Sejarah Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqih
Oleh: Luqyana Lutfi Hana, Mochamad Ariel Ferdiansyah, Zahwa Amalia Nisa’
Universitas Negeri Islam Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAK
Artikel ini membahas perkembangan periodisasi ushul fiqih mulai dari masa Rasulullah, para sahabat, para tabi’in, 4 Imam madzhab, hingga masa muta’akhirin. Artikel ini ditulis untuk mengatasi pemahaman yang salah dari umat muslim di zaman sekarang.Metode penelitian yang digunakann dalam penelitian ini adalah library research, dengan mengumpulkan berbagai literatur yang ada. Ushul fiqih adalah ilmu untuk menetapkan suatu hukum dengan menggunakan sumber dari Al-Quran dan sunnah. Ushul fiqih pertama kali ada pada masa Rasulullah, tepatnya saat beliau pertama kali diutus. Pada saat itu ushul fiqih hanya sebatas penafsiran terhadap Al-Qur’an dan hadits dari Nabi. Seiring berjalannya waktu, metode yang digunakan dalam ushul fiqih ikut berkembang pula. Terlebih lagi di zaman kontemporer seperti saat ini metode penetapan hukum semakin bertambah dan berkembang mengikuti berbagai permasalahan yang baru muncul.
Kata Kunci: Perkembangan, Metode, Periodisasi, Ushul fiqh
PENDAHULUAN
Agama merupakan suatu aspek yang penting dalam kehidupam bermasyarakat. Karena itu, agama perlu dipelajari dan digali lebih dalam untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sebagai orang yang beriman sudah sepantasnya kita melakukan semua yang diperintahkannya dan menjauhi semua yang dilarangnya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman hukum-hukum islam ini semakin terlupakan yang mana hal ini sesuai dengan sabda dari Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam. Karena itu, diharapkan tulisan ini mampu memberikan pengetahuan dasar terkait dasar dan prinsip dari hukum islam.
Ushul fiqh muncul untuk membantu umat muslim dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan hukum Islam. Ushul Fiqih merupakan sebuah ilmu yang semestinya harus dimilki dan dikuasai oleh setiap orang. Dengan adanya hukum islam yang muncul melalui ushul fiqh setiap orang bisa mengerti dan paham aturan-aturan yang dibuat oleh para ulama dengan pendapat yang berbeda-beda. Berbagai persoalan-persoalan masalah yang muncul membuat para ahli fiqh ingin memberi kejelasan melalui pendapat-pendapatnya. Maka dari itu, ushul fiqh muncul untuk membantu hamba Allah tentang persoalan masalah dengan jawaban dan pendapat dari para ulama.
Dalam perkembangannya ushul fiqh terbagi menjadi beberapa periode yaitu; periode Rasulullah, periode para sahabat, periode para tabi’in, periode 4 imam madzhab dan periode mutaakhirin (generasi murid 4 imam madzhab). Dalam setiap periodenya ushul fiqih memiliki beberapa persamaan dalam sumber penetepan hukumnya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah.
Namun, seiring berkembangnya zaman metode penetapan hukum islam yang ada semakin berkembang pula. Hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa metode penetapan hukum yang baru seperti qiyas, istihsan, istishab, maslahah. Selain itu, pertimbangan penggunaan akal atau ra’yu.
Berdasarkan penjelasan diatas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
- Apa pengertian ushul fiqih ?
- Bagaimana perkembangan ushul fiqih disetiap periodenya ?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini yaitu library research, yakni dengan mengumpulkan berbagai sumber literatur baik dari buku, jurnal, ataupun sumber literatur yang lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif tentang bagaimana perjalanan ushul fiqih dari awal hingga saat ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Ushul Fiqh
Ushul fiqih terdiri dari dua kata bahasa Arab “أصول” (Ushulun) yang merupakan jama’ dari “أصل” (Ushlun), secara etimologi berarti suatu hal yang menjadi pondasi hal lain, secara terminologi adalah يقال على الدليل والقاعدة الكلية والراجح yang artinya “Dikatakan pada bukti dan aturan keseluruhan dan yang paling benar”. Adapun “الفقه” secara etimologi yaitu “الفهم” artinya “pengertian”, dan secara terminologi “العلم بالأحكام الشرعية التى طريقها الإجتهاد” artinya “Pengetahuan tentang hukum-hukum yang merupakan jalan ijtihad”. Dari penjabaran tersebut maka, ushul fiqih merupakan pengetahuan yang berasal dari prinsip-prinsip dan analisis yang dapat menghasilkan kesimpulan tentang tindakan manusia berdasarkan bukti-bukti yang detail.
