ETIKA POLITIK DAN MODERASI BERNEGARA PERSPEKTIF KH. ALI MAKSUM: FONDASI KEBANGSAAN BERBASIS PESANTREN

Oleh

Lalu Imron Rosyadi

Abstrak

Kajian ini mengulas pemikiran kebangsaan KH. Ali Maksum sebagai representasi etika politik pesantren yang moderat, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan bangsa. Berangkat dari latar keilmuannya yang terbentuk oleh tradisi pesantren Lasem, Tremas, dan Krapyak, penelitian ini menyoroti peran beliau dalam mengembalikan NU ke Khittah 1926, membangun konsep relasi ulama–rakyat–negara, serta meneguhkan Pancasila sebagai dasar berbangsa yang selaras dengan ajaran Islam. Melalui analisis historis dan pemikiran keagamaannya, kajian ini merumuskan model etika kebangsaan berbasis nilai-nilai tawassuth, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar, serta menampilkan empat pilar relevan untuk Indonesia kontemporer: moderasi politik, penolakan terhadap radikalisme, harmoni kelembagaan, dan penerimaan konsensus nasional. Temuan ini menunjukkan bahwa pemikiran KH. Ali Maksum bukan hanya warisan intelektual NU, tetapi juga kontribusi penting bagi penguatan karakter kebangsaan di tengah tantangan polarisasi dan perubahan sosial.

 

Pendahuluan

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, ulama pesantren tidak hanya berperan dalam bidang keagamaan, tetapi juga ikut membentuk karakter kebangsaan dan etika politik yang konstruktif. Salah satu tokoh penting dalam lanskap pemikiran kebangsaan tersebut adalah KH. Ali Maksum, ulama kharismatik yang dikenal karena keluasan ilmu, ketajaman pandangan, dan keberanian moral. Sebagai Rais Aam PBNU pada masa transisi awal Orde Baru, beliau menghadirkan pemikiran yang menyejukkan, moderat, dan solutif dalam merespons hubungan antara agama, kekuasaan, dan negara. Gagasan-gagasannya mengenai etika politik dan moderasi bernegara tidak hanya menjadi pedoman bagi NU, tetapi juga memberi kontribusi besar bagi penguatan identitas kebangsaan Indonesia yang plural, demokratis, dan berakar pada nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah.

Fondasi pemikiran KH. Ali Maksum lahir dari tradisi intelektual pesantren yang mengedepankan kehati-hatian, keseimbangan, dan kebijaksanaan dalam merespons persoalan publik. Baginya, politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan ruang etis untuk menghadirkan kemaslahatan dan menjaga keharmonisan sosial. Sikapnya dalam mengembalikan NU ke Khittah 1926, menerima Pancasila sebagai asas bernegara, serta menjaga jarak dari politik praktis merupakan bukti nyata komitmennya terhadap prinsip moderasi. Melalui integrasi antara ajaran Islam dan nilai-nilai kebangsaan, ia menunjukkan bahwa tradisi pesantren mampu melahirkan etika bernegara yang inklusif: kritis terhadap kekuasaan tanpa bersikap destruktif, dan loyal kepada negara tanpa kehilangan independensi moral ulama.

Pemikiran dan teladan KH. Ali Maksum menawarkan model etika politik yang sangat relevan bagi Indonesia hari ini—etika yang berlandaskan keadaban, persatuan, dan sikap moderat. Karena itu, mengkaji pandangannya bukan hanya penting untuk memahami sejarah intelektual NU, tetapi juga menjadi kunci dalam merumuskan fondasi kebangsaan yang lebih kokoh di tengah tantangan radikalisme, polarisasi politik, dan perubahan sosial yang cepat. Melalui tradisi pesantren, gagasan-gagasannya menghadirkan jalan tengah yang menegaskan bahwa moderasi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan untuk menjaga Indonesia tetap utuh, stabil, dan berdaulat secara moral maupun politik.

 

Biografi

KH. Ali Maksum lahir di sebuah sudut Lasem yang penuh warna budaya pada 2 Maret 1915. Ia datang dari keluarga ulama terpandang, di mana ayahnya, KH. Maksum Ahmad, tidak hanya dikenal sebagai pendiri pesantren, tetapi juga bagian dari jaringan ulama Nusantara yang disegani. Sejak kecil, Ali tumbuh di antara suara santri mengaji, aroma kayu pesantren, dan dinamika masyarakat Lasem yang multikultural. Lingkungan itu perlahan membentuk dirinya menjadi sosok yang lembut, terbuka, dan penuh penghargaan terhadap perbedaan.

