Krisis Makna di Balik Layar: Membaca Kebutuhan Iman Gen-Z dari Perspektif Psikospiritual

Published by Buletin Al Anwar on

Amelda Zakiyya

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

[email protected]

Abstrak:

Perkembangan teknologi digital yang pesat telah membentuk karakteristik unik Generasi Z, menjadikan mereka akrab dengan akses informasi yang cepat, namun rentan mengalami krisis makna dan tekanan psikologis. Artikel ini membahas fenomena psychological distress yang dialami Gen Z dan pentingnya pendekatan psikospiritual dalam menanggulanginya. Melalui integrasi antara aspek psikologi dan spiritualitas—termasuk penguatan iman kepada Tuhan—pendekatan ini menawarkan jalan untuk membangun kesehatan mental yang lebih utuh dan bermakna. Penulis juga mengulas metode pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) dan mindfulness training sebagai strategi konkret untuk memperkuat kesadaran diri, regulasi emosi, serta mengisi kekosongan makna dalam kehidupan Gen Z. Artikel ini menekankan pentingnya mengembalikan fitrah ruhani manusia melalui praktik reflektif seperti tafakur, serta membangun komunikasi yang lebih dialogis, humanistik, dan berlandaskan pada nilai-nilai keimanan yang hidup dalam diri individu.

Kata Kunci: Generasi Z, Kesehatan Mental, Psikospiritual, Iman

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir telah melahirkan berbagai inovasi, termasuk kecanggihan alat komunikasi seperti iPhone dan Android yang kini melekat dalam keseharian. Generasi Z tumbuh di tengah gelombang ini akrab dengan internet, media sosial, dan akses informasi sejak usia dini. Mereka terbiasa hidup dalam dunia digital yang serba cepat, instan, dan penuh stimulus. Namun di balik kemudahan dan keterbukaan ini, tersembunyi tantangan serius yang jarang disadari: lunturnya jati diri, rapuhnya nilai-nilai hidup, dan munculnya krisis makna. Teknologi memberi ruang eksplorasi tanpa batas, tapi tidak serta-merta membentuk kedalaman jiwa. Akibatnya, meski secara teknis mereka mandiri dan adaptif, banyak dari mereka justru kehilangan arah dalam hal siapa diri mereka sebenarnya dan untuk apa mereka hidup.[1]

Generasi Z, yaitu mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, hidup dalam pusaran tekanan yang kompleks dan berlapis. Di tengah cepatnya perubahan dunia, mereka menghadapi tuntutan akademik, tekanan sosial, serta ekspektasi untuk selalu tampil sukses dan relevan. Hasil riset American Psychological Association (2018) menunjukkan bahwa kelompok usia ini termasuk yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan mental, seperti stres tinggi, kecemasan, dan depresi. Fenomena ini disebut psychological distress, yaitu kondisi di mana tekanan mental dan emosional begitu intens hingga memengaruhi kualitas hidup. Meski tumbuh di era digital yang memberi akses luas pada informasi dan peluang, Gen-Z justru semakin rentan merasa kosong, tertekan, dan kehilangan arah. Mereka tidak hanya lelah secara mental, tetapi juga mulai mempertanyakan makna di balik semua pencapaian dan ekspektasi itu.[2]

Kondisi kesehatan mental global saat ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, bahkan dilaporkan lebih umum terjadi dibandingkan penyakit seperti hipertensi atau diabetes, termasuk di Malaysia. Data epidemiologis menyebutkan bahwa sekitar 11 hingga 15 persen orang memiliki kemungkinan mengalami gangguan mental selama hidupnya, dengan tingkat prevalensi yang lebih tinggi pada perempuan. WHO juga mencatat bahwa masalah ini cukup signifikan di kalangan usia lanjut, namun yang paling mengkhawatirkan adalah lonjakan kasus di kalangan anak muda termasuk adanya kecenderungan berpikir untuk mengakhiri hidup, depresi, dan tekanan emosional. Angka-angka ini menegaskan bahwa kesehatan mental bukan sekadar isu medis, tetapi juga menyentuh sisi terdalam manusia: jiwa yang gelisah, batin yang lelah, dan makna hidup yang kabur. Karena itu, artikel ini mengajak pembaca untuk menelusuri krisis ini lewat pendekatan psikospiritual yakni melihat keterhubungan antara kondisi mental dan kebutuhan rohani sekaligus menawarkan metode pengajaran yang lebih menyentuh jiwa, bukan hanya mengisi pikiran.[3]