Dengan demikian, bisa dijelaskan bahwa ilmu ushul fiqh adalah disiplin ilmu yang bertujuan untuk merumuskan hukum syariah dari bukti-bukti yang terinci. Dalam istilah yang lebih sederhana, ushul fiqh adalah kumpulan prinsip yang menjelaskan metode-metode untuk menetapkan hukum-hukum dari bukti-bukti tersebut. Sebagai contoh, dalam kitab-kitab fiqh sering dinyatakan bahwa “melakukan salat adalah wajib”. Wajibnya melakukan salat disebut sebagai “hukum syariah”. Tidak ada ayat dalam Al-Qur’an atau hadis yang menyatakan bahwa salat itu wajib, tetapi hanya terdapat perintah untuk melaksanakan salat. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan salat disebut “dalil syariah”. Dalam menetapkan kewajiban salat berdasarkan dalil syariah, terdapat aturan yang harus diikuti. Salah satu prinsipnya adalah “setiap perintah menunjukkan kewajiban”. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ini untuk menetapkan hukum dari bukti-bukti syariah tersebut disebut sebagai ‘Ilmu Ushul Fiqh’.[1]
Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqih
Ushul Fiqih Pada Periode Rasulullah
Ushul fiqih pertama kali ada pada abad kedua hijriyah yang disebut periode Insya’ dan takwin (pertumbuhan dan pembentukan). Periode ini berlangsung selama 22 tahun yaitu saat diangkatnya Nabi Muhammad SAW. menjadi Rasullullah pada tahun 610 M sampai Rasulullah wafat pada tahun 632 M.[2] Di abad ini, lingkup pengaruh kekuasaan umat Islam meluas, dan banyak orang non-Arab mulai menerima keberadaan Islam. Oleh sebab itu, banyak kekeliruan dalam memahami nash, maka diperlukannya penetapan kaidah kebahasaan ketika membahas nash tersebut. Dari banyaknya kekeliruan tersebut maka lahirlah ilmu ushul Fiqh yang berfungsi sebagai pedoman dalam memahami nash.[3]
Menurut penjelasan dari Asbab al Nuzul, pengertian bahwa Rasulullah Saw. dalam memberi pemahaman dari permasalahan terkait selalu di sandarkan pada wahyu Allah Swt. dengan mempertimbangkan kembali aspek hukum dari firman Allah Swt. Adapun metode yang dipilih Rasulullah Saw. dalam menjawab permasalahan dan penjelasan dari para sahabat dengan perkataan, perbuatan, dan pengakuannya yang disebut sunnah Rasulullah Saw. Sehingga pada masa Rasulullah, segala bentuk sunnah dikerjakan dan ditafsirkan oleh umat Islam terdahulu dengan kaidah yang heterogen yang dimana kemudian diuraikan dan diperinci oleh para ahli hukum Islam. Pemecahan masalah demikian yang disebut dengan istilah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqih, dan masih perlu dikembangkan dan dikaji lebih secara berkala agar bisa disebut sebagai ilmu ushul fiqih. Bentuk-bentuk dasar ushul fiqih
Secara teoritis ushul fiqih dipergunakan oleh sebagian sahabat, namun pada masa itu ushul fiqih dipergunakan ketika ada suatu persoalan yang memerlukan kepastian hukum, maka hal pertama kita harus melihat terlebih dahulu kepada sumber utama yaitu Al-qur’an baru kemudian kepada Hadits untuk mendapatkan jawaban atas keputusan tersebut. Jika dari Al-qur’an dan hadits tidak dapat menemukan solusinya maka dapat melakukan ijtihad.