Masa kecilnya tidak hanya diisi pelajaran kitab, tetapi juga pengalaman sederhana yang menanamkan banyak nilai. Ia bermain dengan saudara-saudaranya, mengamati kehidupan masyarakat, hingga sesekali menikmati pertunjukan wayang yang menjadi denyut budaya Lasem. Ketika kakeknya mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat pada 1917, dunia Ali kecil semakin dekat dengan tradisi keilmuan yang kelak menjadi jalan hidupnya.

Bakat Ali dalam ilmu agama terlihat sejak dini. Ia belajar langsung dari ayahnya dan menunjukkan kemampuan luar biasa dalam ilmu alat seperti nahwu dan sharaf. Setelah itu, ia menempuh perjalanan belajar yang panjang: berguru kepada KH. Amir Idris di Pekalongan, kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas, Pacitan—salah satu pusat intelektual Islam paling berpengaruh di Jawa. Di Tremas, kecerdasannya membuat para santri menjulukinya “Munjid berjalan”, karena ia hafal dan memahami kaidah bahasa Arab dengan sangat mendalam. Pada usia muda, ia bahkan sudah ikut dalam pembaruan sistem pendidikan pesantren menjadi madrasah modern.

Pada 1938, Ali menikahi Nyai Hasyimah, putri dari KH. Munawwir Krapyak. Pernikahan itu membawa Ali memasuki jejaring ulama besar Krapyak, sekaligus membuka babak baru dalam hidupnya. Tidak lama kemudian, ia berangkat ke Mekkah. Selama dua tahun, ia menunaikan ibadah haji sambil menimba ilmu dari para masyayikh, mengumpulkan kitab-kitab penting, dan memperluas wawasannya tentang dunia Islam. Ketika kembali ke Indonesia pada 1940, sambutan hangat masyarakat Lasem menandai pengakuan atas keluasan ilmunya.

Perjalanan Ali Maksum berikutnya membawa dirinya ke pusat-pusat aktivitas NU. Pada 1950, ia aktif di NU Yogyakarta, membina kader muda di tengah suasana politik nasional yang bergolak. Ia mengajar di IAIN Sunan Kalijaga hingga 16 tahun lamanya, menjadi guru bagi banyak pemikir dan ulama masa depan. Setelah itu, ia kembali memusatkan pengabdiannya pada NU dan Pesantren Krapyak, tempat ia merumuskan prinsip-prinsip perjuangan NU: kesetiaan pada manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, pentingnya keteraturan organisasi, dan komitmen menjaga ajaran NU secara konsisten.

Sebagai ulama, perannya tidak hanya terasa di pesantren, tetapi juga dalam panggung kebangsaan. Sejak 1955, ia membangun kekuatan kultural NU, membina masyarakat kecil, akademisi, hingga politisi. Keteguhannya mengawal Khittah 1926 dan pandangannya tentang waliyul amri dharuri bissyaukah menjadikan NU lebih matang dalam bersikap terhadap negara dan Pancasila. Banyak kalangan menjadikannya rujukan ketika bangsa berhadapan dengan gejolak politik dan ancaman separatisme.

Di tahun 1970–1980-an, Kiai Ali tampil sebagai figur yang menjembatani perbedaan. Ia mendorong terwujudnya ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Dalam isu-isu sensitif—seperti RUU Perkawinan 1973, kristenisasi, hingga relasi antaragama—ia selalu hadir dengan pandangan bijak dan menenteramkan. Pada Munas Alim Ulama NU 1983, ia tampil dengan keberanian moralnya: menegaskan bahwa Pancasila dan UUD 1945 selaras dengan nilai-nilai Islam. Sikapnya ini berhasil meredam ketegangan ideologis sekaligus meneguhkan posisi NU sebagai kekuatan pemersatu bangsa.

KH. Ali Maksum wafat pada 7 Desember 1989 di Yogyakarta. Namun jejak hidupnya tidak pernah benar-benar hilang. Ia meninggalkan warisan keilmuan, kebangsaan, dan keteladanan yang terus hidup melalui Pesantren Krapyak, melalui NU, dan melalui ribuan murid yang meneruskan langkah-langkahnya. Kisah hidupnya menjadi bukti bahwa ulama pesantren bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penuntun bangsa.