 

  1. Generasi Z: Literasi Digital Tinggi, Namun Kekosongan Makna Semakin Dalam

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010, dikenal sebagai kelompok yang terbiasa melakukan multitasking, seperti berselancar di media sosial sambil mencari informasi dan mendengarkan musik sekaligus.[4] Terbentuk di tengah ekosistem digital yang cepat dan interaktif, mereka tumbuh menjadi individu yang kritis dalam menyaring informasi dan ekspresif secara kreatif melalui berbagai platform digital.[5] Namun, di balik kecanggihan dan kelincahan mereka dalam memanfaatkan teknologi, Gen-Z juga menunjukkan sisi kerentanan emosional yang tinggi. Pola pengasuhan yang cenderung memanjakan, minim kelekatan emosional, serta perlindungan berlebih dari orang tua turut membentuk karakter yang kurang tahan terhadap tekanan.[6] Akibatnya, di tengah banjir informasi dan ekspektasi sosial yang kompleks, mereka menjadi generasi yang sekaligus adaptif dan inovatif, namun juga mudah mengalami stres dan kesulitan membangun ketahanan diri.

Generasi Z hidup dalam realitas ganda: satu yang berlangsung secara digital, dan satu lagi yang tersembunyi dalam batin mereka sendiri. Platform seperti Instagram menjadi ruang utama bagi mereka untuk menampilkan versi ideal dari diri, membentuk citra, dan mengejar validasi sosial. Namun, di balik unggahan yang tampak bahagia dan sempurna, tersembunyi ketegangan batin yang tidak selalu terungkap. Tekanan untuk selalu terlihat menarik, relevan, dan sukses di dunia maya menciptakan disonansi antara kehidupan virtual yang dikonstruksi dan realitas batin yang dialami. Ketidaksesuaian ini sering memicu kecemasan, kelelahan emosional, bahkan krisis identitas, karena pengguna merasa harus terus tampil sesuai ekspektasi publik meskipun tidak mencerminkan diri yang sebenarnya. Budaya digital yang membentuk standar popularitas dan penerimaan pun semakin memperdalam jurang ini. Oleh karena itu, penting untuk memahami disonansi ini sebagai fenomena psikososial yang melekat dalam keseharian digital Generasi Z, khususnya dalam konteks budaya media sosial di Indonesia.[7]

Bagi Generasi Z, spiritualitas bukan lagi sekadar ritual atau kewajiban agama, melainkan kebutuhan mendalam untuk menemukan makna, ketenangan, dan arah hidup di tengah dunia yang penuh distraksi dan tekanan. Di era serba digital ini, mereka mencari sesuatu yang lebih dari sekadar pengetahuan intelektual yakni kedalaman batin yang memberi pegangan moral dan emosional. Ruhilogi Quotient (RQ) hadir menjawab kebutuhan ini dengan menggabungkan dimensi spiritual, emosional, dan moral, serta menempatkan spiritualitas sebagai inti dari pembentukan karakter. RQ tidak memandang spiritualitas sebagai pelengkap, melainkan sebagai fondasi utama bagi kehidupan yang utuh dan bermakna bagi Gen Z.