Ushul Fiqih Pada Periode Sahabat
Periode ini merupakan masa peralihan dari masa Rasulullah ketika masih hidup dan menuju era dimana Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Pada periode ini, ketika Nabi masih hidup, Ikhwanul Muslimin (sahabat) menggunakan tiga sumber informasi penting: Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu (akal) untuk memecahkan permasalahan hukum. Ada beberapa sahabat yang dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud. Kemampuan mereka dalam berfatwa beberapa sudah dimulai di Masa Rasulullah Saw.[4]
Pada periode Sahabat, terjadi berbagai peristiwa yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. Untuk memberlakukan atau menetapkan sebuah hukum yang belum pernah terjadi tersebut maka para sahabat membuat kesepakatan yang disebut dengan ijma’. Oleh karena itu, ushul fiqih sebenarnya telah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. dan disempurmakan lagi pada periode sahabat. Setelah wafatnya Rasulullah, Ijtihad sahabat-sahabat juga menjadi sumber hukum Islam.
Selain itu, para sahabat juga menggunakan ra’yu yang berupa mashlahah dan qiyas untuk menemukan solusi dari permasalahan baru yang belum terjadi pada masa Rasulullah. Penggunaan qiyas ini digunakan untuk mencari permasalahan yang baru. Contoh sahabat yang berjtihad adalah Umar bin Khattab. Khalifah Umar tidak memberlakukan hukum untuk memotong tangan orang yang mencuri karena lapar.
Adapun contoh lain yaitu, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa hukuman bagi orang yang minum khamar sama dengan hukuman bagi orang yang berbuat qadzaf (menuduh orang lain berzina), yaitu 80 kali hukum cambukan. Khalifah Ali mengklaim bahwa minum khamar dapat membuat mabuk dan peminumnya dapat mengigau ketika meminumnya. Ketika seseorang dalam keadaan mabuk, maka ucapannya menjadi tidak terkendali dan dia menuduh orang lain melakukan perzinahan.[5]
Pemakaian maslahah juga menjadi bagian penting dalam fiqih sahabat. Khalifah Umar bin Khattab diketahui sebagai sahabat yang mempublikasikan pemakaian penalaran maslahah dalam penyelesaian hukum. Pemakaian pertimbangan mashlahah tersebut dapat diamati dalam penghimpunan Alquran dalam satu mushaf, tidak menetapkan hukum potong tangan di waktu masa sulit (paceklik), penerapan pajak tanah (kharaj), pemutusan jatah zakat bagi muallaf, dan lainnya.[6]
Ushul Fiqih Pada Periode Tabi’in
Tabi’in merupakan sebutan untuk generasi setelah para sahabat. Para Tabi’in adalah mereka yang lahir pada masa para sahabat dan belajar secara langsung kepada mereka. Pada masa ini perkembangan ushul fiqih tidak jauh berbeda dengan masa para sahabat. Para Tabi’in ini tersebar di beberapa daerah karena para sahabat pada era sebelumnya yang menjadi guru mereka tersebar di beberapa wilayah untuk menyebarkan islam.[7]
Ada banyak golongan para tabi’in yang mengkhususkn dirinya sendiri untuk berijtihad dan berfatwa. Seperti, Sa’id ibn al-Musayyab, Alqamah ibn al-Qays, dan Ibrahim al Nakha’i. Metode istinbath yang digunakan oleh mereka tidak berbeda dengan para sahabat. Namun pada masa ini terdapat 2 fenomena penting yang menjadi pembeda dari masa para sahabat, yaitu pemalsuan hadits dan perdebatan tentang penggunaan ra’yu yang melahirkan kelompok ahl al-ra’yi, dan ahl al-hadits. Sehingga, hal ini menyebabkan munculnya perbedaan metode ijtihad di kalangan para fuqaha berdasarkan tempat atau kondisi geografis mereka.[8]
Dalam berijtihad para tabi’in pada masa ini memperhatikan berbagai sudut pandang dan efek yang ditimbulkan dari suatu hukum. Contohnya adalah perbedaan antara fuqaha dari Irak yang lebih menggunakan pertimbangan ra’yu dengan para fuqaha dari Madinah yang lebih menggunakan hadits-hadits dari Rasulullah. Dalam setiap masalah para fuqaha dari Irak mencari illatnya terlebih dahulu untuk menyamakan kasus yang baru dengan kasus yang sudah ada. Perbedaan inilah yang menyebabkan munculnya perbedaan dikalangan para fuqaha dalam mengistinbathkan hukum.[9]
Ushul Fiqih Pada Periode Imam Madzhab
Periode dimulai dengan munculnya Imam Mujtahidin yang berlangsung sejak tahun 100 Hijriyah hingga 350 Hijriyah. Pada masa ini terdapat 4 imam besar yang mendirikan madzhabnya masing-masing. yaitu Imam Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Sayfi’I (Syafi’i), Imam Hambali (Hambali).
