PROBLEMATIKA SYIAR IDUL FITRI DENGAN DANGDUTAN
Oleh : Dana Rosyidal Aqli
Idul Fitri, Idul Fitri merupakan hari yang ditunggu oleh seluruh umat Islam. Merupakan hari kemenangan setelah dilaksanakannya puasa pada bulan Ramadhan. Ada perasaan sedih dan syukur setelah berakhirnya bulan puasa, bersedih karena bulan puasa telah pergi , bersyukur karena akan datang hari kemenangan setelah berpuasa yakni Idul Fitri.
Idul Fitri memiliki makna yang sangat erat. Kata “Id” yang berasal dari kata aada – yauudu yang berarti kembali, sedangkan kata “Fitri” berasal dari kata fathoro – yafthiru yang berarti suci, bersih dari segala dosa, kesalahan, keburukan serta kejelekan. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Idul Fitri bisa berarti kembalinya kita kepada keadaan suci. Bagi umat Islam yang telah lulus melaksanakan ibadah puasa maka akan diampuni dosanya dan kembali lagi menjadi fitrah, menjadi suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya .
Dalam bahasa Jawa Hari Raya Idul Fitri disebut juga dengan “Lebaran” . Lebaran memiliki makna lebar-lebur-luber-labur. Lebar artinya kita akan bisa lebaran dari kemaksiatan, lebur artinya lebur dari dosa, luber artinya luber dari pahala, luber dari keberkahan, luber dari Rahmat Allah SWT, labur artinya bersih sebab bagi orang yang benar-benar melakukan ibadah puasa, maka hati kita akan dilabur menjadi putih bersih dan kembali menjadi fitrah lagi.
Idul Fitri dirayakan setiap satu tahun sekali yakni yang bertepatan pada setiap awal bulan Syawal ( 1 Syawal ). Idul Fitri merupakan momentum untuk menyempurnakan hubungan dengan Allah (hablumminallah) serta untuk membangun hubungan sosial yang baik dengan sesama (hablumminannaas). Perayaan Idul Fitri ini dijadikan sebagai ajang silaturahmi antar sesama umat beragama. Selain itu, juga sebagai sarana membebaskan diri dari dosa antar manusia baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja . Saling mengunjungi antara kerabat satu dengan yang lainnya, saling bertegur sapa dan meminta maaf, bahkan ada istilah mudik / pulang kampung pada Hari Raya Idul Fitri, hanya untuk melaksanakan silaturahmi dengan kerabat-kerabatnya.
Beberapa kebiasaan lainnya yang terjadi pada perayaan Idul Fitri adalah lebaran ketupat, sudah menjadi kebiasaan ketika hari raya Idul Fitri kebanyakan umat Islam akan memasak ketupat yang biasanya dipadukan dengan opor ayam. Lebaran ketupat ini dijadikan sebagai bentuk rasa syukur serta perayaan kecil-kecilan di hari Raya Idul Fitri dan biasanya dilaksanakan pada hari ke -8 bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Syawal selama 6 hari, hal ini berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal.
Selain silaturahmi dan lebaran ketupat, beberapa umat Islam juga merayakan hari Raya Idul Fitri dengan cara dangdutan. Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik populer tradisional Indonesia yang khususnya memiliki unsur Hindustani, Melayu, dan Arab. Hal ini menjadi tranding di beberapa wilayah Indonesia bahkan Warga Negara Indonesia yang di luar pun tidak sedikit yang memeriahkannya dengan mendengarkan atau bernyanyi musik dangdut (dangdutan). Hal tersebut mengundang banyak perhatian khususnya warga Islam yang tidak sependapat dengan diperbolehkannya musik termasuk musik dangdut.
Musik dangdut termasuk dalam jenis musik yang memiliki irama serta ketukan yang indah , sehingga tidak heran jika tidak sedikit orang menyukai genre musik dangdut ini. Jika dipandang dalam perspektif Islam, terdapat beberapa pendapat tentang kesenian khususnya musik. Ulama yang memiliki perhatian serta minat dalam bidang kesenian adalah Imam Al-Ghozali, beliau menyisakan satu bab khusus yang membahas tentang kesenian khususnya seni suara dan musik. Beliau berpendapat bahwa dalam menghukumi musik, para ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Thayyib Al-Tabari, Syafi’i, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam Syafi’i, “menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebathilan, barang siapa sering bernyanyi maka tergolong Safeh (orang bodoh). Karena itu, kesaksiannya ditolak”.
Begitu juga dengan Imam Malik (guru Imam Syafi’i), Imam Malik melarang keras musik. Menurutnya “ jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Hal yang sama juga diungkapkan Abu Hanifah, Abu Hanifah berpendapat bahwa musik hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa.
Namun, ada pula beberapa ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik, di antaranya menurut Abu Thalib Al-Makki, para sahabat nabi SAW seperti Abdullah bin Ja’far. Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi di kalangan ulama salaf ataupun para tabiin, . Bahkan, Abu Thalib mengatakan bahwa ketika dia berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik.