  1. Kritis Makna: Ketika Layar Tidak Menyentuh Jiwa

Di tengah transformasi digital yang meresap ke seluruh aspek kehidupan, muncul fenomena paradoksal: manusia merasa semakin terhubung, tetapi sekaligus semakin hampa. Aktivitas online yang intens, seperti berselancar di media sosial, mengikuti tren digital, atau menjalin komunikasi instan, sering kali menimbulkan ilusi kebersamaan dan kedekatan, padahal yang terjadi justru keterputusan emosional dan kehilangan makna. Teknologi digital bukan sekadar alat netral, melainkan agen aktif yang memediasi cara manusia berpikir, merasakan, dan memahami realitas. Ia membentuk ulang persepsi manusia terhadap dunia dan diri sendiri, sekaligus menyaring pengalaman hidup melalui layar yang serba cepat dan terfragmentasi. Dalam ruang digital ini, batas antara realitas dan ilusi menjadi kabur interaksi menjadi performatif, dan identitas dikonstruksi lewat pencitraan, bukan refleksi. Kesenjangan ini menimbulkan rasa kosong yang tak dapat diisi dengan koneksi virtual semata. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kritis terhadap bagaimana teknologi membentuk pengalaman manusia serta tanggung jawab etis dalam menggunakannya. Hanya dengan begitu, teknologi dapat diarahkan untuk memperkuat kemanusiaan, bukan mereduksinya menjadi sekadar data dan representasi digital. Transformasi digital harus diimbangi dengan refleksi mendalam, agar manusia tetap menjadi subjek yang utuh dalam jaringan dunia yang terus berubah.[8]

Generasi Z tumbuh di tengah kemudahan akses digital yang membuat mereka sangat akrab dengan berbagai platform instan seperti media sosial, game online, hingga kebiasaan self-diagnosis untuk meredakan keresahan batin. Kehadiran aplikasi seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi ruang utama bagi mereka untuk mencari hiburan cepat, mengekspresikan diri, sekaligus melarikan diri dari tekanan hidup yang sering kali menghantui. Begitu pula dengan game online yang menawarkan pelarian sementara dari realitas, menciptakan rasa nyaman dan keterhubungan semu di tengah dunia yang serba cepat.[9] Di sisi lain, arus informasi yang begitu deras tentang kesehatan mental mendorong Gen Z mencari jawaban instan melalui internet dan media sosial, sehingga fenomena self-diagnosis kerap terjadi saat mereka berusaha memahami gejala-gejala yang dirasakan tanpa konsultasi profesional. Semua ini menunjukkan kecenderungan Gen Z untuk mencari ketenangan melalui hal-hal praktis dan instan yang mudah diakses, meskipun sering kali hanya memberi rasa lega sementara tanpa benar-benar menyelesaikan keresahan batin yang lebih dalam.[10]

  1. Perspektif Psikospiritual: Iman dan Jiwa yang Terhubung

Pendekatan psikospiritual merupakan integrasi antara aspek psikologi seperti emosi, motivasi, kepribadian, dan kemampuan adaptasi individu dengan dimensi spiritualitas yang mencakup pencarian makna, keyakinan, serta pengalaman transendental. Dalam perspektif ini, kesehatan mental tidak hanya dipahami sebagai ketiadaan gangguan psikologis, tetapi juga sebagai keadaan di mana seseorang mampu mengenali potensinya, menghadapi tekanan hidup dengan bijak, dan menjalani hidup dengan tujuan yang bermakna. Spiritualitas dalam hal ini bersifat lebih personal dan tidak selalu terikat pada aturan agama formal, melainkan lebih pada kesadaran akan nilai-nilai yang mendalam dan hubungan batin dengan yang Ilahi. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip seperti dzikir (kesadaran terus-menerus akan Tuhan), kesabaran dalam menghadapi ujian, tawakal atau ketergantungan pada kehendak Tuhan, keikhlasan dalam menerima takdir, serta menjaga keseimbangan antara kebutuhan fisik dan spiritual menjadi elemen penting dalam menjaga kesejahteraan mental seseorang secara utuh. Pendekatan ini menekankan bahwa pemulihan dan pertumbuhan manusia tidak cukup hanya melalui pendekatan medis atau psikologis semata, tetapi juga memerlukan penguatan sisi spiritual sebagai sumber kekuatan batin dan ketenangan jiwa.[11]