Imam Abu Hanifah (HANAFI) 80-150 H
Imam Abu Hanifah adalah salah satu imam dari 4 imam madzhab yang pertama kali lahir. Imam Abu Hanifah memiliki nama lengkap Nu’man ibn al-Tsabit Zauthi. Beliau lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah di Baghdad.[10]
Dalam berijtihad Imam Abu Hanifah memprediksi masalah-masalah yagng mungkin terjadi kedepannya dan menentukan hukumnya berdasarkan pada Al-Qur’an, hadits, pendapat para sahabat yang terkuat, dan jika tidak ada pada ketiganya maka Beliau akan berijtihad. Metode yang digunakan Beliau dalam berijtihad mengacu pada Al-Qur’an, hadits, istihsan, ijma’, dan qiyas.[11]
Namun, dalam perkembanannya metode istihsan dari Imam Abu Hanifah ini menimbulkan perdebatan di kalagan para fuqaha, sehingga ada pihak yang menolak ijtihad beliau. Hal ini menyebabkan adanya kelompok dari para ulama yang mencari jalan tengah dari permasalahan ini, yaitu dengan menerima istihsan yang bersumber pada hukum islam dan meninggalkan istihsan yang tidak berdalil.[12]
Imam Malik (MALIKI) 93-179 H
Imam Malik adalah imam madzhab yang kedua dari 4 imam madzhab yang lahir kedua setelah imam Abu Hanifah. Beliau lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah dan wafat pada 179 Hijriyah.[13]
Dalam berijtihad Beliau menggunakan metode yang kurang lebih sama seperti Imam Abu Hanifah. Dalam ijtihadnya beliau merujuk pada Al-Qur’an, hadits, ijma’, qiyas, amal ahli madinah, istishab, qaul, shahabi, mursalah, mashalih, syaddudz dzari’ah, dan syar’u man qablana sebagai sumber fiqih Malik.[14]
Dalam menentukan suatu hukum Imam Malik selalu mendahulukan Al-Qur’an kemudian hadits, karena hadits adalah penafsiran atau penjelasan dari Al-Qur’an. Kemudian, Beliau menempatkan ijma’ dibawah Al-Qur’an dan hadits sebagai landasan beliau. Setelah itu Beliau menempatkan yang lainnya dibawah Ketiga sumber tersebut.[15]
Imam Syafi’i (SYAFI’I) 150-204 H
Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriyah di Gaza, Palestina. Beliau memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i. Di usianya yang ke-20 tahun beliau pergi ke madinah dan belajar langsung kepada Imam Malik. Setelah itu, pada usianya yang ke-45 Imam Syafi’I pergi ke Baghdad untuk belajar pada salah satu murid Imam Abu Hanifah. Oleh karena itu, dalam diri beliau terhimpun pengetahuan fiqih dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.[16]
Dalam berijtihad Imam Syafi’i menerapkan metode istidlal. Beliau menjadikan Al-Qur’an, sunnah, qiyas, ijma’, dan istihsab sebagai landasan dalam berijtihad. Sama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i mendahulukan Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama dan ijma’, qiyas, dan istihsab dibawahnya. Melihat urutan sumber hukumnya beliau menjelaskan bahwa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas atau tafsiran dari ayat ayat Al-Qur’an .[17]
Khususnya dalam bidang hadits, Imam Syafi’i menyatakan bahwa syarat hadits harus sahih sanadnya bersambung langsung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut Beliau, hadits yang diterima sebagai hukum adalah perawi hadits yang adil, hadits itu diriwayatkan beserta maknanya atau penjelasannya, dan perawi harus paham dengan maksud haditsnya.[18]