Fokus Kajian

Dengan latar biografis dan pemikiran yang demikian kaya, fokus kajian ini adalah menggali dan merumuskan etika politik serta etika bernegara ala KH. Ali Maksum sebagai kontribusi penting dalam khazanah Islam Nusantara. Kajian ini menyoroti sikap beliau dalam Khitah 1926, pandangannya terhadap gerakan DI/TII, konsep relasi “ulama–rakyat–negara”, serta dukungannya terhadap Pancasila sebagai asas berbangsa. Melalui analisis terhadap sikap-sikap tersebut, penelitian ini bertujuan menyusun model etika kebangsaan berbasis pesantren yang relevan bagi penguatan moderasi beragama dan karakter kebangsaan Indonesia masa kini.

Pembahasan

  1. Fondasi Pemikiran Kebangsaan KH. Ali Maksum: Akar Pesantren dan Tradisi Keilmuan

Sejak kecil, KH. Ali Maksum tumbuh dalam atmosfer pesantren yang kuat melalui pendidikan langsung dari ayahnya, KH. Maksum Ahmad, seorang ulama Lasem yang menolak model sekolah kolonial. Lingkungan keluarga santri ini tidak hanya membentuk kedisiplinan intelektual, tetapi juga menanamkan sikap hidup yang berakar pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Pada usia 10 hingga 11 tahun, ia mulai menempuh pendidikan di bawah bimbingan KH. Amir Idris di Pekalongan, sebelum melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Pesantren Tremas. Interaksi KH. Ali dengan para santri dari berbagai daerah dan latar budaya membuat pribadinya sejak muda terbuka, toleran, dan mudah menghargai perbedaan. Suasana multikultural Lasem dan tradisi pesantren keluarganya menjadi fondasi penting bagi karakter moderat dan etika sosialnya yang kelak berpengaruh pada pandangan kebangsaannya.

Pendidikan KH. Ali mencapai puncaknya ketika ia belajar di Pesantren Tremas di bawah asuhan KH. Dimyathi, tempat ia mendalami kitab-kitab mu‘tabarah seperti Fathul Mu‘in, Alfiyah Ibn Malik, Tafsir Jalalain, hingga Shahih Bukhari. Semangat belajarnya terlihat dari kesediaannya menetap selama tiga tahun tanpa pulang, serta kecerdasannya yang membuat ia dijuluki “Munjid berjalan” karena penguasaannya terhadap ilmu alat dan bahasa Arab. Di Tremas, ia tidak hanya menjadi santri, tetapi juga dipercaya mengajar dan turut menggagas pembaruan pendidikan menjadi sistem madrasah pada tahun 1932. Tradisi keilmuan yang kuat ini kemudian dilanjutkan melalui rihlah ilmunya ke Mekkah selama dua tahun, di mana ia berinteraksi dengan ulama dari berbagai mazhab dan mengikuti dinamika pemikiran Islam kontemporer. Perpaduan antara disiplin pesantren, keluasan bacaan, dan perjumpaan dengan wacana pembaruan Islam inilah yang membentuk konstruksi awal pemikiran kebangsaan KH. Ali Maksum yang moderat, inklusif, dan berpijak pada harmoni antara agama dan realitas sosial.

 

  1. Etika Politik dalam Khitah NU 1926: Moderasi sebagai Prinsip Perjuangan

Sebagai Rais Aam NU pada periode 1981–1984, KH. Ali Maksum tampil sebagai sosok yang menuntun NU kembali pada jati diri dasarnya. Di tengah dinamika politik nasional yang sarat kepentingan, beliau memaknai Khittah 1926 sebagai pedoman etis yang menjaga NU dari arus politik praktis sekaligus mempertahankan independensi ulama. Bagi KH. Ali Maksum, Khittah bukan sekadar keputusan organisatoris, tetapi fondasi moral yang memastikan perjuangan NU senantiasa berpihak pada kemaslahatan umat dan bangsa. Karena itu, ketika negara menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal, beliau menerimanya sebagai ruang untuk meneguhkan identitas NU sebagai organisasi Islam yang tetap setia pada ajaran agama sambil memperkuat persatuan nasional. Pemahaman ini mendorongnya menjadi tokoh sentral dalam Munas Alim Ulama Situbondo 1983 dan Muktamar ke-27 tahun 1984, di mana ia bersama para ulama sepuh, seperti KHR As’ad Syamsul Arifin dan KH. Makrus Ali, mengembalikan NU ke Khittah, serta mengambil keputusan besar untuk menarik NU dari PPP agar kembali fokus pada dakwah, pendidikan, dan pembangunan karakter bangsa.

