PERAN SANTRI DALAM MENGHADAPI RADIKALISME DI MASYARAKAT MODERN

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Nur Khalim

“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia” itulah sebuah kalimat legendaris yang pernah diucapkan oleh tokoh bangsa kita yakni Presiden Soekarno saat menyampaikan pidatonya dahulu. Dalam kalimat tersebut mengistilahkan bahwa pemuda merupakan suatu tokoh yang memiliki peran sangat penting terutama kepada kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah. Dikutip dari kemenkumham.go.id, Budi Sulaksana, saat membacakan sambutan tertulis Menteri Pemuda dan Olahraga dalam peringatan hari sumpah pemuda yang jatuh pada Jumat (28/10/). Di mana dalam datanya ia menyatakan dalam waktu dekat ini, mulai Tahun 2020 sampai 2035, Indonesia akan menikmati suatu era yang langka yang disebut dengan Bonus Demografi. Di mana jumlah usia produktif Indonesia diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu mencapai 64% pada pemudanya. 

Jika kita mengaitkan kembali pidato Bung Karno dengan data tersebut, maka sejatinya jumlah besar merupakan bagian penting untuk kemajuan, akan tetapi itu tidaklah cukup untuk bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan di kancah dunia, Kecuali mereka adalah pemuda-pemudi unggul yang memiliki kualitas dan visi yang besar dalam menatap dunia yang akan menjadi tonggak kedepannya. Sebab, baik-buruknya sebuah bangsa dilihat bagaimana para pemudanya menjalankan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.  Akan tetapi, tantangan yang dihadapi saat ini sangat lah besar. Karena pemuda saat ini masih dihadapkan dengan era teknologi yang berkembang pesat. Di mana dalam hal teknologi banyak hal mudah diakses, baik itu hal baik ataupun buruknya. Bahkan dengan mudahnya diakses tersebut, di masyarakat berbagai permasalahan turut terjadi hingga menyebabkan kehancuran dimana-mana. Salah satunya tentang radikalisme yang semakin merajalela dan mulai masuk secara perlahan.

Merujuk pada Cambridge Advanced Learners Dictionary, Radikalisme memiliki arti berpikir secara mendalam sampai pada akar-akarnya (Cambridge University, 2008:1170). Sedangkan secara umum radikalisme berasal dari makna radikal. Di mana radikal sendiri, merupakan pemahaman keras yang bertentangan dengan Islam dan NKRI sendiri. Dalam radikalisme pemahaman yang dianut berbeda dari umumnya, dan cenderung tidak menyukai orang yang berbeda dengannya. Faktor yang paling banyak di saat ini adalah adanya teknologi dan seorang tokoh yang memelopori atau membimbingnya (Handi Irawan, 2018:87). Di mana melalui teknologi, konten-konten mudah diakses, hingga banyak dari masyarakat tidak mengetahui siapa pembuatnya, sehingga dengan belajar melalui konten tersebutlah menyebabkan ia mudah terhasut dan terikut di dalamnya termasuk mengikuti pemahaman radikalisme. Dan hal ini akan semakin parah, jika di daerahnya ada seorang tokoh yang mendukungnya atau memiliki pemahaman yang sama, sehingga akan terus melebar luaskan pemahaman tersebut kepada masyarakat lainnya. Contoh hal ini dapat kita lihat dari beberapa kejadian terakhir kemarin yakni BOM di Gereja Surabaya, Bom Sarinah 2016 Silam, Bom Solo 2011 dan 2012, Bom bunuh diri di Kantor Polri dll. Di mana semua contoh tersebut mengarah kepada pemahaman radikalisme yang mana mereka memahami secara benar tetapi kenyataan salah. 