Jika dikaitkan dengan kebiasaan beberapa umat Islam yang merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan cara dangdutan, hal tersebut sangat mirip dengan pendapat Abu Thalib Al-Makki, di Indonesia juga sudah menjadi tradisi mendengarkan dan menyanyikan musik dangdut (dangdutan) pada perayaan Idul Fitri. Jika dilihat dari kacamata sosial kemasyarakatan, hal tersebut tidak memiliki masalah karena sudah menjadi budaya atau kebiasaan bagi orang yang merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan dangdutan. Padahal jika dikaji berdasarkan perspektif Islam, Syiar Idul Fitri dengan dangdutan itu alangkah lebih baik jika tidak dirayakan dengan cara yang seperti itu karena lebih banyak kemudharatannya dari pada kemaslahatannya. Seperti dalil berikut :
وَيُسْتَحَبُّ أَن يُوقِظَ غَيْرَهُ لِصَلَاةِ اللَّيْلِ وَلِلتَّسَحُّرِ وَالنَّائِمَ بِعَرَفَاتٍ وَقْتَ الْوُقُوْفِ لِأَنَّهُ وَقْتُ طَلَبٍ وَتَضَرُّعٍ. قَالَ الاِسْنَوٍيُّ : وَهَذَا بِخِلَافِ مَالَوْ رَأَى شَخْصًا يَتَوَضَّأُ بِمَاءٍ نَجَسٍ فَإِنَّهُ يَلْزَمُهُ إِعْلَامُهُ كَمَا قَالَهُ الْحَلِيْمِيُّ فِي شُعَبِ الْاِيْمَانِ بِكَسْرِالْهَمْزَةِ. مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج (٢/١١١).
وَيُسَنُّ لِمَنْ قَامَ يَتَهَجَّدُ أَن يُوْقِظَ مَن يَطْمَعُ فِي تَهَجُّدِهِ إِذَا لَمْ يَخَفْ ضَرَارًا ، وَيَتَأَكَّدُ إِكْثَارُ الدُّعَاءِ ، وَالإِسْتِغْفَارِ فِي جَمِيْعِ سَاعَةِ اللَّيْلِ ، وَفِى النِّصْفِ الأخِيْرِ الأخَرُ آكَدُ ، وَعِنْدَالسَحَرِ أَفْضَلُ . ا ه حاشية البجيرمي على المنهاج (٣/١٨٨).
ويستحب ايقاظ لقيام الليل والتسحر ويجب الإيقاظ إذا علم أنه نام بعد دخول الوقت مع علمه أنه لا يستقيم ويحرم اذا تحقق من إيقاظ ضرارا ا ه تنوير القلوب ص : ١٢٧
ويكره الجهر بقراءة الكهف وغيره إن حصل به تأذ لمثل أونائم كما صرح النووي في كتبه وقال شيخنا في شرح الهلال ينبغي حرهة الجهر بالقراءة فى المسجد وحمل كلام النووي بالمرأة على ما إذا خف التأذي وعلى كون القراءة في غير المسجد ا ه فتح المعين هامش إعانة الطالبين (٢/٨٩).
قوله : ينبغي حرمة الجهر بالقراءة في المسجد) أي بحضرة المصلين فيه. وعبارة الشارح في (باب الصلاة) : وبحث بعضهم المنع من الجهر بقرآن أو غيره بحضرة المصلي مطلقا ، أي شوش عليه أولا، لان المسجد وقف على المصلي، أي أصالة -دون الوعاظ والقراء. ا ه (قوله : وحمل) بالبناء الفاعل ، وفاعله يعود على شيخه، إن كان هذا الحمل موجودا في شرح العباب، والبناء للمجهول ونائب فاعله كلام النواوي، إن لم يكن موجودا فيه. النظره. (وقوله : بالكراهة) متعلق بكلام معنى تكلم، أى حمل تكلمه بالكراهة أي قوله بها . (قوله على ما إذا خف التأذىى) متعلق بحمل، وهذا يخالف إطلاق المارفى العبارة المارة آنفا إن كانت الواو في قوله بعد : وعلى كون إلخ بمعنى أو كما هو ظاهر صنيعه – فإن كانت باقية على معناها فلا مخالفة ، لأنه يصير المحمول عليه
فإذن قوله عليه السلام إنما اعمال بالنيات يختص من أقسام الثلاثة بالطاعات والمباحات دون المعاصي إذ الطاعة تنقلب معصية بالقصد والمباح وينقلب معصية وطاعة بالقصد فأما المعصية فلا تنقلب طاعة بالقصد أصلا نعم النية دخل فيها وهو أنه إذا انضاف إليها قصود خبيثة تضاعف وزرها وعظم وبالهنا كما ذكرنا ذلك في كتاب التوبة ا ه إحياء علوم الدين (٤/٣٧٠).
قاعدة خامسة : وهي درء المفاسد أولى من جلب المصالح فإذا تعارض مفسدة و مصلحة قدم دفع المفسدة غالبا لأن اعتناء الشارع بالمنهيات أشد من اعتنائه بالمأمورات ولذلك (قال صلى الله عليه وسلم : إذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم وإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه) ا ه اشياء والنظائر – شافعي (ص ١٧٦)
Berdasarkan dalil diatas, dapat disimpulkan bahwa “SYIAR IDUL FITRI DENGAN DANGDUTAN” itu haram, kecuali :
- Tidak idza’ / mengganggu
- Tidak menggunakan alat malahi / musik yang haram
- Dengan niat yang benar
- Tidak menggunakan syiar ahli fisqi
0 Comments