Meraih Kemuliaan dan Kemenangan
Oleh: Muhammad Hasan Mutawakkil*
Islam mengajarkan agar ummatnya hidup mandiri, bukan menjadi beban orang lain. Islam mengajarkan agar kita menjaga harga diri, bukan mencaci-maki martabat orang lain. Islam pun mengajarkan agar ummatnya hidup dalam kemuliaan dan meraih kemenangan. Namun, sayangnya banyak yang keliru untuk menempuh jalannya. Ada yang ingin mulia dan terhormat justruh pergi ke mbah dukun minta jampi-jampi, atau pergi ke paranormal minta agar diramalkan nasibnya. Selain itu, masih banyak yang keliru memahami apa itu kemulian dan kemenangan yang sebenarnya.
Banyak yang beranggapan kemulian itu identik dengan kekayaan, kedudukan, dan ketenaran. Banyak yang beranggapan kemenangan adalah kekuasaan dan sanjungan. Kalau arti kemuliaan dan kemenangan saja masih belum paham, apalagi dara meraihnya?
Kemulian yang hakiki adalah kemulian dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala, dan ukurannya bukan dalam penampilan performa seperti kecantikan atau kegantengan. Namun, ukurannya adalah tingkat ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Hujurat ayat 13:
“sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa” (Q.S al-Hujurat ayat 13).
Quraisy Shihab dalam tafsirnya (al-Misbah) menerangkan bahwa kata “paling mulia” (akram) terambil dari kata karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai obyeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada sesama makhluk.
Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari, bahkan bersaing dan berlomba menjadi yan terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan, serta kedudukan sosial merupakan kemulian yang harus dimiliki. Oleh karena itu banyak yan berusaha memilikinya.
Tetapi bila diamati sifatnya hanya sementara, bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya kepada kebinasaan. Jika demikian, hal-hal tersebut bukanlah sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiakan secara terus menerus. Kemulian abadi dan langgeng itu ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya. Itulah taqwa, dengan demikian yang paling mulia disisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang paling bertaqwa. Rasulullah shallahualaihiwasalam bersabda:
“dan ketahuilah kemulian seorang mukmin adalah shalatnya di malam hari dan kejayaannya adalah ketidak tergantungannya kepada manusia.”
Mengambil hikmah dan kandungan hadits di atas, paling tidak ada 3 langkah utama agar mampu meraih kemulian dna kemenangan.
- Mentalitas yang bagus dan tidak mengikuti hawa nafsu.
Untuk mendapatkan kemulian dan kemenangan harus melalui langkah-langkah yang benar. Pertama mentalitas kita harus dibangun sebaik mungkin. Membangun mentalitas, ttentu tidak lepas dari pengendalian diri dan nafsu. Oleh karena itu, kita harus betul-betul mampu menahan dan mengendalikan nafsu. Sebab orang yang mengikuti nafsunya, ia akan hina dan rendah dalam pandangan manusia, lebih-lebih dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagai contoh, orang yang mengikuti nafsunya, sering minum-minuman keras, teler di jalanan dengan tampang yan gawut-awutan sambil sempoyongan tentu akan menjadi hina. Di mata masyarakat saja tidak disukai, tidak dihargai apalagi di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi, syarat pertama kalau ingin mulia dan meraih kemenangan adalah tidak mengikuti nafsu.
- Menguatkan hubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, untuk mendapat kemulian kita harus dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan diantara jalan yang paling uatama adalah qiyamu al-lail (sholat malam). Malam adalah waktu yang istimewa untuk munajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mencurahkan segala urusan perkara serta memanjatkan doa.
Pada saat itu, kita pun harus mengawali dengan mengekang nafsu, kalau seseorang sudah terkena hangatnya selimut, mata ngantuk, maka otomatis badan akan sulit bangun malam. Jika seseorang sudah bisa mengendalikan dan mengarahkan nafsunya, maka dia akan gampang untuk bangun malam.
Kalau seseorang sudah kuat hubungannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ketergantungan dan keyakinan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, dia sudah mempunyai modal kuat untuk meraih kemuliaan dan kemenangan. Sebaliknya, jika seseorang tidak mempunyai hubungan kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebanyak apapun usaha dan modalnya dia tidak akan berhasil, meskipun nampaknya berhasil tapi keberhasilan itu semu. Bisa jadi dia di dunia sudah jatuh atau nanti di akhirat kelak.
- Mandiri
Sebagai pribadi Muslim, sudah semestinya bisa mandiri dalam arti tidak menggantungkan diri kepada orang lain (istighna’ ‘an an-nas) kemandirian yang perlu di bangun ada berbagai bidang:
- Ekonomi
Orang sepintar apapun dengan titel yang dia sandang tapi untuk masalah makan saja masih ndampleng (ikut) orang tuanya, maka belum bia dikatakan menang dan mulia. Islam mengajarkan umatnya agar berusaha untuk mendiri. Kalaupun tidak bisa membantu orang lain, paling tidak jangan membebani orang lain.
Dari abi Dzar Jundub bin Junadah, ia berkata: “saya bertanya kepada Rasulullah shallahualaihiwasalam, manakah amal yang paling mulia?”, beliau menjawab, “iman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya”, aku bertanya lagi, “hamba sahaya manakah yang paling mulia?”, beliau bersabda, “yang paling baik dan besar harganya”, aku bertanya, “kalau saya tidak mampu berbuat seperti itu?”, beliau bersabda, “engkau membantu orang dengan bekerja”, aku bertanya, “ya Rasulullah shallahualaihiwasalam apa pendapatmu jika saya tidak mampu bekerja?”, beliau bersabda, “jagalah dirimu untuk berbuat buruk kepada manusia, karen aitu termasuk sedekah darimu untukmu.” (H.R Bukhari dan Muslim).
- Ideologi
Sumber pokok agama Islam terletak pada al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, kita jangan latah mengikuti ajaran-ajaran, pemikiran orang lain. Apalagi jelas bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah.
Kalau umat Islam ikut-ikutan ideologi dan ajaran orang-orang di luar Islam, maka akan hina dan lemah. Sebab mereka sudah menggerogoti ajaran Islam, bahkan dengan mudah mereka menghancurkan agama Islam. Walhasil, kita harus berusaha menggapai kemulian, mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan mulia di sisi manusia.
- Penulis adalah santri Pondok Pesantren Anwarul Huda dan Mahasiswa UNISMA.
0 Comments