Fitrah manusia sebagai makhluk ruhaniyah menempatkan dirinya sebagai makhluk yang secara alami membutuhkan arah dan pegangan dalam hidupnya. Dalam dirinya terdapat nafs elemen batin yang menjadi pusat dorongan, hasrat, sekaligus potensi spiritual. Pada mulanya, nafs cenderung mengarahkan manusia pada kenikmatan duniawi dan dorongan egosentris, namun seiring proses penyucian diri (tazkiyatun nafs), ia bisa dituntun menuju kesadaran ilahiah yang lebih tinggi. Jiwa manusia tidak bisa dibiarkan kosong atau liar, karena tanpa bimbingan, ia mudah terseret ke dalam kehampaan atau kehinaan moral. Di sinilah pentingnya arah dan pegangan berupa nilai-nilai transenden, kebajikan, dan ajaran ilahiah yang mampu mengarahkan jiwa kembali kepada fitrah sucinya. Proses tarbiyah yang berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah menjadi pilar utama dalam menjaga dan mengembangkan potensi ruhani, karena hanya dengan bimbingan yang benar, manusia dapat menempuh jalan kesucian jiwa, menemukan makna hidup, dan mencapai ketenangan batin. Maka, manusia bukan hanya membutuhkan pengetahuan duniawi, tetapi juga tuntunan spiritual agar tetap selaras dengan tujuan penciptaannya.[12]

Spiritualitas bukan hanya soal menjalankan agama secara formal, tetapi lebih dalam lagi, merupakan bentuk hubungan yang utuh antara individu dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Praktik spiritual yang dilakukan secara konsisten, seperti doa, puasa, membaca Al-Qur’an, serta rasa syukur, terbukti mampu memberikan dampak besar terhadap kestabilan emosi dan kesehatan mental. Hubungan ini tidak hanya memberi ketenangan batin, tetapi juga memperkuat daya tahan individu dalam menghadapi tekanan hidup. Orang yang memiliki orientasi spiritual yang kuat cenderung merasakan kebahagiaan yang lebih mendalam karena kehidupannya dipenuhi dengan makna dan arah. Spiritualitas juga berperan penting dalam menumbuhkan karakter positif seperti rasa syukur, rendah hati, dan kepedulian sosial, yang semuanya bermula dari kesadaran bahwa hidup ini dijalani bersama dengan kuasa dan pengawasan Tuhan. Ketika seseorang merasa terhubung secara spiritual, ia tidak hanya mampu mengatasi rasa putus asa, tetapi juga bisa menemukan makna dalam penderitaan dan menjadikannya sebagai pijakan untuk bertumbuh. Emosi positif yang muncul dari pengalaman spiritual seperti rasa syukur, membuat seseorang lebih adaptif, lebih damai dalam relasi sosial, dan memberikan dampak konstruktif bagi lingkungan sekitar. Singkatnya, spiritualitas adalah jembatan yang menghubungkan dimensi batin manusia dengan kekuatan transenden, menjadikannya fondasi penting dalam membangun hidup yang lebih sehat, bermakna, dan harmonis.[13]

  1. Kebutuhan Gen-Z: Antara Pencarian dan Pelarian

Gen Z dikenal sebagai generasi yang piawai dalam komunikasi digital, tetapi justru cenderung kurang percaya diri saat harus berkomunikasi tatap muka, apalagi dalam situasi interpersonal yang menuntut ekspresi emosi atau kejelasan maksud secara langsung. Kurangnya kebiasaan dalam komunikasi semacam ini sering menimbulkan kecemasan, yang kemudian berdampak pada cara mereka memandang diri sendiri. Ketika komunikasi tak berjalan mulus, mereka mudah merasa gagal dan menilai dirinya secara negatif. Padahal, sebagian besar pembentukan self-image sangat bergantung pada kualitas interaksi sosial yang dimiliki seseorang. Dalam konteks ini, pendekatan komunikasi yang terlalu formal, menggurui, atau satu arah justru membuat mereka makin tertutup. Mereka lebih merespon cara komunikasi yang terasa hangat, dialogis, dan setara seperti sedang ngobrol, bukan sedang diajar. Di sinilah pentingnya memahami bahwa untuk membangun koneksi dengan Gen Z, bukan hanya soal menyampaikan pesan, tapi juga menciptakan ruang aman yang memungkinkan mereka merasa dihargai dan tidak dihakimi. Dalam suasana yang cair dan suportif seperti ini, potensi mereka untuk tumbuh secara personal dan sosial bisa lebih maksimal.[14]

