TAKZIRAN/HUKUMAN SANTRI DI ERA DIGITAL
Oleh: Mohamad Bastomi
Takziran merupakan bentuk tanggung jawab santri karena dengan sengaja tidak mengikuti kegiatan madrasah diniyah tanpa melakukan perizinan kepada pengurus. Takziran sendiri menjadi sebuah metode dalam menindak berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan santri. Orang non pesantren pastinya asing dengan istilah takziran, yang tak lain menjadi istilah untuk pengganti kata hukuman. Setiap pesantren memiliki peraturan yang beraneka ragam serta bentuk takzirannya sesuai dengan kadar pelanggaran yang dilakukan. Tujuan dari adanya takziran sebagai teguran kepada pelanggar peraturan untuk bisa disiplin mentaati peraturan pesantren.
Lantas, bagaimanakah bentuk takziran yang mampu menjerakan santri? Takziran yang tepat seharusnya menjadikan santri mampu instrospkesi diri bahwa apa yang telah dilakukannya salah, setelah itu menyesal dan berkomitmen untuk tidak mengulangi pelanggaran yang telah dilakukannya. Hukuman fisik bukanlah menjadi satu-satunya solusi yang tepat untuk diterapkan di pesantren. Hal ini karena dampak yang muncul akibat hukuman fisik tidaklah sepele, bisa saja membuat trauma pada santri bahkan dampak seriusnya bisa saja sampai mengancam jiwa. Selain itu, segala bentuk kekerasan fisik dapat dilaporkan kepada pihak berwajib/polisi sehingga dapat mengarah pada hukum pidana.
Pengelolaan pesantren pun bergeser daripada zaman dulu sehingga peraturan dan takziran pun harus dikembangkan dan diperbaiki agar dapat menyesuaikan karakter santri pada masa ini. Jika dulu hukuman fisik menjadi hal lumrah, maka bisa saja saat ini hukuman fisik menjadi sesuatu yang tidak dibenarkan dan diterima oleh wali santri. Permasalahannya bukan terletak pada bisa atau tidaknya hukuman fisik diterapkan, melainkan masih sesuai atau tidaknya jika diterapkan pada santri generasi millenial.
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan sehingga sudah selayaknya bentuk takziran yang diberikan mampu mengedukasi dan mendidik serta membentuk karakter baik. Era industri memberikan peluang dan ancaman kepada pesantren. revolusi diperlukan untuk mengambil peluang yang muncul dan menghindar dari risiko yang ada. Takziran dapat mengadopsi digital sebagai media yang menunjang perluasan dakwah pesantren. Salah satu contohnya yaitu pemanfaatan media sosial dalam menyampaikan berbagai kegiatan santri, tidak terkecuali takziran santri.
Konsep takziran yang tepat seharusnya juga mampu mengembangkan kemampuan santri untuk siap berdakwah. Dakwah dapat dilakukan melalui lisan dan tulisan. Hal ini tentunya dapat diwadahi dari adanya media sosial, seperti youtube dan website. Contohnya saja, santri yang terkena takziran wajib membuat video ceramah yang kemudian diuopload di youtube atau santri yang terkena takziran wajib membuat tulisan/artikel yang nantinya dipublikasikan melalui website. Meskipun terlihat sepele, akan tetapi tentu berat dan tidak mudah untuk membiasakan santri bisa ceramah atau menulis karena tidak mempunyai bakat bawaan.
Jika menilik lebih dalam konsep takziran santri milenial, maka banyak manfaat yang terkandung di dalamnya. Pada umumnya takziran akan dirasakan dan kembali kepada diri pribadi santri pelanggar. Akan tetapi jika diterapkan beberapa contoh bentuk takziran santri milenial, maka tidak hanya si santri saja yang merasakan, melainkan juga orang lain ikut menyimak dan mendapat manfaat dari konten yang disampaikan santri pembuat takziran tersebut. Hasil akhir dari takziran tidak hanya berfokus pada kelayakan ceramah atau tulisan yang dihasilkan harus baik. Lebih dari itu, memberikan pengalaman bahwa santri pernah memberikan ceramah dan juga menyusun tulisan.
Ceramah dan tulisan yang dipublikasikan di media sosial tentunya dapat diakses banyak orang. Bayangkan jika konten yang dibagikan mengajak kepada kebaikan, tentunya menjadi sebuah konten dakwah yang menjadi ladang pahala. Selain itu, masyarakat akan lebih mengenal keberadaan pesantren sebagai lembaga yang konsisten dalam pendidikan karakter. Tentunya, sebagai lembaga pendidikan, pesantren perlu melakukan inovasi dalam merespon perubahan lingkunga, seperti halnya era digital. Perubahan mutlak tidak bisa dihindari sehingga perubahan dibutuhkan untuk menuju perbaikan lembaga. Pesantren memelihara hal-hal lama yang bagus, kemudian disesuaikan dengan kondisi saat ini, yaitu mengambil hal-hal baru yang lebih baik lagi.
0 Comments