Kemudian ada Ijma’ para ulama’ pada suatu masa secara universal sebagai landasan fiqh. Dalam hal ini Imam Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ para sahabat merupakan ijma’ yang terkuat. Namun, jika suatu masalah tidak ditemukan solusinya dari sumber sumber diatas maka Beliau akan berijtihad dengan metode qiyas. Dalam penggunaannya, qiyas hanya digunakan pada keadaan yang kritis/terpaksa. Contohnya seperti ketika, berhubungan dengan mu’amalat, jika hukumnya belum jelas dari nash, dan mengqiyaskan yang sesuai dengan nash.[19]
Landasan fiqh yang terakhir dari Imam Syafi’i yaitu istidlal yang artinya adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Suatu ciri khas dari Imam Syafi’i dalam berijtihad adalah kehati-hatiannya dalam berijtihad. Apabila ada 2 dalil yang sama kuat, maka beliau akan merombak dan merevisi pemikirannya di masa lalu (qaul qadim) dan mengemukakan hal yang baru (qaul jaded).[20]
Imam Hambali (HAMBALI) 164-241 H
Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hambal bin Bilal Addahili As-Sayibani Al-Maruzzi atau yang lebih dikenal dengan Imam Hambali, lahir di Baghdad pada tahun 164 Hijriyah dan wafat pada tahun 241 Hijriyah di Baghdad. Pernasaban beliau sendiri dengan mengambil nama dari kakeknya.[21]
Dalam bidang fiqh, beliau mengemukakan hujjah menolak pendapat yang tidak sesuai dengan nash. Pandangan beliau sama dengan gurunya imam Syafi’i, yang mana Imam Hambali memandang bahwa Al-Qur’an dan sunnah memiliki kedudukan yang sejajar dan saling berhubungan.
Metode yang beliau gunakan dalam penafsiran Al-Qur’an adalah dengan menggunakan sunnah, karena menurut beliau tidak ada yang pantas menafsirkan Al-Qur’an kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Selain itu, jika beliau tidak menemukannya dalam sunnah, maka beliau akan memakai penafsiran dari para sahabat.[22]
Ushul Fiqih Pada Periode Muta’akhirin
Periode ini adalah periode dari generasi setiap murid dari 4 imam madzhab. Masing-masing imam madzhab memiliki kaidahnya sendiri dalam mengistinbathkan hukum. Mulai dari Imam Abu Hanifah hingga Imam Hambali. Kaidah inilah yang kemudian ditulis dan dibukukan oleh para murid-murid mereka melalui proses diskusi. Orang yang pertama kali membukukan kaidah istinbath hukum ini adalah Imam Abu Yusuf (murid dari Imam Abu Hanifah). Namun tulisan beliau tidak sampai kepada kita saat ini.
Awal mula perkembangan ini dimulai oleh Imam Syafi’i yang merumuskan kitab ar-risalah. Hal ini menjadi stimulus bagi para mujtahid lain dari masing-masing.madzhab untuk membukukan metode ushul fiqihnya sendiri. Perkembangan ini terus berlanjut hingga periode muta’akhirin.
Contoh dari karya yang lahir saat itu mulai dari Kitab al-Mu’tamad, Kitab al-Burhan, Kitab al-Mustashfa . Kitab al-Luma’ karya al-Syirazi, Kitab al-Waraqat, Kitab al-Mahsul, Kitab al-Burhan dan,al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, dan Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul.
Karya-karya tersebut menjadi dasar perkembangan ushul fiqih yang terjadi pada zaman kontemporer seperti saat ini. Metode ijtihad yang ada di masa saat ini pun juga terus berkembang mengikuti konteks atau permasalahan yang ada. Hal ini dilakukan dengan cara menggunakan hukum yang sudah ada untuk kemudian direvisi dan dibentuk suatu hukum yang baru, namun tetap tidak menyalahi nash. Hal ini sangat diperlukan karena, perkembangan yang ada sangat pesat sehingga hal ini perlu diimbangi dengan mengembangkan hukum islam atau ushul fiqih.