Pendekatan meditasi Islami seperti tafakur dapat menjadi alternatif efektif dalam mengatasi kecemasan, terutama di tengah masyarakat yang religius seperti Indonesia. Tafakur, sebagai bentuk kontemplasi mendalam dalam tradisi Islam, memberi ruang bagi individu untuk merenung, menenangkan pikiran, dan menghadirkan kesadaran spiritual yang kuat. Pendekatan ini memanfaatkan nilai-nilai keislaman sebagai dasar terapeutik yang dapat menyentuh aspek paling dalam dari jiwa manusia, sehingga mampu memberikan efek relaksasi emosional yang mendalam. Dalam konseling Islami, tafakur bisa diintegrasikan dengan teknik konvensional seperti desensitisasi sistematis, di mana kondisi relaksasi menjadi kunci utama dalam menurunkan respons negatif terhadap pemicu kecemasan. Melalui tafakur, konseli diajak untuk merefleksikan makna hidup, menerima kenyataan dengan lapang dada, serta menghubungkan segala peristiwa yang dialami dengan keyakinan pada kehendak dan hikmah Ilahi. Proses ini tidak hanya membantu menurunkan kecemasan secara kognitif dan emosional, tetapi juga menumbuhkan kekuatan spiritual yang dapat memperbaiki cara berpikir, bersikap, dan berperilaku secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini dinilai lebih sesuai dengan karakteristik masyarakat muslim dan dapat menjadi model konseling integratif yang efektif, terutama dalam menghadapi situasi krisis seperti pandemi atau trauma berat lainnya.[15]

  1. Metode Pengajaran: Meramu Iman, Psikologi, dan Empati

Generasi Z cenderung lebih tertarik pada figur yang autentik, relevan, dan merepresentasikan nilai-nilai mereka. Sosok panutan atau tokoh yang dianggap mampu mewakili aspirasi mereka biasanya memiliki kepribadian yang terbuka, jujur, serta mampu berkomunikasi dengan gaya yang santai namun bermakna. Kedekatan usia dan pengalaman hidup yang serupa dengan Gen Z juga menjadi faktor penting dalam membangun kedekatan emosional. Generasi ini menghargai interaksi langsung, terutama melalui media sosial, sebagai sarana untuk merasa didengar dan dihargai. Tokoh yang dianggap mampu membicarakan isu-isu seperti pendidikan, lingkungan, dan inklusivitas dengan bahasa yang ringan namun substansial akan lebih mudah membangun kepercayaan. Selain itu, penggunaan visual yang menarik, narasi personal yang menyentuh, dan gaya komunikasi yang tidak kaku menjadi strategi penting dalam membangun citra positif di mata Gen Z. Mereka menginginkan tokoh yang bukan hanya mampu berbicara, tetapi juga menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan demikian, strategi komunikasi yang inovatif dan nilai-nilai yang dekat dengan kehidupan mereka menjadi kunci dalam menjalin koneksi emosional dengan generasi ini.[16]

Metode experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman menjadi pendekatan yang sangat relevan bagi Gen Z yang cenderung aktif, kritis, dan menyukai pembelajaran yang bermakna serta kontekstual. Berbeda dengan pendekatan teoritis yang bersifat satu arah, experiential learning menempatkan peserta didik sebagai pelaku utama dalam proses belajar, di mana mereka bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil, aktif terlibat secara intelektual maupun emosional, serta mengalami langsung proses belajar secara konkret. Pendekatan ini mencakup empat tahapan inti: mengalami (concrete experience/CE), merefleksikan (reflective observation/RO), membentuk konsep (abstract conceptualization/AC), dan mengaplikasikan dalam tindakan nyata (active experimentation/AE). Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman langsung yang autentik, mereka tidak hanya menyerap pengetahuan, tetapi juga belajar memahami nilai-nilai sosial, berpikir kritis terhadap realitas sekitar, dan beradaptasi dengan berbagai situasi. Kolb menekankan bahwa pengalaman belajar harus terjadi dalam interaksi sosial yang nyata, tidak dibuat-buat, dan kontekstual, karena itulah tempat dan situasi memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman siswa. Bagi Gen Z yang menyukai dinamika dan pembelajaran yang bisa dihubungkan dengan kehidupan nyata, experiential learning menjadi metode yang efektif karena mampu mengintegrasikan perasaan, pemikiran, dan tindakan secara langsung dalam satu siklus pembelajaran yang berkelanjutan.[17]

