaan dan asusila yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mereka yang menyalurkan cinta melalui pacaran. Tentu saja hal itu terjadi karena dorongan syahwat akibat blusukan setan.

Dari keseluruhan pemaparan di atas, jika ditinjau berdasarkan fenomena pacaran saat ini, maka akan sangat banyak ditemukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Kita dapat melihat mengapa pacaran dikatakan mendekati zina, Awalnya hanya dengan sekilas pandangan mata. Lalu pandangan itu terbawa ke dalam hati dan mengendap di dalamnya. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duaan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. Naudzu billahi min dzalik. Jadi, memang benar pacaran merupakan gerbang terbesar dan terbahaya untuk mengarah kepada zina.

Di sisi lain, terdapat anggapan adanya pacaran yang dilakukan secara Islami. Namun, jika dikembalikan lagi terkait ke syariat Islam, tentu itu adalah salah total. Karena berpacaran itu sendiri dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran atau setidaknya diistilahkan demikian. Bila kemudian ada istilah pacaran secara Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, mencuri secara islami, judi secara islami atau bahkan zina secara Islami. Tentu itu semua merupakan kesalahan besar yang mengakibatkan dosa, dan akhirnya akan mendapat siksa dari Allah SWT.

Sebagai solusi dari semua itu, Islam sebagai agama yang sempurna memberikan hak bagi seseorang untuk menyalurkan rasa cintanya melalui pernikahan. Dengan pernikahan inilah setiap orang akan menemukan arti cinta yang sesungguhnya, termasuk melakukan pacaran setelah menikah merupakan suatu yang tidak ada larangan lagi di dalamnya. Jadi, kita sebagai orang yang beragama Islam sudah selayaknya menjalankan apa yang telah diperintakan oleh-Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Semoga kita semua tetap dalam lindungan Allah SWT dan dinobatkan sebagai penghuni surga di akhirat nanti. Amin ya rabbal alamin.

*Penulis adalah santri Pondok Pesantren Anwarul Huda-Malang sekaligus Mahasiswa Jurusan Sastra Arab Universitas Negeri Malang (UM) yang lahir di daerah yang dikenal dengan sebutan “Pulau Seribu Masjid” ialah Pulau Lombok


0 Comments

Leave a Reply