Menurut berita yang ada, mereka yang melakukan BOM bunuh diri dll kebanyakan semata-mata berasal dari pemahaman yang diajari orang lain. Sekalipun memang ada beberapa pula yang diiming-imingi uang dan mendapat pahala karena salah memilih guru, termasuk mengenalnya dari konten-konten teknologi yang berbasis video atau grup. Hal ini jika terus menerus terjadi maka bisa jadi ancaman yang sangat berbahaya bagi kemajuan Negara Indonesia termasuk persatuan di dalamnya. Survei LIPI Tahun 2016, juga mendukung adanya pemahaman radikalisme ini. Di mana dalam surveinya terhadap pemuda  pemuda yang berkuliah di kampus umum menemukan bahwa 25% siswa dan 21% guru mengatakan Pancasila tidak relevan. 84,8% siswa dan 76,2% guru menyatakan setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Sehingga dengan adanya survei inilah maka tidak mengherankan bahwa radikalisme bisa mudah masuk di Indonesia dan mengancam persatuan sebagaimana yang telah di bentuk oleh pendahulu. 

Salah satu pemuda yang berperan penting sebagaimana dikutip dari perkataan bung Karno yang dapat mengubah dan mengatasi permasalahan tersebut adalah santri. Di mana santri yang sudah belajar di pondok selama bertahun-tahun dengan gurunya, yang disertai kitab-kitab berisi segala permasalahan dunia, dan akhirat tentu sudah banyak ilmu yang didapatkan. Mengingat seorang santri di pesantren juga diwajibkan bermukim. Hal inilah yang menjadi semakin unik, dikarenakan saat bermukim seorang santri dapat langsung praktik tentang apa yang di dapatinya saat belajar. Misalnya, berpuasa sunah, salat jamaah, berhubungan sosial dengan orang yang baru dikenal, cara bersikap dan bertingkah laku dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dengan adanya pembiasaan tersebut, sudah sewajarnya santri wajib mendukung dan berupaya mengatasi radikalisme yang mudah menyebar. 

Bukan hanya itu, santri di zaman ini juga kuliah di kampus. Di mana dengan adanya kuliah tersebut, tentu pemahaman IPTEK dan lainnya sudah seharusnya dipahami dengan baik, termasuk berita mengenai terorisme yang meraja rela. Dengan pengetahuan IPTEK nya yang tinggi tersebut, juga diharapkan santri memiliki peran mengatasi melalui cara-cara yang bisa menggunakan IPTEK sebagai media mencegah radikalisme. Misalnya menggunakan video rekaman yang nantinya dapat di upload di berbagai media baik di youtube, vidcam, tiktok dan lainnya.

Dengan adanya santri yang belajar di pesantren dan kampus dapat menunjang pemahaman, bahwa santri itu cerdas karena bukan hanya agama yang dipelajari, tetapi ilmu keduniaan juga mampu dipelajari dengan baik. Hal ini pun juga senada dengan hadis yang diriwayatkan Turmudzi yang berbunyi “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu” (HR Turmudzi). 

Menurut KH. Sahal Mahfudz santri di pesantren mempunyai jiwa dan watak yang jarang ditemui pada lembaga pendidikan lain, yakni watak islami yang kuat, watak sosial kemasyarakatan, watak kemandirian, jiwa perjuangan, bermusyawarah, dan lebih dari itu adalah watak ikhlas (Sahal Mahfudz. 2004: 329). Di mana dengan adanya watak tersebut, santri tidak perlu diragukan dalam mengabdi terhadap bangsa dan Negara, termasuk mengatasi radikalisme yang secara jelas selain merusak kenegaraan juga merusak agama sendiri. Sebab apa yang dipahami dan diajarkan, jauh dari pemahaman Islam yang dikenal indah dengan toleransi dan sesuai dengan zaman.