Mindfulness training menjadi salah satu pendekatan efektif untuk mengurangi psychological distress dengan menurunkan tekanan psikologis melalui penguatan regulasi emosi, nonattachment, dan pengurangan rumination. Latihan mindfulness juga terbukti mampu menurunkan tingkat stres mahasiswa dan mendukung kesehatan mental mereka dalam menjalani aktivitas akademik. Untuk generasi Z, penerapan mindfulness training melibatkan beberapa tahapan, yakni self-talk untuk melatih pola pikir positif dan membangkitkan semangat melalui afirmasi diri, visual imagery yang mengajarkan membayangkan skenario positif untuk meredam stres dan kecemasan, serta deep breathing atau teknik pernapasan dalam yang memperlambat metabolisme tubuh dan memicu relaksasi. Secara umum, mindfulness mengajarkan individu untuk fokus pada momen saat ini, meningkatkan kesadaran diri, dan mengurangi reaksi negatif terhadap pikiran serta emosi yang muncul. Keberhasilan latihan ini dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan, konsistensi latihan, kepatuhan terhadap praktik mindfulness, serta dukungan sosial yang diterima, sehingga semua faktor tersebut perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan efektivitas mindfulness dalam mengurangi psychological distress di kalangan Gen Z.[18]

Kesimpulan

Generasi Z, yang tumbuh di era digital serba cepat, menghadapi tekanan psikologis dan krisis makna yang serius, meskipun mereka sangat mahir dalam teknologi. Mereka tidak hanya membutuhkan kecakapan intelektual dan emosional, tetapi juga fondasi ruhani yang kuat. Kesehatan mental yang sejati bagi Gen Z tidak cukup hanya dibangun melalui teknik psikologis, melainkan harus berakar pada penguatan iman kepada Allah. Melalui pendekatan psikospiritual, Generasi Z diarahkan untuk kembali kepada fitrah ruhaniahnya dengan memperkuat hubungan dengan Tuhan. Praktik seperti tafakur, experiential learning, dan mindfulness training yang diintegrasikan dengan nilai-nilai keislaman membantu membangun kesadaran diri, ketenangan batin, serta rasa bergantung penuh kepada Allah. Dengan iman yang kokoh, mereka dapat menghadapi tekanan hidup modern dengan keteguhan hati, menemukan makna sejati dalam kehidupan, dan menjalani peran aktif sebagai pribadi yang berkarakter, berdaya tahan, serta memberi manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anbiya, Ahmad Zainal. “Tazkiyatun Nafs Dalam Mengembalikan Fitrah Manusia Modern.” Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam 7, no. 1 (2023): 133–48.

Bukhori, Akhmad, Agustin Revi Yanti, and Arida Rahmawati. “Penerapan Mindfulness Training Sebagai Upaya Dalam Mengurangi Psychological Distress Pada Generasi Z.” Proceedings of Annual Guidance and Counseling Academic Forum, 2023, 1–9. https://proceeding.unnes.ac.id/index.php/agcaf/article/view/2373.

Fauzi, Fikriyah Iftinan, and Fatin Nadifa Tarigan. “Strawberry Generation: Keterampilan Orangtua Mendidik Generasi Z.” Jurnal Consulenza : Jurnal Bimbingan Konseling Dan Psikologi 6, no. 1 (2023): 1–10. https://doi.org/10.56013/jcbkp.v6i1.2047.

Kusumaningtyas, Ratri, Ina Mar’atus Sholehah, and Nika Kholifah. “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Guru Melalui Model Dan Media Pembelajaran Bagi Generasi Z.” Warta LPM 23, no. 1 (2020): 54–62. https://doi.org/10.23917/warta.v23i1.9106.