Dalam seluruh pengabdiannya, KH. Ali Maksum menunjukkan moderasi sebagai prinsip perjuangan. Ia menolak jabatan politik untuk menjaga NU tetap sebagai gerakan sosial-keagamaan yang kritis namun konstruktif, memposisikan NU sebagai pengawal etika politik yang mampu menegur kekuasaan tanpa bermusuhan, dan berkontribusi bagi negara tanpa kehilangan independensi ulama. Pendekatan yang ia bangun bertumpu pada ukhuwah Islamiyah, basyariyah, dan wathaniyah sebagai landasan hubungan harmonis antarumat, antar-manusia, dan antarwarga bangsa. Bahkan menjelang akhir hayatnya, KH. Ali Maksum tetap hadir dalam Muktamar NU ke-28 di Krapyak pada 1989 meski dalam kondisi lemah, menunjukkan komitmennya menjaga arah perjuangan NU. Dari perjalanan panjang itu tampak jelas bahwa moderasi politik dalam Khittah bukan sekadar konsep, tetapi praksis moral yang diwariskan KH. Ali untuk memastikan NU terus relevan sebagai penjaga moral masyarakat dan pembangun karakter bangsa.

 

  1. Etika Kebangsaan KH. Ali Maksum: Integrasi Islam dan Pancasila

Dalam kerangka etika kebangsaan, KH. Ali Maksum menegaskan bahwa keputusan NU untuk menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi mencerminkan sikap dewasa dan keberanian moral para ulama. Menurutnya, pencantuman Pancasila dan UUD 1945 dalam pasal 3 Anggaran Dasar NU merupakan langkah maju yang menunjukkan kuatnya rasa nasionalisme di lingkungan ulama, sekaligus bentuk tanggung jawab mereka terhadap masa depan bangsa. KH. Ali Maksum menekankan bahwa penerimaan Pancasila bukan lahir dari tekanan eksternal, tetapi dari kesadaran mendalam akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan nasional di tengah perubahan sosial-politik yang dinamis.

 

  1. Konsep “Ulama-Rakyat-Negara”: Kerangka Etika Bernegara Berbasis Pesantren

Kiprah KH Ali Maksum menunjukkan bagaimana ulama pesantren menempati posisi strategis dalam menjaga hubungan harmonis antara rakyat dan negara. Sejak pulang dari Makkah tahun 1941, beliau mengembangkan Pesantren Krapyak bersama para ulama “Tiga Serangkai” dan membangun pendidikan keagamaan yang modern, dinamis, serta berorientasi pada kemaslahatan publik. Peran ulama tidak berhenti pada pengajaran agama, tetapi meluas pada pembinaan masyarakat, penguatan moral publik, serta pembentukan karakter bangsa. Melalui dakwah yang menekankan persatuan, kedisiplinan, keikhlasan, gotong royong, hingga tanggung jawab sosial, KH Ali Maksum membuktikan bahwa pesantren adalah pilar etis yang menghubungkan nilai-nilai agama dengan kebutuhan masyarakat luas.

Dalam ranah kenegaraan, KH Ali Maksum tampil sebagai figur yang menata hubungan konstruktif antara ulama dan pemerintah. Ia menjadi pengawal Khittah NU 1926, menjaga NU dari politik praktis, sekaligus memperkuat legitimasi negara melalui konsep waliyul amri dlaruri bissyaukah. Beliau mendukung Pancasila sebagai dasar negara, memberikan pandangan kenegaraan dalam berbagai isu publik seperti RUU Perkawinan, kerukunan antarumat beragama, hingga etika informasi. Sikap ini menunjukkan model relasi Ulama–Rakyat–Negara yang saling menopang: ulama memberi bimbingan moral, rakyat membangun kesadaran kebangsaan, dan negara menjamin ruang kehidupan beragama. Dengan pola ini, KH Ali Maksum berhasil menghadirkan etika bernegara berbasis pesantren yang harmonis, inklusif, dan berorientasi pada persatuan nasional.

