Peran Pesantren untuk Membentuk Santri yang Khidmat kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Muhammad Abid Alfinnur

Perilaku yang menyimpang seperti mabuk-mabukan, perampokan, pemerkosaan dan penyimpangan lainnya dari berbagai kalangan terutama anak muda sering kali dijumpai di Era Globalisasi saat ini. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya perhatian orang tua, dan faktor yang paling utama tentunya kurangnya pemahaman tentang etika dan agama. Fakta tersebut sering membuat resah masyarakat sekitar, melihat banyaknya anak muda yang tidak bisa lagi diandalkan dalam membentuk masyarakat yang harmonis apalagi untuk masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harapan masyarakat terhadap anak muda yang menjadi Agen of Change di masa mendatang perlahan menghilang. Hal demikian menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tentang agama sangat dibutuhkan. Dengan demikian, ajaran agama (aspek kultural dari agama) memiliki kemungkinan yang besar untuk mengontrol proses perubahan sosial di mana agama Islam memiliki hal itu dengan adanya ulama dan  dan pondok pesantren (Margono, 2011).

Pondok pesantren merupakan tempat pendidikan yang memiliki tujuan untuk membentuk santri yang mandiri, berakhlak, serta mampu mengabdi untuk Negara. Secara umum, penanaman adab dalam pesantren menjadi tujuan utama untuk membentuk karakter santri  agar mampu menjalani tugas kehidupan sehari-hari secara mandiri (Sanuni, 2012). Menurut Renata yang dikutip dalam Lestari dan Yusmiono (Lestari & Yusmiono, 2018), pendidikan karakter merupakan sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mana mengandung unsur-unsur pengetahuan, kesadaran individu, pembentukan tekad, dan memunculkan hasrat untuk bertindak dalam menjalankan nilai-nilai agama terhadap Tuhan yang Maha Esa, sesama manusia, lingkungan, bangsa, maupun diri sendiri sehingga sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan Allah SWT dan Rasulullah SAW, yang pada akhirnya menjadi insan yang mulia.

Sistem pembelajaran dalam pesantren menggunakan metode wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode belajar di mana para pemimpin pesantren, yaitu kiai atau bu nyai mentransmisikan ilmunya secara monolog kepada para santri, sedangkan santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat penjelasan kiai dengan duduk di sekeliling kiai atau bu nyai (Hartono, 2016). Metode sorgan merupakan metode di mana santri mengikuti pelajaran dengan menghadap satu persatu ke kiai atau gurunya dengan membaca kitab yang akan dipelajarinya. Sedangkan metode hafalan merupakan metode di mana santri menghafalkan nazam atau syair serta kalimat-kalimat tertentu dari kitab yang dipelajari (Hartono, 2016).

Model pendidikan karakter di pesantren memprioritaskan dalam menamankan nilai-nilai akhlak mulia. Nilai-nilai akhlak mulia ini bersemi dalam pribadi Rasulullah SAW. Allah berfirman dalam Al-Quran surah Al-Ahzab ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ الأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. Al-Ahzab:21).

Dalam praktiknya, para santri dididik untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral dalam bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat dari cara santri menghormati gurunya dengan santun. Santri menganggap kiai sebagai tokoh yang memiliki keunggulan, sehingga santri merasa bahwa dirinya kecil dan memiliki banyak kekurangan di hadapan kiai. Hal demikian dapat ditemukan hampir di setiap pesantren. Sehingga, pondok pesantren dapat memunculkan kader santri yang memiliki idealisme, kemampuan intelektual, serta budi pekerti yang mulia (akhlāq al-karīmah). 

Karakter-karakter santri yang terbentuk di pesantren secara unik di antaranya; karakter sukarela dalam berkhidmat. Karakter yang terbentuk ini dapat diamati dari cara santri meniru guru-guru mereka dan mengikuti apa saja yang telah dikatakan kiai mereka juga. KH. Ubaidillah Faqih, pengasuh Pondok Langitan pernah berkata kepada santri-santrinya agar berkhidmat, karena hubungan antara murid dan guru akan saling terikat dengan berkhidmat, dan dengan berkhidmat pula kelak santri akan menjadi pengganti dari guru yang dikhidmati (Fadhol, 2020).