Maharani, Annisa, Miftahur Rahmah, Reysha Fadzilah Anisha, and Ardi. “Menyiapkan Generasi Z Yang Berkarakter Dan Bijak Dalam Penggunaan Teknologi Melalui Pendidikan.” Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 9, no. 7 (2023): 53–59.

Mohammad Iqbal Ahnaf, Yulianti, Selvone Christin Pattiserlihun, and M Naufal Firosa Ahda. “Membangun Karakter Dan Spiritual Gen Z Di Lingkungan Perspektif Ruhiologi Quotient.” Jurnal Masyarakat Dan Budaya 25, no. 1 (2023): 68–80.

Nurlaila, Cindy, Qurrotul Aini, Sharla Setyawati, and April Laksana. “Dinamika Perilaku Gen Z Sebagai Generasi Internet” 1 (2024): 95–102. https://doi.org/10.62383/konsensus.v1i6.433.

Padang, Kota. “MEMENANGKAN HATI GEN Z : Peran Pemasaran Media Sosial , Branding Politik , Dan Citra Kandidat Muda Dalam Keberhasilan Pemilu Di Sumatra Barat” 8, no. 1 (2025): 145–54.

Rofiq, Arif Ainur, Edris Zamroni, and Dini Farhana Baharudin. “Bagaimana Konseling Islami Dengan Teknik Desensitisasi Sistematis Mengatasi Kecemasan Akibat Pandemi Covid-19?” Jurnal Konseling Dan Pendidikan 9, no. 2 (2021): 180. https://doi.org/10.29210/161700.

Salleh, Sakinah, Rosni Wazir, Kamal Azmi Abd Rahman, Suriani Sudi, Abdul Hadi Awang, and Auf Iqbal Kamarulzaman. “Managing Mental Health Problems Through Psycho Spiritual Approach.” International Journal of Education, Psychology and Counseling 7, no. 47 (2022): 601–15. https://doi.org/10.35631/ijepc.747047.

Sukma Dewi Daryani, and Jamila Wijayanti. “Penerapan Metode Experiential Learning Untuk Mengoptimalkan Keterampilan Berpikir Kritis” 12, no. 1 (2024): 1–2.

Sunyoto, Danang. “Mengasah Generasi Z.” Cv.Eureka Media Aksara, 2024, 1–22.

Sutrisno, Niantoro, Dingot Hamonangan Ismail, Iman Sulaeman, Bakri Bakri, and Sopiah Sopiah. “Komunikasi Berbasis Digitalisasi Yang Efektif Bagi Gen Z Dalam Karier Dan Sosial.” Journal Of Human And Education (JAHE) 4, no. 4 (2024): 248–54. https://doi.org/10.31004/jh.v4i4.1251.

Warner, Erica T., Blake Victor Kent, Ying Zhang, M. Austin Argentieri, Wade C. Rowatt, Kenneth Pargament, Harold G. Koenig, et al. “The Study on Stress, Spirituality, and Health (SSSH): Psychometric Evaluation and Initial Validation of the SSSH Baseline Spirituality Survey.” Religions 12, no. 3 (2021): 1–17. https://doi.org/10.3390/rel12030150.

BUKTI PROSES SUBMIT

 

[1] Annisa Maharani et al., “Menyiapkan Generasi Z Yang Berkarakter Dan Bijak Dalam Penggunaan Teknologi Melalui Pendidikan,” Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 9, no. 7 (2023): 53–59.

[2] Akhmad Bukhori, Agustin Revi Yanti, and Arida Rahmawati, “Penerapan Mindfulness Training Sebagai Upaya Dalam Mengurangi Psychological Distress Pada Generasi Z,” Proceedings of Annual Guidance and Counseling Academic Forum, 2023, 1–9, https://proceeding.unnes.ac.id/index.php/agcaf/article/view/2373.

[3] Sakinah Salleh et al., “Managing Mental Health Problems Through Psycho Spiritual Approach,” International Journal of Education, Psychology and Counseling 7, no. 47 (2022): 601–15, https://doi.org/10.35631/ijepc.747047.