 

  1. Dukungan KH. Ali Maksum terhadap Pancasila: Tafsir Pesantren atas Ideologi Negara

KH Ali Maksum memandang Pancasila sebagai dasar negara yang selaras dengan ajaran Islam dan menjadi fondasi kebangsaan yang harus dijaga oleh umat, sebagaimana ia tegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983. Sikap ini lahir dari pandangan fiqih para ulama pendahulunya—termasuk KH Hasyim Asy’ari—yang menetapkan presiden, pemerintah, dan parlemen sebagai waliyul amri dlaruri bissyaukah, sehingga keberadaannya sah dan wajib ditaati demi kemaslahatan bangsa. Berpijak pada warisan tersebut, Kiai Ali menyadari pentingnya menggabungkan prinsip agama, ideologi politik, dan kebutuhan masyarakat untuk memperkuat negara serta meredam gerakan separatis seperti DI pada 1950-an. Karena itu, ia mendorong NU menerima asas Pancasila, membimbing umat agar memahami Pancasila tidak hanya dengan pendekatan keagamaan tetapi juga filosofis, serta mendukung program-program negara seperti pengawasan moral publik, pembinaan film nasional, pendayagunaan zakat, KB, hingga etika dakwah sesuai Khittah NU 1926. Dalam dakwah dan pandangan politiknya, Kiai Ali menekankan bahwa bangsa hanya dapat dibangun melalui nilai-nilai akhlak yang sejalan dengan Pancasila—seperti persatuan, gotong royong, toleransi, kedisiplinan, kejujuran, dan tanggung jawab—yang sejak lama menjadi nadi pesantren. Dengan peran itu, Kiai Ali menjadi figur penting yang menjembatani pesantren, umat Islam, dan negara, sekaligus menunjukkan bahwa Pancasila dapat ditafsirkan secara kuat melalui tradisi keilmuan pesantren sebagai ideologi pemersatu bangsa.

 

  1. Model Etika Kebangsaan Berbasis Pesantren: Relevansi Pemikiran KH. Ali Maksum bagi Indonesia Kontemporer

Pemikiran KH. Ali Maksum memberikan fondasi penting bagi perumusan model etika kebangsaan yang berakar pada tradisi pesantren dan tetap relevan dengan dinamika Indonesia kontemporer. Dalam Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau menegaskan empat nilai utama Islam moderat—tawassuth, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar—sebagai pedoman bersikap di tengah perbedaan. Komitmen beliau terhadap moderasi tidak berhenti pada tataran teoretis; sebagai Rais Aam PBNU, KH. Ali Maksum mengembalikan NU pada Khittah 1926, memperkuat posisi NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang mendukung Pancasila dan menjauhi politik praktis. Melalui pendekatan keilmuan yang deduktif dan berbasis dalil, ia menekankan pentingnya menjaga ukhuwah Islamiyah, menolak sikap ekstrem, serta membangun keseimbangan antara agama–sains, modernitas–tradisi, dan kepentingan individu–masyarakat. Semua ini menjadi pijakan awal bagi penyusunan model etika kebangsaan yang menjunjung harmoni sosial dan integritas keislaman.

Dari rekam jejak intelektual, sosial, dan kebangsaan KH. Ali Maksum, dapat dirumuskan empat pilar etika kebangsaan yang praktis dan aplikatif untuk Indonesia masa kini: pertama, moderasi sebagai prinsip politik, yang menolak polarisasi dan mendorong dialog antarkelompok; kedua, penolakan terhadap kekerasan dan radikalisme, sebagaimana konsistensi beliau dalam menghadapi konflik ideologis dan gerakan ekstrem pada zamannya; ketiga, harmoni ulama–rakyat–negara, tercermin dari kiprahnya membangun hubungan konstruktif antara pesantren, masyarakat, dan pemerintah; dan keempat, penerimaan terhadap konsensus kebangsaan, khususnya Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar yang tidak bertentangan dengan agama. Keempat pilar ini relevan untuk memperkuat karakter kebangsaan di pesantren, sekolah, dan ruang publik, terutama di tengah meningkatnya ekstremisme digital dan krisis kepercayaan sosial. Dengan demikian, pemikiran KH. Ali Maksum bukan sekadar warisan sejarah, tetapi fondasi strategis bagi pembangunan moderasi bernegara di Indonesia saat ini.