K.H. Abdul Qoyyum Mansur, pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Rembang menyampaikan dalam kajiannya bahwa santri seyogianya mempergunakan usianya untuk berkhidmat. Karena Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi rasul, yakni sebelum beliau berusia 40 tahun, berkhidmat kepada Siti Khodijah dengan menjadi rekan bisnisnya. Hal ini dikarenakan usia tersebut adalah masa-masa yang penuh nikmat (Solkan, 2017).

K.H. Imam Zarkasyi yang merupakan salah satu pendiri pesantren modern Gontor juga pernah berkata ke murid-muridnya, kunci kesuksesan akan diraih oleh para santri ketika santri mampu membangun kampung halamannya. Perkataan para kiai-kiai tersebut merupakan peranan pesantren dalam membentuk santrinya supaya berkhidmat bagi masyarakat, bermanfaat bagi keluarganya, dan berguna bagi nusa bangsa dan agama. 

Peranan pesantren dalam membentuk karakter para santri dalam berkhidmat di masyarakat dan Negara juga dapat dilihat dari proses pendidikan di pesantren maupun lulusan pesantren dalam kiprahnya di masyarakat. Para santri dituntut untuk belajar sepanjang hayat meskipun setelah lulus dari pesantren. Tuntutan tersebut menjadi bekal para santri untuk menjadi pembelajar dalam hidupnya dan mengabdi kepada masyarakat. Karena santri berasal dari masyarakat dan akan kembali lagi kepada masyarakat (Ghufron, 2019).

Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya guruku orang-orang dari pesantren (Zuhri, 1982) menjelaskan, “Para santri adalah anak-anak rakyat, amat paham tentang arti kata rakyat, paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya, dan segala liku-liku hidup rakyatnya, santri lahir dari sana, demikian mereka hidup dan lalu mati pun di sana pula. Sebab itu, para santri dan kiai sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan”.

Karakter sukarela dalam berkhidmat yang terbentuk pada diri santri di pesantren juga dapat dilihat dari cara santri melakukan aktivitas pembelajaran dan pembiasaan secara sukarela meskipun di luar pengawasan kiai atau ustaznya. Bahkan santri di beberapa pesantren menyengaja untuk mengabdikan dirinya kepada kiai secara terus menerus. Pengabdian santri kepada kiainya ini merupakan bentuk takzim santri terhadap kiai. Khidmat santri kepada kiai ini merupakan bentuk pemahaman santri dari hadis Rasulullah SAW:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ -رضي اللّه عنهم- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ‏«‏لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيرِنَا‏»‏ حديث صحيح رواه أبو داود والترمذي، 

Artinya : Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya – radliyallahu ’anhum – berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi anak-anak kecil dari golongan kami, dan tidak mengetahui (cara) memuliakan yang tua dari kami (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Totalitas ini keyakinan santri bahwa terdapat berkah yang akan diperoleh setalah mengabdi secara ikhlas kepada kiai. Berkah tersebut di antaranya berupa kesuksesan dalam hidup bermasyarakat kelak, menjadi tokoh agama, serta menjadi tokoh yang berguna bagi masyarakat yang rela mengabdi kepada sesama.

Salah satu contoh keberkahan dari berkhidmat yang masyhur adalah kisah dari sahabat Anas bin Malik. Pada saat itu, ibu sahabat Anas bin Malik, yakni Ummu Sulaim, membawanya bertemu Rasulullah SAW. Ketika mereka berhadapan dengan Rasulullah, Ummu Sulaim berkata, “ya Rasulullah, sesungguhnya ahlul Madinah memberikan semua hartanya kepada engkau, sedangkan aku tidak bisa memberikan apa pun kecuali anakku ini, ya Rasulullah, anakku kupasrahkan kepadamu untuk berkhidmat kepada engkau ya Rasulullah”. Setelah itu, ibu sahabat Anas bin Malik meminta kepada Rasulullah untuk mendoakan putranya. Kemudian Rasulullah berdo’a: 

اللهم أكثر ماله وولده وأطل عمره واغفر ذنبه.