[4] Ratri Kusumaningtyas, Ina Mar’atus Sholehah, and Nika Kholifah, “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Guru Melalui Model Dan Media Pembelajaran Bagi Generasi Z,” Warta LPM 23, no. 1 (2020): 54–62, https://doi.org/10.23917/warta.v23i1.9106.

[5] Danang Sunyoto, “Mengasah Generasi Z,” Cv.Eureka Media Aksara, 2024, 1–22.

[6] Fikriyah Iftinan Fauzi and Fatin Nadifa Tarigan, “Strawberry Generation: Keterampilan Orangtua Mendidik Generasi Z,” Jurnal Consulenza : Jurnal Bimbingan Konseling Dan Psikologi 6, no. 1 (2023): 1–10, https://doi.org/10.56013/jcbkp.v6i1.2047.

[7] Muhammad Abdi Rahman, Norhikmah, dan Sarah, “Agama dan Psikologi (Dampak Spritual Terhadap Kesehatan Mental),” Al-Furqan: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, Vol. 3, No. 6 (November 2024): 2663–2667.

[8] Mohammad Iqbal Ahnaf et al., “Membangun Karakter Dan Spiritual Gen Z Di Lingkungan Perspektif Ruhiologi Quotient,” Jurnal Masyarakat Dan Budaya 25, no. 1 (2023): 68–80.

[9] Cindy Nurlaila et al., “Dinamika Perilaku Gen Z Sebagai Generasi Internet” 1 (2024): 95–102, https://doi.org/10.62383/konsensus.v1i6.433.

[10] Agustin Revi Yanti dan Arida Rahmawati, “Fenomena Self-Diagnosis pada Media Sosial TikTok dan Dampaknya bagi Kesehatan Mental Generasi Z,” Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Tahun 2024 ‘Inovasi Layanan BK di Era VUCA’, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang, hlm. 4–7

[11] Erica T. Warner et al., “The Study on Stress, Spirituality, and Health (SSSH): Psychometric Evaluation and Initial Validation of the SSSH Baseline Spirituality Survey,” Religions 12, no. 3 (2021): 1–17, https://doi.org/10.3390/rel12030150.

[12] Ahmad Zainal Anbiya, “Tazkiyatun Nafs Dalam Mengembalikan Fitrah Manusia Modern,” Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam 7, no. 1 (2023): 133–48.

[13] Muhammad Abdi Rahman, Norhikmah, dan Sarah, “Agama dan Psikologi (Dampak Spritual Terhadap Kesehatan Mental),” Al-Furqan: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, Vol. 3, No. 6 (November 2024): 2663–2667.

[14] Niantoro Sutrisno et al., “Komunikasi Berbasis Digitalisasi Yang Efektif Bagi Gen Z Dalam Karier Dan Sosial,” Journal Of Human And Education (JAHE) 4, no. 4 (2024): 248–54, https://doi.org/10.31004/jh.v4i4.1251.

[15] Arif Ainur Rofiq, Edris Zamroni, and Dini Farhana Baharudin, “Bagaimana Konseling Islami Dengan Teknik Desensitisasi Sistematis Mengatasi Kecemasan Akibat Pandemi Covid-19?,” Jurnal Konseling Dan Pendidikan 9, no. 2 (2021): 180, https://doi.org/10.29210/161700.

[16] Kota Padang, “MEMENANGKAN HATI GEN Z : Peran Pemasaran Media Sosial , Branding Politik , Dan Citra Kandidat Muda Dalam Keberhasilan Pemilu Di Sumatra Barat” 8, no. 1 (2025): 145–54.

[17] Sukma Dewi Daryani and Jamila Wijayanti, “Penerapan Metode Experiential Learning Untuk Mengoptimalkan Keterampilan Berpikir Kritis” 12, no. 1 (2024): 1–2.

[18] Bukhori, Yanti, and Rahmawati, “Penerapan Mindfulness Training Sebagai Upaya Dalam Mengurangi Psychological Distress Pada Generasi Z.”


0 Comments

Leave a Reply