Syekh Abdur Rauf Singkel
Syekh Abdurrauf as-Singkel memiliki nama lengkap yakni Abdurrauf bin al-Jawiy al-Fansuri, kemudian beliau dikenal dengan sebutan Syeikh Abdurrauf As-Singkel.[1] Nama as-Singkel merupakan laqab yang dinisbahkan kepada tempat lahirnya, yakni Singkil, Aceh selatan.[2] Namun ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa beliau memiliki nama lengkap Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri. Beliau merupakan ulama besar dari Kerajaan Aceh Darusalam dan memiliki pengaruh yang sangat besar di seluruh nusantara sehingga banyak pula yang memanggilnya Teungku Syiah Kuala yang dalam bahasa Aceh berarti Syeikh Ulama di Kuala.[3] Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Syiah Kuala merupakan sebuah nisbah dari tempat wafatnya yang terletak di Desa Deyah Raya, Kecamatan Kuala, Krueng Aceh.[4] Disebutkan dalam riwayat bahwa keluarga beliau berasal dari Persia atau Arabia yang bermigrasi ke daerah Singkil, Aceh Darusalam pada abad ke-13 M.[5] Ayah beliau juga merupakan orang Arab bernama Syeikh Ali.[6]
Beliau lahir pada tahun di Singkil, Aceh pada tahun 1024 H/ 1615 M. Pada masa mudanya, beliau menimba ilmu dari ayahandanya sendiri yang juga terkenal alim. Setelah itu beliau berguru kepada ulama-ulama di sekitar Banda Aceh dan Fansur. Kemudian pada saat beliau berumur 27 tahun beliau berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji serta menuntut ilmu di Timur Tengah. Diperkirakan beliau menuntut ilmu di sana selama 19 tahun dan pulang ke Nusantara saat beliau berumur 46 tahun atau sekitar tahun 1083 H/ 1662 M.[7] Dalam catatannya disalah satu kitabnya yakni ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin dikatakan bahwa beliau memiliki 46 guru dan menimba ilmu dari guru tersebut di sepanjang rute perjalanan haji, yakni dari Doha, Yaman, Jeddah, hingga akhirnya menuju Mekkah dan Madinah. Selain itu dikatakan bahwa beliau mendapatkan ilmu tasawuf dari dua Syeikh yang sangat masyhur di kota Madinah, yakni Syeikh Shafiuddin al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-Kurani. Setelah pulang dari Timur Tengah beliau kembali ke Nusantara (Aceh) dengan mengajarkan dan mengembangkan tarekat Syatariyyah yang diperoleh dari dua gurunya tersebut.[8]
Selain mempelajari tentang ilmu tasawuf, beliau juga mendalami beberapa ilmu lainnya seperti ilmu Fiqih, ilmu Tafsir, sastra Arab, ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadits, ilmu Tauhid, ilmu Falak, ilmu Mantiq, ilmu Geografi, ilmu Falsafah, ilmu Tabib, ilmu Sejarah, dan lain-lain. Adapun beberapa gurunya di Timur tengah ialah seperti Syeikh Umar Fursan (Mufti Negeri Mukha, Yaman), Faqih Tayyib Ja’man (Mufti Bait al-Faqih), Syeikh Abdul Fattah al-Khas (Mufti Zabid), Abdul Rahman al-Hijazi, Qadhi Tajuddin, Isa al-Maghribi, Ibnu Abd ar-Rasuli al-Barzanji, Abdurrahim bin Shiddiq al-Khas (Mufti Zabid), Muhammad Abdul al-Baqi’, Syeikh Thahir bin Husain, Abdullah bin Muhammad al-Adnani, Badruddin al-Lahuri, Abdullah Lahuri, Ali bin Abdul Qadir al-Thabari, Ali Muhammad al-Dayba, Zainuddin al-Thabari, Ali Jamal al-Makki, Abdullah bin Said bin Qasyir al-Makki, dan lain-lain.[9]
Pemikiran Syeikh Abdurrauf as-Singkel dalam bidang ilmu Tasawuf
Kesesatan Aliran Tasawuf Wujudiyah
Sebelum Syeikh Abdurrauf as-singkel pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu, di Kerajaan Aceh Darusalam terdapat telah berkembang paham atau ajaran wujudiyah. Oleh Nurrudin ar-Raniri ajaran wujudiyah tersebut dianggap sesat bahkan penganutnya ia anggap telah murtad (keluar dari agama Islam) dan hal ini pun juga didukung oleh kebijakan politis dari kerajaan Aceh darusalam sehingga dilakukanlah hukuman bagi pengikut aliran ini. Syeikh Abdurrauf as-Singkel setelah pulang ke Aceh menanggapi bahwa apa yang dilakukan oleh Nurrudin ar-Raniri terhadap aliran tasawuf wujudiyah tersebut merupakan tindakan yang terlalau emosional. Dalam pandangan beliau bahwa konsep martabat tujuh itu letaknya yakni pada kedudukan Tuhan dan segala sesuatu yang Dia ciptakan. Beliau menekankan pada aspek Transendental Tuhan terhadap ciptaan-Nya ketimbang aspek imanensi yang dalam pandangannya merupakan paham aliran tasawuf wujudiyah. Pendapatnya tersebut ia sandarkan dari apa yang diungkapkan oleh Nur Muhammad bahwa pada dasarnya Tuhan itu menciptakan suatu ciptaan-Nya ialah sebagai sumber entitas lahir saja, yaitu ciptaan yang bentuknya konkret yang sangat berbeda dari wujud mutlak. Pemahamannya inilah yang dapat dikatakan bahwa beliau menolak paham aliran tasawuf wujudiyah yang berkembang di Kerajaan Aceh Darusalam.[10]
- Rekonsiliasi antara Syari’at dan Tasawuf
Syeikh Abdurrauf as-Singkel berusaha untuk merekonsiliasi antara syari’at dan tasawuf seperti halnya yang dilakukan oleh Syeikh Syamsuddin al-Sumanterani (murid Hamzah Fansuri) dan Syeikh Nurrudin ar-Raniri, yaitu dengan menganut paham wujud yang hakiki, yakni Allah SWT. Menurutnya bahwa segala ciptaan Allah bukanlah wujud yang hakiki, melainkan hanya bayang-bayang dari wujud yang hakiki sehingga dapat ditarik benang merah bahwa Allah sebagai Sang Khaliq berbeda dengan Ciptaan-Nya. Meskipun demikian antara yang memancarkan bayang-bayang (Allah SWT) dan bayang-bayang (ciptaan-Nya) memiliki persamaan atau keserupaan. Oleh karena itulah maka berbagai sifat pada manusia atau alam sekitar ini merupakan bayang-bayang dari Allah, seperti hidup, mendengar, melihat, dan lain sebagainya.[11]
- Zikir
Dalam pandangannya bahwa zikir adalah sarana untuk menghindarkan diri dari kelalaian dan mudah lupa. Melalui zikir maka manusia akan menjadi hamba yang ingat selalu kepada penciptanya (Allah SWT) dan mengantarkan manusia menuju fana’ atau hanya wujud Allah SWT. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud seorang yang berzikir akan menyatu dengan wujud-Nya.
- Martabat Wujud Tuhan
Menurut Syeikh Abdurrauf as-Singkel bahwa terdapat tiga martabat wujud Tuhan, yakni martabat ahadiyah, martabat wahdah, dan martabat martabat wahdiyah. Martabat ahadiyah yaitu bahwa alam semesta ketika belum diciptakan merupakan sesuatu yang ghaib yang masih dalam genggaman tuhan. Martabat wahdah yaitu sudah terciptanya Muhammadiyah yang berpotensi terbentuknya alam semesta. Martabat wahdiyah yaitu bahwa di sinilah terbentuknya alam semesta. Menurut beliau bahwa lafadz “Kami Engkau, Aku Engkau, dan Engkau Dia” merupakan suatu lafaz yang berada pada tingkat martabat wahdah karena saat itu antara unsur Tuhan dan manusia masih belum bisa dibedakan. Tingkatan-tingkatan inilah yang dimaksudkan oleh Abdurrauf as-Singkel sebagaimana dalam syair-syair dari Ibnu al-Arabi. Namun setelah pada tingkatan martabat wahdiyah alam ciptaan-Nya telah mempunyai sifatnya tersendiri. Pada masa ini Tuhan merupakan cerminan dari ciptaan-Nya, tetapi Dia bukanlah sesuatu lainnya. Kemudian beliau menegaskan bahwa satu-satunya jalan mencapai tingkat kepercayaan tentang adanya wujud Tuhan yakni dengan berzikir la ilaha ilallah.[12]
Pemikiran Syeikh Abdurrauf as-Singkel dalam bidang Hukum Tata Negara
Syeikh Abdurrauf as-Singkel juga mempunyai peran dalam pengembangan Hukum tata Negara saat itu, beliau merupakan perumus pembagian kekuasaan di Kerajaan Aceh darusalam menjadi sagi yang populer dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe. Dalam konsepnya tersebut, beliau menjelaskan bahwa tiga pemimpin Sagoe bersama Mufti yang bergelar Qadhi Malikul Adil memiliki kewenangan untuk mengangkat dan menurunkan Sultan/Sultanah dari kursi atau jabatanya.[13]
Selain itu dalam konsepnya tersebut, beliau juga menjelaskan tentang otonomi kenegaraan bahwa Kerajaan Aceh Darusalam harus dibagi menjadi beberapa provinsi yang disetiap provinsinya tersebut dipimpin oleh seorang Gubernur yang tunduk kepada Sultan/Sultanah. Selain itu beliaulah yang memiliki konsep bahwa pemimpin negara itu bukanlah dari kalangan laki-laki saja, melainkan juga boleh dari kalangan perempuan. Hal ini karena ia berpegang kepada Firman Allah bahwa harkat, martabat, dan kedudukan laki-laki maupun perempuan ialah sama. Oleh sebab itulah maka masa beliau menjabat Mufti itulah maka terbuka kesempatan perempuan menjadi Sultanah.[14]
Berdasarkan catatan sejarah disebutkan bahwa Syeikh Abdurrauf as-szingkel merupakan ulama besar Nusantara yang produktif dengan 30 karya kitabnya yang sangat fundamental yang hingga saat ini banyak dipelajari di berbagai pesantren seluruh Indonesia maupun mancanegara. Kitab-kitabnya tersebut sangat terdiri dari berbagai macam keilmuan, seperti ilmu Tasawuf, ilmu Fikih, ilmu Tafsir, ilmu Mantiq, ilmu Falak, dan lain-lain. Berikut adalah kitab-kitabnya yang terkenal:
- ‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak al-Mufridin
Kitab ini berisikan tentang pegangan bagi seorang hamba yang ingin menjalani jalan dari orang yang mempergunakan dirinya sendiri. Selain itu dalam kitab ini juga diterangkan tentang tasawuf yang dikembangkan olehnya tersebut dan beberapa penjelasan terkait tujuh faedah yang kemudian sesudah faedah yang ketujuh tersebut ia beri khatimah yang berisikan berbagai silsilah. Silsilah-silsilah inilah yang memberi gambaran tentang cara yang dilakukan oleh para pengarang Melayu dan para ulama memperoleh ilmu pengetahuan.
- Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li’l-Malik al-Wahab
Pada hakikatnya kitab ini disusun oleh Syeikh Abdurrauf as-Singkael karena perintah dari Sultanah Tajul-Alam Safyaituddin Syah dari Kerajaan Aceh Darusalam. Kitab ini berisikan ilmu fikih bermazhab Syafi’i. Selain itu kitab ini juga sedikit membahas tentang ilmu fikih mu’amalah yang tidak terdapat dalam kitab Siratal Mustaqim karangan dari Syeikh Nurrudin ar-Raniri.
- Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin.
Sama seperti kitab di atas bahwa pada hakikatnya kitab ini disusun oleh Syeikh Abdurrauf as-Singkael karena perintah dari Sultanah Tajul-Alam Safyaituddin Syah dari Kerajaan Aceh Darusalam. Kitab ini berisikan ilmu tasawuf yang dikembangka olehnya.
- Mau’izat al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-Badi’ah.
Kitab ini terdiri atas 50 pelajaran yang ditulis dengan bersandarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, ucapan-ucapan sahabat-sahabat Nabi, dan ucapan-ucapan ulama-ulama masyhur.[15]
- Tarjuman Al-Mustafid
Kitab ini merupakan terjemahann dari tafsir al-Baidawi. Sistematika pada penyajian tafsir ini ialah penyajian yang mengacu kepada urutan mushaf Al-Qur’an. Kemudian metode penafsiran yang digunakan oleh Syeikh Abdurrauf as-Singkel dalam tafsir ini ialah metode interteks, dengan pendekatan yang digunakan olehnya yakni pendekatan secara tekstual. Selain itu dari pendekatan sosio historis dapat dikatakan bahwa ia merupakan ulama yang menggunakan tradisi kontekstual ketika berdakwah, contohnya yakni menafsirkan sesuai dengan perkembangan masanya atau sesuai zamannya dan beliau tidak cenderung ikut-ikutan atau bahkan fanatik terhadap mazhab tertentu.[16]
Daftar Pustaka
Abdullah, Rukiah, and Mahfudz Masduki. “KARAKTERISTIK TAFSIR NUSANTARA (Studi Metodologis Atas Kitab Turjumun Al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Al-Singkili).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 16, no. 2 (2017): 141. https://doi.org/10.14421/qh.2015.1602-01.
Amin, Syamsul Munir. Ilmu Tasawuf. 1st ed. Jakarta: Cv Amzah, 2012.
Apriyanto, Ahmad. Sejarah Peradapan Islam. Edited by Muhammad Fahmi. 5th ed. Yogyakarta: Genta Publishing, 2015.
Fauziah, Nawangsih. Sejarah Peradaban Islam. Edited by Jainuri Andi. 4th ed. Jakarta: Predana Media Group, 2013.
Kurdi, Muliadi. Abdurrauf As-Singkili. Edited by Habiburrahim Rulan, Safrul Muluk. 1st ed. Banda Aceh: Penerbit Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2017.
Rahman, Fathul. Sejarah Peradapan Islam. Edited by Noor Hasanah. 1st ed. Karanganyar: PT Pratama Mitra Aksara, 2013.
Rivauzi, Ahmad. “Landasan Filosofis Pemikiran Tasawuf Abdurrauf Singkel.” Theologia 28, no. 2 (2017): 299–328.
Sewang, Anwar. Sejarah Peradapan Islam. 1st ed. Malang: Wineka Media, 2015.
[1] Ahmad Rivauzi, “Landasan Filosofis Pemikiran Tasawuf Abdurrauf Singkel,” Theologia 28, no. 2 (2017): 299–328. Hlm. 301.
[2] Nawangsih Fauziah, Sejarah Peradaban Islam, ed. Jainuri Andi, 4th ed. (Jakarta: Predana Media Group, 2013). Hlm. 245.
[3] Fathul Rahman, Sejarah Peradapan Islam, ed. Noor Hasanah, 1st ed. (Karanganyar: PT Pratama Mitra Aksara, 2013). Hlm. 163.
[4] Muliadi Kurdi, Abdurrauf As-Singkili, ed. Habiburrahim Rulan, Safrul Muluk, 1st ed. (Banda Aceh: Penerbit Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2017). Hlm. 2.
[5] Fathul Rahman, Sejarah Peradapan Islam, hlm. 163.
[6] Ahmad Rivauzi, “Landasan Filosofis Pemikiran Tasawuf Abdurrauf Singkel, hlm. 301.
[7] Fathul Rahman, Sejarah Peradapan Islam, hlm. 164.
[8] Ahmad Rivauzi, “Landasan Filosofis Pemikiran Tasawuf Abdurrauf Singkel, hlm. 302.
[9] Muliadi Kurdi, Abdurrauf As-Singkili, hlm. 11-13.
[10] Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, 1st ed. (Jakarta: Cv Amzah, 2012). Hlm. 345.
[11] Syamsul Munir Amin, ibid, hlm. 346.
[12] Syamsul Munir Amin, ibid, hlm. 346-347.
[13] Muliadi Kurdi, Abdurrauf As-Singkili, hlm. 22-23.
[14] Muliadi Kurdi, ibid, hlm. 23-24.
[15] Anwar Sewang, Sejarah Peradapan Islam, 1st ed. (Malang: Wineka Media, 2015). Hlm. 326-327.
[16] Rukiah Abdullah and Mahfudz Masduki, “KARAKTERISTIK TAFSIR NUSANTARA (Studi Metodologis Atas Kitab Turjumun Al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Al-Singkili),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 16, no. 2 (2017): 141-159, https://doi.org/10.14421/qh.2015.1602-01. Hlm. 158.
0 Comments