Pentingnya Keseimbangan Spiritual dan Intelektual

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Moh. Fajrul Falah

Dunia mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dari segi teknologi, budaya, hingga perilaku manusia. Kemajuan informasi juga membuat komunikasi antar individu menjadi semakin mudah dilakukan kapan pun dan di mana pun kita berada. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak yang signifikan terhadap penyelesaian masalah dalam kehidupan manusia. Tidak hanya memberikan dampak positif, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menyisakan dampak negatif yang menjadi masalah di tengah masyarakat karena belum mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia. Di antara akibat negatif itu, ialah kemerosotan moral anak bangsa yang terasa hampir di setiap strata kehidupan termasuk mahasiswa. Pendidikan pada hakikatnya merupakan media untuk mentransfer pengetahuan dan perilaku pada realitas yang sesuai nilai-nilai sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Perguruan tinggi yang menyelenggarakan program akuntansi saat ini dituntut tidak hanya menghasilkan lulusan yang menguasai kemampuan di bidang akademik tetapi juga mempunyai kemampuan yang bersifat teknis analisis dalam bidang humanistic skill.

Kecerdasan intelektual (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan, dan mengolah informasi menjadi fakta. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti & menerima makna pada apa yang dihadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat. Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, serta kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri & orang lain.

Islam mengajarkan tiga aspek pada diri manusia, yaitu spiritual, intelektual, dan profesional, supaya dikembangkan secara seimbang. Kegiatan spiritual supaya dilakukan pada sepanjang waktu, melalui berzikir atau mengingat Allah. Disebutkan di dalam Al-Quran pada surat Ali Imran ayat 190, bahwa ingat Allah hendaknya dilakukan ketika sedang berdiri, duduk, dan berbaring. Masih merupakan kegiatan spiritual lainnya adalah salat, setidaknya dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam.

Islam juga mengajarkan agar manusia mengembangkan intelektual seluas-luasnya. Akal sedemikian penting dalam berbagai aktivitas. Banyak sekali ayat Al-Quran menyebut tentang betapa pentingnya seseorang menggunakan akalnya. Orang yang tidak menggunakan akalnya disebut bodoh. Islam mengajarkan agar kebodohan disingkirkan sejauh-jauhnya. Itulah sebabnya, Islam mendorong umat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan secara tidak terbatas, atau seluas-luasnya, dan hendaknya dilakukan sejak dari ayunan hingga masuk ke liang lahat. Dengan demikian, Islam memandang betapa pentingnya ilmu pengetahuan seharusnya dimiliki dan dikembangkan oleh siapa pun. Islam melalui Al Qur’an menganjurkan agar manusia memikirkan penciptaan langit maupun bumi.

Penelitian yang dilakukan Neuropsikolog Michael Pessinger di awal tahun 1990-an, dan Neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas California, telah menemukan keberadaan “titik Tuhan” (God spot) dalam lokus temporal pada otak manusia.  Titik Tuhan itu merupakan pusat spiritual setiap insan. Keberadaan “Titik Tuhan” menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan “pertanyaan-pertanyaan pokok”, untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas.

“Kehadiran” Tuhan di otak  merupakan suatu hal yang sangat menarik. Bukan saja  karena otak adalah CPU (Central Processing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi dan fungsi otak merupakan  pembentuk sejarah hidup pemiliknya maupun sejarah kehidupan itu sendiri. Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain: (1) fungsi emosi, (2) fungsi rasional, dan (3) fungsi spiritual.

Terkait dengan fungsi yang ketiga, yaitu mencakup hal-hal yang bersifat supernatural dan religius. Fungsi ini hendak menegaskan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan.  Keberadaan Tuhan ditampakkan dalam  kesempurnaan jalinan dan jaringan syaraf  manusia.

Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ), yang secara biologis dibuktikan dengan keberadaan “titik Tuhan”  dalam struktur otak manusia, adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal transenden, hal-hal yang mengatasi waktu dan ruang. Ia melampaui kekinian dan pengalaman manusia. Ia adalah bagian terdalam dan terpenting dari manusia. Ia menjadikan manusia cerdas  secara  spiritual dalam beragama. Ia juga membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dalam agama. Seseorang yang memiliki SQ yang tinggi mampu menjalankan  ajaran agamanya secara optimal dan maksimal, namun tidak secara picik, eksklusif, fanatik, atau prasangka.

Optimalisasi otak spiritual juga dapat membuat seseorang cerdas secara utuh. Paling tidak, terdapat tiga komponen hidup yang lahir dari optimalisasi itu: (1) kejernihan berpikir secara rasional, (2) kecakapan emosi, dan (3) ketenangan hidup. Ketenangan hidup merupakan hasil akhir yang paling tinggi nilainya dari otak spiritual. Sebab kecerdasan rasional dan kecakapan emosi tidak akan berarti apa-apa bila seseorang tidak memiliki ketenangan hidup. Melatih otak terus menerus dan membiasakannya untuk merenung akan membuat hati tenang dan bercahaya.  Kecemasan dan ketegangan dapat dihilangkan dengan membiarkan otak menemukan dimensi spiritual yang dimilikinya.

Kegiatan berikut dapat mengoptimalkan otak spiritual: Pertama, melihat secara utuh. Mana yang disebut mata batin? Jika mata lahir memiliki jalur syaraf dan pusat penglihatan di otak, apakah demikian juga mata batin? Jawabannya, ya. Mata batin memiliki pusat di otak spiritual. Otak spiritual memadukan semua informasi yang diserap. Jika pohon yang dilihat, yang tampak adalah kepaduan dan kesatuan seluruh bagiannya.  Melihat dengan mata batin berarti melihat  secara utuh. Pengaktifan mata batin dan otak spiritual akan menghilangkan pikiran-pikiran fragmentaris. Lagi pula, banyak  aspek yang dapat ditangkap dengan mata batin.

Kedua, Melihat di balik penampilan objektif.  Melihat dengan mata batin juga berarti melihat sesuatu di balik penampakan fisik objektif merupakan fakta yang tak ditolak oleh mata batin. Jika seseorang melihat pohon, yang tampak adalah pohon dan segala kehidupan yang ada “di balik” pohon tersebut.

Ketiga, luangkan waktu jeda 10 menit setiap hari.  Tubuh fisik manusia sebenarnya tidak pernak beristirahat. Tidur tidak berarti organ tubuh maupun sel-sel tubuh beristirahat. Otak bahkan bekerja lebih aktif dalam mengonsolidasikan informasi justru ketika pemiliknya tidur. Sediakan waktu jeda dari kepenatan pekerjaan sehari-hari untuk mengisi otak spiritual. Berdiam diri di dalam kamar, berzikir, dan bertafakur secara mendalam akan memperkuat otak spiritual.

Dalam bukunya SQ, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence, Zohar mengungkapkan cara lain untuk meningkatkan SQ agar meraih inner peace tersebut. Ada tujuh cara yang diajukannya, yaitu : 1) menyadari (aware) di mana posisi saya berada saat ini. 2) Memiliki perasaan kuat bahwa saya ingin berubah. 3) Merefleksikan apa yang menjadi tujuan dan motif-motif tersembunyi saya. 4) Temukan dan atasi rintangan yang menghadang. 5) Cari dan kenali kemungkinan-kemungkinan lain untuk bisa maju. 6) Meningkatkan diri pada tujuan yang telah ditetapkan. Dan 7) Tetaplah terbuka pada tujuan-tujuan lain yang mungkin ada.

Baca Juga: Pendidikan Dalam Kandungan: Tata Cara Orang Tua Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan

Menurut (Zohar and Marshall 2004), kecerdasan intelektual diukur menggunakan skor dari suatu tes kecerdasan intelektual (intelligence quotient atau IQ). Indikator yang dipakai untuk mengukur kemampuan intelektual terdiri dari tiga domain kognitif yaitu (1) kemampuan spasial, merupakan kemampuan penalaran dan pemahaman terhadap bentuk, (2) kemampuan verbal, merupakan kemampuan penalaran dan pemahaman terhadap bahasa, dan (3) kemampuan numerik, kemampuan penalaran dan pemahaman terhadap angka (Trihandini 2005, Zohar and Marshall 2004). Menurut (Sternberg 2005) kecerdasan intelektual dapat diukur dengan kemampuan menganalisis, kemampuan berkreasi, dan kemampuan praktis.

Menurut (Emmons 2000), terdapat lima kemampuan inti yang dapat digunakan untuk mendefinisikan kecerdasan spiritual, yaitu (a) kapasitas transenden, (b) kemampuan untuk memasuki kondisi kesadaran spiritual yang tinggi, (c) kemampuan untuk menginvestasikan aktivitas keseharian, peristiwa, dan hubungan dengan rasa sakral, (d) kemampuan memanfaatkan sumber daya spiritual untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan, (e) kapasitas untuk berperilaku atau berbudi luhur (untuk menunjukkan permintaan maaf, mengucapkan terima kasih, menjadi rendah hati, dan menunjukkan kasih sayang). Menurut (Zohar and Marshall 2004:79-80), terdapat dua belas kriteria untuk seseorang dapat dikatakan berada pada kondisi kecerdasan spiritual yang tinggi, yaitu: 1. Kesadaran diri. Kesadaran akan tujuan hidup; 2. Spontanitas, bersifat responsif terhadap kehidupan dan semua yang ada di dalamnya; 3. Memiliki visi dan nilai hidup. Bertindak sesuai prinsip dan keyakinan yang mendalam, dan menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip dan keyakinan tersebut; 4. Holisme. Kemampuan untuk melihat pola, hubungan, koneksi yang lebih besar. Rasa memiliki yang kuat; 5. Kasih sayang. Kualitas perasaan dan empati yang mendalam; 6. Menghargai perbedaan. Menghargai orang lain dan kondisi di mana perbedaan bukanlah hal yang umum bagi mereka; 7. Independen. Dapat mempertahankan apa yang diyakini; 8. Kecenderungan untuk bertanya persoalan yang fundamental; 9. Kemampuan untuk membingkai ulang. Mundur dari masalah atau situasi dan mencari gambaran yang lebih besar; 10. Pemanfaatan kesulitan secara positif. Kemampuan untuk belajar dari kesalahan, untuk melihat masalah sebagai peluang; 11. Kerendahan hati. Dasar kritik diri dan penilaian kritis; dan 12. Perasaan terpanggil untuk bekerja. Terpanggil untuk melayani sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Berterima kasih kepada mereka yang telah membantu dan berkeinginan untuk memberikan sesuatu kembali. Dasar untuk pemimpin yang melayani.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas, bahwasanya manusia harus bisa mengimbangi antara Spiritual dan Intelektual yang dimiliki dengan segala ikhtiar yang ada. Agar nantinya, semua pengetahuan yang dimiliki bisa bermanfaat bagi seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini. Jika sudah dirasa mampu untuk menyeimbangkan antara Intelektual dan Spiritual, niscaya seseorang tersebut bisa menjadi manusia yang sempurna dalam segi bersyukur atas semua yang telah Allah SWT berikan.


0 Comments

Leave a Reply