PENUTUP
Ushul fiqh adalah pengetahuan yang mengandung pondasi atau dasar tentang hukum-hukum, yang berasal dari prinsip dan analisis untuk menghasilkan kesimpulan tentang suatu permsalahan. Ushul fiqh pertama kali muncul pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam perkembangannya ushul fiqh terbagi menjadi beberapa periode yaitu periode Rasulullah, periode sahabat, periode tabi’in, periode 4 imam madzhab, dan periode muta’akhirin yang masih terus berkembang hingga saat ini.
Metode-metode ijtihad ataupun istinbath yang ada juga ikut berkembang dari masa Rasulullah hingga saat ini. Bermula dari penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, seiring berjalannya waktu dan munculnya berbagai permasalahan baru, Metode yang digunakan dalam menetapkan suatu hukum juga ikut berkembang mengikuti konteks atau permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim. “Pola Pemikiran Imam Syafi’I Dalam Menetapkan Hukum Islam.” Jurnal Adabiyah, 13, no.2, 2013: 187-194
Abdul Muthalib. “Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh Pasca Imam Madzhab Hingga Abad Modern (Kajian Terhadap Metode Ijtihad dan Penerapannya).” Jurnal Hikmah, 16, no.2 (2019): 1-13
Adiah, Halimatus, and Muhammad Sibawaih. “Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.” Jurnal Cerdas Hukum 1, no.1 (2022): 89-99.
Afifianto, Irkham. “Sejarah Perkembangan Pemikiran Ushulfiqh (Analisis Legislasi Hukum Islam Dalam Lintas Sejarah).” At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam dan Muamalah, 1, No.2 (2013): 220-241.
Atmaja Fatkan Karim. “Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa.” Mizan: Journal of Islamic Law, 5, no.1 (2018): 23-38 https://doi.org/10.32507/mizan.v5i1.192
Ayudiya, M. Ihya, and Nabil Mahasin. “PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FIQIH IMAM AHMAD BIN HANBAL: KONSTRUKSI METODE IJTIHAD.” Islamic Education. 1, no.2 (2023): 57-72.
Kurniawati I, Putri G. T. W, Syafi’i F. N, Daniati L, Astuti R. W, Rufaidah. A, & Amin M. N, PENGANTAR USHUL FIQH, Sukoharjo: Penerbit Tahta Media, 2023.
Nawawi, Nawawi Ushul Fiqh: Sejarah Teori Lughawy dan Teori Maqashidy, Malang: Literasi Nusantara, 2021.
[1]Kurniawati I, Putri G. T. W, Syafi’i F. N, Daniati L, Astuti R. W, Rufaidah. A, & Amin M. N, PENGANTAR USHUL FIQH, Sukoharjo: Penerbit Tahta Media, 2023. hlm.4.
[2]Afifianto, Irkham. “Sejarah Perkembangan Pemikiran Ushulfiqh (Analisis Legislasi Hukum Islam Dalam Lintas Sejarah).” At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam dan Muamalah, 1, no.2 (2013): 220-241. hlm. 223.
[3]Atmaja, Fatkan Karim. “Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa.” Mizan: Journal of Islamic Law, 5, no.1. (2018): 23-38. hlm. 24
4Zulhamdi, Zulhamdi. “Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh.” At-Tafkir 11.2 (2018): 62-77. https://doi.org/10.32505/at.v11i2.735 . hlm. 67
5Nawawi, Nawawi Ushul Fiqh: Sejarah Teori Lughawy dan Teori Maqashidy, Malang: Literasi Nusantara, 2021. hlm. 11-12
[6]Afifianto, Irkham,. Op. Cit, hlm. 234
[7]Atmaja, Fatkan Karim, Op. Cit, hlm. 29
[10]Afifianto, Irkham, Loc. Cit. hlm. 234
[11]Adiah, Halimatus, and Muhammad Sibawaih. “Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.” Jurnal Cerdas Hukum, 1, no.1 (2022): 89-99. hlm. 94
17Abdul Karim. “Pola Pemikiran Imam Syafi’I Dalam Menetapkan Hukum Islam.” Jurnal Adabiyah, 13, no.2, 2013: 187-194. hlm. 188-189
[21]Ayudiya, M. Ihya, and Nabil Mahasin. “PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FIQIH IMAM AHMAD BIN HANBAL: KONSTRUKSI METODE IJTIHAD.” Islamic Education. 1, no.2 (2023): 57-72. hlm. 59-60
0 Comments