Yang artinya : Ya Allah, berikanlah ia harta yang melimpah, keturunan yang banyak, panjangkanlah umurnya dan ampunilah dosanya.

Sejak saat itu, sahabat Anas pun selalu berzikir dan berkhidmat kepada Rasulullah sampai wafat. Sahabat Anas tidak pernah membuang-buang waktunya selama itu. Beliau menyerap semua ilmu yang Rasulullah ajarkan, baik melalui sabda-sabda Rasulullah maupun dari perilaku beliau yang mulia. Dari karakter dan perilaku sahabat anas itu, beliau mendapatkan keberkahan sebagai periwayat hadis Nabi terbanyak ketiga setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar.

Berkah lain yang diterima oleh sahabat Anas bin Malik dari berkhidmat dan hidup di samping Rasulullah adalah sahabat Anas menjadi rujukan dalam bidang keilmuan bagi kaum muslimin pada masa setelah Rasulullah SAW wafat. Sahabat anas pun menjadi seorang sahabat yang memiliki anak paling banyak. Beliau juga memiliki umur yang panjang serta menjadi sahabat yang terakhir wafat (Fadhol, 2020).

Akhir-akhir ini, pemerintah mulai memerhatikan model pendidikan yang dilaksanakan pesantren. Beberapa pihak beranggapan bahwa sistem pendidikan pesantren dapat melahirkan santri yang terdidik dengan pendidikan moralnya. Meskipun proses pendidikan pesantren tidak mempunyai perangkat yang lengkap, sebagian besar santri yang telah lulus dari pesantren memiliki karakter yang luhur. Keberadaan pesantren menjadi harapan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari ustaz dan kiai di pesantren sering mengisi pengajian masyarakat dalam seminggu. Di sisi lain, masyarakat berkunjung ke pesantren untuk bertanya tentang hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki peranan dalam masyarakat (Kurniati, 2019). 

Berdasarkan penjelasan di atas, kita sebagai santri dari pondok pesantren Anwarul Huda yang tinggi akan nilai-nilai akhlak mulia, sudah seharusnya mengkhidmatkan diri kita kepada kiai kita. Selain itu, para santri yang sudah boyong dari pondok dianjurkan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Dan sebagai warga Indonesia yang baik, santri pesantren harus berkontribusi dalam membangun dan mempertahankan tanah airnya.

DAFTAR PUSTAKA

 

Fadhol, M., D. (2020). Khidmah dan Keutamaannya. [Online]. Tersedia: Khidmah dan Keutamaannya | PPI Maroko. [20 Maret 2022].

Ghufron, A., I. (2019). Santri dan Nasionalisme. Islamic Insights Journal. 1(1): PP 41-45.

Hartono, R. (2016). Pola Komunikasi di Pesantren : Studi tentang Model Komunikasi antara Kiai, Ustadz, dan Santri di Pondok Pesantren TMI Al-Amien Prenduan. 5704.

Kurniati, Mia, DKK. (2019). Peran Kepemimpinan Kyai Dalam Mendidik Dan Membentuk Karakter Santri Yang Siap Mengabdi Kepada Masyarakat. Jurnal Ilmu Al Qur’an dan Hadist. 2(2), 193-202.

Lestari, N. D., & Yusmiono, B. A. (2018). Jurnal Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan. 3(1), 114–125.

Margono, H. H. (2011). KH . Hasyim Asy ’ ari dan Nahdlatul Ulama : Perkembangan Awal dan Kontemporer. 26(3).

Sanusi, U. (2012). Manusia Indonesia Yang Harus Dikembangkan Oleh Setiap Satuan Pendidikan. Oleh. 10(2), 123–139.

Solkan, A. (2017). Berkhidmah, Cara Ulama Terdahulu Mengabdi kepada Guru. [Online]. Tersedia: https://www.nu.or.id/daerah/berkhidmah-cara-ulama-terdahulu-mengabdi-kepada-guru-nUfid. [20 Maret 2022].

Zuhri, Saifuddin. Berangkat dari pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1982.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *