BERSAHABAT DENGAN KEBAIKAN
Oleh: M. Bastomi*
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)
Persahabatan adalah salah satu wujud dari terciptanya ukhuwah. Jika diibaratkan seperti tasbih, butiran-butiran kayu adalah manusia yang bertemu dan saling mengenal, sedangkan tali yang mengikat butiran tadi adalah Islam. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan lainnya karena sudah pasti seorang manusia mempunyai kekurangan, yang mana manusia lain lah yang dapat menutup kekurangan tersebut. Tidak satupun manusia yang luput dari sifat lalai sehingga persahabatan akan mengantarkan orang lain untuk mengingatkan keluputan tersebut. Kecintaan yang tulus dan kasih sayang yang bersih diperlukan untuk menjadi dasar persahabatan yang mampu mengantar kecintaan manusia kepada kecintaan kepada Tuhannya. Dalam matan kitab Bidayatul Hidayah dijelaskan bahwa “Ketauhilah bahwa sahabatmu yang tak pernah berpisah denganmu entah dalam keadaan diam, bepergian, tidur, diam, bahkan dalam hidup dan matimu adalah Tuhan Penciptamu”.
Seorang teman memiliki pengaruh yang besar kepada temannya. Meskipun setiap manusia memiliki karakternya dan sifat masing-masing, tapi lambat laun karakter dan sifat akan berubah mengikuti lingkungan di mana seseorang berada. Berteman dengan orang yang banyak bicara, akan menjadikan kita sering bicara, sedangkan berteman dengan orang yang banyak bergurau, akan menjadikan kita senang bergurau. Sebuah kerugian besar apabila waktu kita habiskan untuk banyak bicara dan bergurau, tanpa ada manfaat atau ilmu yang bisa didapatkan. Persahabatan menjadi ubudiyah manusia dalam menggapai ridho Allah. Dalam matan kitab Bidayatul Hidayah dijelaskan bahwa manusia terbagi menjadi tiga jenis: “Ada yang seperti makanan di mana memang selalu dibutuhkan, ada yang seperti obat di mana hanya sewaktu-waktu saja diperlukan, dan ada pula yang seperti penyakit di mana keberadaannya sama sekali tidak diperlukan, akan tetapi seorang hamba kadangkala diuji dengannya”.
Siapakah sahabat yang layak dijadikan sahabat sejati? Apakah cukup dia yang selalu berada di sisi kita? Apakah dia yang selalu menolong kesusahan kita? Apakah cukup dia yang selalu memberikan senyuman kepada kita? Belum tentu. Semua itu akan hilang apabila mereka tidak menemukan sesuatu yang diinginkan dari kita. Pada kenyataan yang sering ditemui bahwa seorang teman hanya mengambil manfaat dari temannya, dan akan meninggalkannya apabila tidak ada suatu kemanfaatan yang dapat diambil lagi.
Sahabat sejati adalah dia yang mengetahui aib anda, namun tetap mau menerima kita sebagai sahabatnya. Sedangkan seseorang yang hanya mengetahui kebaikan kita, suatu saat akan meninggalkan kita apabila sebuah aib diketahuinya. Sudah sepatutnya kia menjadikan Allah sebagai sahabat sejati, Dia yang tidak pernah meninggalkan kita, meskipun kita lalai kepada-Nya. Kasih sayang-Nya tidak akan terputus meskipun tanpa kita sadari pernah kufur dan meninggalkan perintah-Nya. Hanya kepada Allah kita pantas meratap dan berkeluh kesah atas kesulitan kehudupan. Dan hanya kepada Allah kita mencurahkan rasa syukur atas kebahagiaan dan kesenangan yang dirasakan dalam kehidupan.
Bukan harta, kasta, dan tahta yang bisa dipakai untuk menilai kelayakan seseorang untuk dijadikan sahabat, melainkan ketaatannya kepada Allah yang layak kita dapat melihat kualitas orang lain yang layak untuk dijadikan sahabat. Jika saja seseorang itu berani meninggalkan Tuhannya, maka bagaimana nanti dia tidak akan meninggalkanmu sahabatnya?.
Dalam kitab Nashoihud Diniyyah, Nabi Muhammad SAW bersabda “Teman yang baik lebih baik daripada hidup menyendiri dan hidup menyendiri lebih baik daripada teman yang buruk”. Teman yang buruk dapat dijelaskan sebagai seseorang yang melalukan perbuatan tercela yang menjauhkan dirinya kepada Allah. Karena pergaulan dengan orang-orang yang suka berbuat kerusakan mengandung bahaya yang besar dan kejelekan yang banyak.
Hujjatul Islam rahimahullah berkata “Apabila engkau hendak berteman dengan seseorang, maka perhatikanlah padanya lima perkara: yaitu akal, budi pekerti yang baik, perilaku yang salih, tidak berambisi kepada dunia, dan bukan seorang pembohong”.
Persabahatan yang baik adalah persahabatan yang mendatangkan kebaikan, terjalin di jalan Allah, bukan untuk mendapatkan kemanfaatan dunia belaka. Persahabatan yang dilandaskan kemanfaatan duniawi bersifat sementara. Apabila kemanfaatan yang didapat sudah habis, maka persahabatan pun putus. Sebaliknya, persahabatan yang dilandaskan keridhoan Allah, maka persahabatan itu tidak akan terputus karena sepasang sahabat inilah yang beriringan beribadah untuk mendapatkan ridha Allah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadits Abu Hurairah RA, diceritakan, “Dahulu ada seorang laki-laki yang berkunjung kepada saudara (temannya) di desa lain. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Ke mana anda hendak pergi? Saya akan mengunjungi teman saya di desa ini’, jawabnya, ‘Adakah suatu kenikmatan yang anda harap darinya?’ ‘Tidak ada, selain bahwa saya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla’, jawabnya. Maka orang yang bertanya ini mengaku, “Sesungguhnya saya ini adalah utusan Allah kepadamu (untuk menyampaikan) bahwasanya Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai temanmu karena Dia.”
Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan. Tidak dibenarkan bahwa menggunakan dalih persahabatan dalam melakukan perbuatan munkar untuk membantu teman. Teman sejati tidak akan menjerumuskan temannya untuk jauh dari Allah. Teman yang baik justru eorang yang senantiasa menuntun temannya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun bertentangan dengan keinginan teman. Adapun mengikuti kemauan teman, meskipun keliru dengan mengatasnamakan solidaritas agar mereka tidak meninggalkan kita, maka yang demikian bukanlah tuntunan Islam.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Maukah aku tunjukkan pada kalian tentang sesuatu yang derajatnya lebih utama daripada sholat, puasa, sedekah?”
Para sahabat: ‘Mau, wahai Rasulullah!’
Beliau saw: “Perbaiki pergaulan, karena rusaknya hubungan baik berarti mencukur, aku tidak mengatakan mencukur rambut, tapi mencukur AGAMA”
(HR At-Tirmidzi)
Begitupun dalam pergaulan, tidak semua sahabat yang kita memiliki adalah orang baik. Di manapun kita berada, pasti terdapat orang-orang yang berperilaku buruk. Dengan memegang erat prinsip Islam, maka sudah sewajarnya kita bisa menempatkan diri ketika harus bergaul dengan orang yang berperilaku buruk. Bisa jadi, apabila kita kurang berhati-hati, maka kita akan melakukan keburukan tanpa disadari. Ataupun ketika berteman dengan orang-orang berperilaku buruk, maka secara kasat mata orang lain akan memandang buruk kepada kita. Rasulullah memberikan perumpamaan tentang persahabatan sebagai berikut:
Dari Abu Musa al Asyari ra ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Perumpamaan orang yang bergaul dengan orang yang shalih dan orang yang bergaul dengan orang jahat, seperti pergaulan dengan penjual misik (minyak kasturi) dan tukang peniup api. Adapun dengan penjual minyak kasturi, mungkin saja dia akan memberi minyak kepadamu, atau kamu membeli minyak kepadanya. Atau paling tidak kamu akan mendapatkan harumnya. Sedangkan orang yang meniup api, boleh jadi ia akan membakar pakaianmu, atau (paling tidak) kamu akan mendapatkan bau yang tidak enak darinya. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hablum minannas, seorang lelaki tidak hanya berteman dengan lelaki saja, melainkan dengan perempuan, begitu sebaliknya. Tidak bisa dihindarkan bahwa pasti akan terjadi interaksi antara lelaki dan perempuan, sehingga perlu peraturan dalam membatasi interaksi tersebut. Berteman dengan lawan jenis tidak dilarang asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Islam adalah agama yang indah, melindungi wanita dari pergaulan bebas dengan kaidah hukum syara’. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar persahabatan dengan lawan jenis tidak bertentangan dengan hokum syara’, antara lain:
- Menundukkan pandangan. Maksudnya adalah menjaga pandangan untuk tidak melihat aurat lawan jenis dan memandang selain aurat tidak dengan syahwat. Dalilnya adalah al-Quran surat an-Nuur: 30-31.
- Tidak berkhalwat (menyepi, berdua-duaan dengan lawan jenis). Hal ini berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW, “Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian bersunyi-sunyi dengan perempuan lain, kecuali disertai dengan muhrimnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Tidak masuk ke tempat tinggal wanita. Dalilnya adalah sabda Rasulullah, dari Uqbah bin Amir ra., bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: Takutlah kalian untuk bertamu kepada wanita! seorang laki-laki Anshar bertanya: bagaimana kalau saudara ipar (besan)? Rasulullah bersabda: Ipar sama dengan kematian. (Mutafaq alaih).
- Berinteraksi hanya pada keadaan yang dibenarkan oleh syara, misalnya dalam hal pendidikan, jual beli, dan pengobatan (dalam beberapa kasus).
- Berteman karena Allah SWT Rasulullah memerintahkan hal ini dengan jelas. Berdasarkan hadist dari Abdullah bin Mas’ud riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak. Rasullulah bersabda: Wahai Abdullah bin Masud! Ibnu Masud berkata: Ada apa ya Rasulullah? (Ia mengatakannya tiga kali) Rasulullah bertanya: Maukah Engkau tahu, tali keimanan manakah yang paling kuat? Aku berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah bersabda: Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah, dengan mencintai dan membenci (segala sesuatu) hanya karena-Nya. Lebih dari itu, tidak menjadikan mereka yang berbeda agama sebagai bithonah (teman kepercayaan) dan wali (teman yang dekat atau pelindung dan penolong).
Islam bukanlah agama pengekang karena banyak aturan dan larangan. Islam menjaga kehormatan perempuan dengan memberikan batasan. Selama batasan ini tidak dilanggar, maka Insya Allah perempuan akan terjauhkan dari fitnah keji karena sekali wanita terdengar aibnya, maka niscaya ia tidak bernilai di mata para lelaki. Dan begitu pula lelaki sebagai imam atas perempuan. Apabila seorang lelaki rusak karena pergaulan, maka niscaya perbuatannya tidak akan jauh dari melakukan hal-hal buruk. Maka sudah sewajarnya kita lebih selektif bergaul, apalagi di era globalisasi seperti saat ini. Pergaulan tanpa batas dianggap lebih tren yang menyenangkan, yang pada dasarnya kesengangan sesaat seperti itulah yang mendatangkan ancaman kepada diri seorang muslim untuk mempertahankan keimanan. Sebagai langkah bijak, berkawanlah dengan orang baik, maka lambat laun diri kita akan terbawa menjadi lebih baik. Imam syafi’i berkata, “Jika engkau punya teman yg selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskannya. Karena mencari teman baik itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali”
0 Comments