 

Kesimpulan

KH. Ali Maksum tampil sebagai ulama yang berhasil memadukan kedalaman tradisi pesantren dengan visi kebangsaan yang moderat, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan bangsa. Fondasi keilmuannya yang kuat membentuk karakter terbuka dan toleran, yang kemudian ia terjemahkan dalam etika politik melalui Khittah NU 1926, penerimaan terhadap Pancasila, serta penataan hubungan harmonis antara ulama, rakyat, dan negara. Melalui pandangan dan praksisnya, ia menegaskan bahwa nilai-nilai inti pesantren—moderasi, persatuan, dan tanggung jawab sosial—sejalan dengan kebutuhan negara modern dan dapat menjadi pilar etika kebangsaan yang relevan hingga hari ini. Warisan pemikirannya menunjukkan bahwa menjaga persatuan nasional bukan hanya kerja politik, tetapi juga tugas moral yang berakar pada ilmu, akhlak, dan komitmen terhadap kemaslahatan umat.

 

Referensi

Athoillah, A. 2018. “Janji Terakhir KH Ali Maksum untuk NU”. Diperoleh dari https://nu.or.id/opini/janji-terakhir-kh-ali-maksum-untuk-nu-7C1H5. Diakses pada 10.55/06/12/2025.

Habibah, NL. 2024. “KH. Ali Maksum, Ulama NU dengan Semangat Modernis”. Diperoleh dari https://beritajatim.com/kh-ali-maksum-ulama-nu-dengan-semangat-modernis. Diakses pada 10.52/06/12/2025.

Holilulloh, & Shohib, M. 2025. Nilai-nilai Islam Moderat Perspektif KH Ali Maksum Krapyak dan Relevansinya dengan Pemikiran Agama Islam. Jurnal Sains Student Research, 3(3). DOI : https://doi.org/10.61722/jssr.v3i3.4894.

Laksoni, D.S., & Shohib, M. 2025. Pendidikan Islam Moderat dan Implikasinya Perspektif KH. Ali Maksum. EDUCATIONAL: Jurnal Inovasi Pendidikan & Pengajaran, 5(4). Diperoleh dari https://jurnalp4i.com/index.php/educational/article/view/7842/5306.

Mustolehudin, & Muawanah, S. 2018. Pemikiran Pendidikan K.H. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 16(1).

NU Online. 2022. “KH Ali Maksum: Ulama Pembangun Karakter Bangsa”. Diperoleh dari https://www.nu.or.id/tokoh/kh-ali-maksum-ulama-pembangun-karakter-bangsa-VrZ38. Diakses pada 09.50/06/12/2025.

Prayoga, Y. 2024. “Kiprah Kiai Ali Maksum Membangun Organisasi dan Bangsa Indonesia”. Diperoleh dari https://lampung.nu.or.id/teras-kiai/kiprah-kiai-ali-maksum-membangun-organisasi-dan-bangsa-indonesia-tTfm5. Diakses pada 20.54/06/12/2025.

Rosidin, & Arfan, I.A. 2024. Upaya Pesantren dan Upaya Penanggulangan Radikalisme di Indonesia. Jurnal SMaRT, 10(2). DOI: https://doi.org/10.18784/smart.v10i2.2510.

Sari, MK. 2022. “KH. Ali Maksum Krapyak (1915-1989)”. Diperoleh dari https://humaniora.uin-malang.ac.id/esai/kh-ali-maksum-krapyak-1915-1989/. Diakses pada 09.48/06/12/2025.

 

Identitas Penulis

Lalu Imron Rosyadi adalah mahasiswa semester tujuh Program Studi Pendidikan Bahasa Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus penulis aktif di Kompasiana dengan lebih dari 50 artikel yang telah dipublikasikan. Selain produktif menulis esai populer, ia juga terlibat dalam penelitian akademik, di antaranya “Pembelajaran Nahwu Berbasis Teacher Centered Learning serta Implikasinya terhadap Keterampilan Membaca Kitab di Pesantren Anwarul Huda Malang” yang terbit pada Jurnal Maharaat Lughawiyyat (2024), serta “The Representation of the Prophet in the Qur’an and Sirah: A Historiographical Critique of the Narrative of the Prophet’s Life in Ibn Ishaq’s Sirah Nabawiyyah” yang dipublikasikan dalam Jurnal Ta’wiluna (2025). Melalui karya-karyanya, ia menaruh perhatian pada isu-isu pendidikan bahasa Arab, pemikiran Islam, dan kajian sejarah keislaman kontemporer.

Leave a Reply