Tak hanya itu, K.H. Imam Zarkasyi (salah satu Trimurti (pendiri) Pondok Modern Gontor) juga mengatakan yang hampir sama. Beliau pernah mengatakan kepada para santri-santrinya, kesuksesan para santri adalah ketika ia mampu membangun kampungnya (menjadi Kiai kampung). Penulis kira inilah bentuk nasionalisme kaum santri yang sebenarnya ketika ia kembali ke kampung halamannya dan membangun kampungnya. Di mana ia berada ia bisa bermanfaat bagi keluarga, masyarakat nusa bangsa dan agama. Maka dari itu, tak heran jika kontribusi santri dari dahulu hingga sekarang memiliki peran yang penting. Di mana jika dahulu santri melalui Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah bentuk keterlibatan nyata para santri dalam menjaga dan mempertahankan tanah airnya dari penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dengan jargonnya “hubbul wathoni minal iman”. Maka seharusnya di era modern, santri juga harus mampu berkontribusi dengan mencegah dan memberantas radikalisme hingga ke akarnya melalui semua program dan kegiatan yang dapat dilakukan santri. Sehingga dengan radikalisme tidak menjalar, maka hal-hal kegiatan di masyarakat lainnya akan juga mudah dilakukan, termasuk membawa Negara dan agama ke jalan yang sesuai dengan jalannya.

Wakil Umum PBNU, As’ad Said Ali juga pernah berkata dalam tulisan opininya. Di mana Ia menegaskan bahwa menangani terorisme di Indonesia ini harus benar-benar dilakukan serius oleh pemerintah, termasuk organisasi keislaman yang dilakukan para pemuda baik NU dan Muhammadiyah termasuk santri. Di mana menurutnya hal ini wajib dilakukan agar Islam yang ada di Indonesia tidak goyah dan tidak runtuh. Bahkan diupayakan pemuda Islam termasuk santri harus juga berani diskusi-diskusi terbuka dengan masyarakat umum dengan harapan dapat membentengi mereka dari radikalisme.  Sebagai contoh, beliau berkata bahwa, NU pernah menyelenggarakan dialog internasional melalui pengiriman delegasi ke Afghanistan dan juga mengundang ulama Afghanistan berkunjung ke Indonesia. Tujuan utamanya adalah memperkenalkan nilai-nilai Tasamuh (toleransi), Tawasuth (moderat), Tawazun (berimbang), ‘Adalah (keadilan), dan Ukhuwah (persaudaraan) yang meliputi ukhuwah Islamiyah (sesama Islam), ukhuwah wathoniyah (sesama warga negara), ukhuwah basyariah (sesama umat manusia). Dengan adanya dialog dan saling kunjung itu membuahkan hasil dengan dibentuknya Nahdlatul Ulama Afghanistan pada sekitar Agustus 2014 di Kabul yang juga memprioritaskan pencegahan radikalisme dan menjadikan muslim lebih mengenal Islam dengan benar.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peran santri di era modern terhadap radikalisme sangat penting. Di mana hal ini sudah dibuktikan dari dahulu terutama ketika adanya revolusi jihad di mana santri benar-benar menjadi tokoh yang berperan aktif dalam mengusir penjajah. Maka di zaman ini pun juga demikian, santri wajib melakukan kegiatan-kegiatan bahkan harus berani berkomunikasi dan berdialog secara langsung dengan masyarakat demi membuat pemahaman masyarakat jauh dari radikalisme. Karena jika radikalisme dibiarkan, bukan hanya agama yang menjadi bahaya, negara pun akan bahaya karena pemahamannya berbeda dan bertentangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, As’ad Said Ali. Peran NU dalam Menangkal Radikalisme, dikutip dari  https://nu.or.id/opini/peran-nu-dalam-menangkal-radikalisme-51drR pada Minggu, 1 Maret 2022.

Cambridge University. 2008. Cambridge Advanced Learners Dictionary. Singapore: Cambridge University Press.

Gufron, Iffan Ahmad. 2019. Santri dan Nasionalisme. Islamic Insights Journal. 2019: Vol. 1(1)

Kemenkumham. Artikel: Pemuda Menguncang Dunia itu Fakta, dikutip dari https://jatim.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/artikel/2229-10-pemuda-mengguncangkan-dunia-itu-fakta pada Minggu, 1 Maret 2022.

Mahfudz, Sahal. 2004. Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKIS.

Sahlan, Moh. Radikalisme Agama di Indonesia, dikutip dari https://nu.or.id/opini/radikalisme-agama-di-indonesia-leg46 pada Minggu, 1 Maret 2022

Wiryosukarto, Amir Hamzah dkk.. 1996. Biografi K.H. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pondok Modern. Ponorogo: Gontor Press.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *