Menelusuri Jejak Keimanan Anas bin Malik: Dari Pelayan Rasulullah hingga Perawi Terkemuka
Oleh: Davina Salsabila
Salah satu sosok menarik di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW adalah Anas Bin Malik. Dikenal dengan beberapa nama seperti Abu Hamzah atau Abu Tsumamah, ia adalah anak dari keluarga Bani Najjar. Ibunya bernama Ummu Sulaim, telah menjadi wanita pertama yang memeluk Islam di Madinah sebelum masa kedatangan Nabi Saw. Sementara ayah kandungnya bernama Malik ibn Nadr, belum memeluk agama Islam dan wafat di Negeri Syam. Ayah tirinya bernama Abu Thalhah, memeluk Islam atas keinginannya untuk menikahi Ummu Sulaim. Anas tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan pengajaran agama Islam yang mendalam dari ibunya sejak usia muda. Dia dididik dengan penuh kasih dan bijaksana, diberi arahan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai dasar imannya. Kesetiaan Anas terhadap agama dan Rasulullah SAW tercermin dalam setiap langkah hidupnya, menjadi teladan bagi generasi selanjutnya dalam pengabdian dan ketulusan kepada Islam.
Walaupun belum memiliki kesempatan untuk bertemu langsung, cinta dan kekaguman Anas terhadap Rasulullah Saw terus berkembang seiring dengan cerita-cerita yang ia dengar. Anas sering kali memikirkan dan membayangkan momen di mana ia dapat bertemu langsung dengan Rasulullah Saw, baik itu di Mekah atau ketika beliau berkunjung ke Madinah. Suatu hari harapannya menjadi nyata ketika Rasulullah Saw dan sahabat setianya Abu Bakar ash-Shiddiq memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Madinah. Kehadiran Rasulullah Saw di kota itu membawa kegembiraan dan keberkahan bagi penduduknya. Tidak lama setelah kedatangan Rasulullah Saw di Madinah, ibu Anas atau Ummu Sulaim pergi menemui Rasulullah. Ia tidak datang sendiri melainkan bersama dengan putra laki-lakinya yang masih kecil, yaitu Anas bin Malik. Ia dengan penuh semangat berlari-lari riang di depan ibunya, dengan sehelai rambut yang berjuntai di dahi mungilnya menambah kehangatan suasana di sekitar kedatangan Rasulullah Saw.
Dengan penuh rasa hormat Ummu Sulaim menghampiri Nabi Muhammad Saw dan dengan lembut menyampaikan salam, “Ya Rasulullah, seluruh penduduk Anshar baik laki-laki maupun perempuan, telah memberikan hadiah kepada Anda sebagai ungkapan cinta dan penghormatan. Namun, saya merasa tidak pantas memberikan apapun selain dari hadiah yang paling berharga bagiku, yaitu anak laki-laki ini. Saya mohon Anda terimalah dia, dan dia akan dengan suka rela melayani Anda sepenuh hati.” Rasulullah Saw, dengan penuh kerendahan hati, menerima tawaran tersebut dengan senyuman hangat di wajahnya. Dengan kasih sayang yang tulus beliau menyambut si anak dengan gembira di matanya. Rasulullah Saw mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala si anak dengan lembut. Beliau dengan penuh kasih sayang menganggapnya sebagai bagian tak terpisahkan dari keluarga. Anas bin Malik yang sering dipanggil Rasulullah dengan sebutan Unais yang artinya “wahai anakku” sebagai tanda kasih sayang dan penghargaan. Anas yang saat itu baru menginjak usia sekitar sepuluh tahun diberikan kesempatan yang luar biasa untuk melayani Rasulullah Saw dengan penuh kebahagiaan. Anas hidup bersama Nabi dan menerima arahan serta bimbingan penuh dari beliau selama kurang lebih sepuluh tahun, hingga saat Rasulullah Saw wafat dan meninggalkan dunia ini.
Selama menjadi pelayan Rasulullah, Anas diarahkan untuk membersihkan batinnya dan memperdalam pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Anas diberikan kesempatan langka untuk mengenal lebih dalam akhlak yang mulia, rahasia-rahasia, dan sifat-sifat terpuji dari Nabi Muhammad Saw yang tidak banyak diketahui oleh orang lain. Ia menerima perlakuan yang penuh perhatian dan kehormatan dari Rasulullah Saw, suatu perlakuan yang bahkan tidak pernah ia rasakan dari ayah kandungnya sendiri. Anas merasakan keagungan akhlak Rasulullah dan sifat-sifatnya yang luar biasa yang menggetarkan hatinya. Anas tidak dapat menyembunyikan kekagumannya akan keutamaan moral dan kebaikan budi pekerti Rasulullah Saw. Ia merasakan kelembutan kasih sayang serta keadilan yang mengalir dari beliau. Anas merasa terpukau oleh kelembutan dan kehangatan cinta yang diberikan Rasulullah kepada semua orang di sekitarnya. Biarkanlah Anas sendiri yang berbagi beberapa pengalaman luar biasa yang dialaminya saat berada di bawah naungan Nabi yang penuh kasih dan adil.
Anas yang lebih memahami dengan kedalaman pengalaman pribadinya, merasa bahwa dialah yang lebih berhak untuk menceritakan kebaikan dan kebesaran hati Rasulullah. Dengan tulus Anas menyatakan bahwa Rasulullah adalah teladan utama dalam segi akhlak, memiliki hati yang paling luas, dan penuh dengan kasih sayang yang tak terbandingkan. Suatu hari Nabi mengutus Anas untuk menjalankan suatu tugas penting, namun Anas malah tergoda untuk bergabung untuk bermain dengan anak-anak di pasar. Dalam keceriaan bermainnya Anas tiba-tiba merasakan sentuhan di pundaknya, dan saat berpaling ia disambut dengan senyum lembut Rasulullah Saw. Dengan lembut Nabi bertanya kepada Anas, “Wahai Unais sudahkah kamu melakukan tugas yang telah aku perintahkan?” Dalam keheningan, Anas merasa malu karena kesalahannya dan dengan rendah hati ia menjawab, “Ya, wahai Rasulullah Saw saya akan segera menunaikan perintah Anda.” Anas dengan jujur mengakui bahwa selama sepuluh tahun pelayanannya kepada Rasulullah, beliau tidak pernah menegur atau menanyakan mengenai kesalahan yang pernah ia lakukan bahkan terkait dengan tugas yang sempat ditinggalkannya.
Rasulullah memberikan nasihat yang penuh hikmah kepada Anas, menyatakan, “Wahai anakku, jika kamu mampu menjaga hatimu dari kebencian terhadap orang lain di pagi dan sore hari, lakukanlah. Itu adalah salah satu dari sunnahku. Barangsiapa yang menjaga sunnahku, dia mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku, dia akan bersamaku di surga. Wahai anakku, ketika kamu masuk ke dalam rumahmu, sampaikanlah salam, karena itu akan membawa keberkahan bagi kamu dan keluargamu.” Menurut salah satu pendapat, Anas mulai melayani Rasulullah ketika usianya mencapai 14 tahun tidak seperti yang sering diceritakan bahwa ia memulai pelayanannya pada usia 10 tahun. Hal ini disebabkan oleh turut sertanya dalam Pertempuran Badar yang terjadi pada tahun kedua hijrah. Sejumlah riwayat juga menunjukkan bahwa usia minimal bagi seorang sahabat untuk ikut serta dalam pertempuran adalah 15 tahun ke atas.
Namun, menurut riwayat dari Abu Bakar bin Muhammad bin Muslim Ubaidillah bin Abdullah bin Syihal al-Qurasyi Az-Zuhri seorang ahli hadis, Anas bin Malik sendiri menyatakan bahwa ketika Rasulullah hijrah ke Madinah usianya adalah sepuluh tahun dan pada saat wafatnya Rasulullah Anas sudah mencapai usia dua puluh tahun. Keterdekatannya dengan Rasulullah membuatnya memiliki kesempatan yang luas untuk mendengarkan hadis secara langsung dari beliau. Anas juga tercatat meriwayatkan sejumlah hadis dari para sahabat Nabi lainnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan lain-lain. Dalam hal meriwayatkan hadis, Anas bin Malik menduduki peringkat ketiga di antara para sahabat. Sejumlah tokoh terkenal yang menerima hadis dari Anas bin Malik antara lain Ibnu Sirin, Abu Qatadah, dan Hasan Basri. Anas sendiri dikenal sebagai seorang yang memiliki hafalan yang kuat berada di urutan ketiga setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar bin Khattab.
Anas bin Malik menunjukkan kemahirannya dalam menulis setelah diserahkan kepada Nabi Muhammad Saw oleh ibunya, yang kemudian membuatnya aktif dalam menulis hadis. Menurut riwayat yang disampaikan oleh Yasir Abdul Wahhab bin Hibbatullah, melalui Abdullah bin Ahmad, dari Yazid Humahid at-Tawil Anas bin Malik, terdapat variasi dalam lamanya pelayanan Anas kepada Rasulullah Saw. Riwayat dari Isla’il bin Ubaidullah, melalui Abi Isa, dari Mahmud bin Gilan, dari Abu Dawud, dari Abu Khaldat, menyatakan bahwa Anas bin Malik melayani Rasulullah Saw selama sepuluh tahun. Riwayat lainnya menyebutkan bahwa Anas melayani Rasulullah Saw selama delapan tahun atau bahkan tujuh tahun. Rasulullah Saw menunjukkan perhatian yang besar kepada Anas bin Malik sebagaimana yang diceritakan dalam riwayat dari Ja’far al-Faryabi, melalui Ibrahim bin Usman, dari Mukhalid bin Hasan, dari Hisyam bin Hasan, dari Hafsah, yang mengutip langsung dari Anas sendiri.
Saat Ummu Sulaim al-Ansyariah, ibu Anas menyerahkan Anas kepada Rasulullah Saw dia berdoa agar Rasulullah Saw memberkati anaknya. Rasulullah Saw dengan tulus mengabulkan doa ibu Anas, memohon kepada Allah, “Ya Allah, anugerahkanlah kepadanya (Anas) kekayaan dan keturunan yang melimpah serta masukkanlah dia ke dalam surga.” Dalam versi riwayat lainnya, Rasulullah membacakan doa, “Ya Allah, berikanlah kepadanya (Anas) kekayaan dan keturunan yang melimpah serta berkahilah dia dengan kekayaan dan keturunan tersebut. “Sebagai pelayan Rasulullah Saw, Anas bin Malik sering menemani beliau dalam medan perang, seperti yang dicatat oleh Imam Bukhari melalui Musa bin Anas. Anas bergabung dengan Rasulullah Saw dalam delapan peperangan yang berbeda.
Berkat kedekatannya dengan Rasulullah Saw dan doa yang dipanjatkan oleh beliau kepada Allah Swt, Anas bin Malik diberkahi dengan rezeki yang melimpah. Dia mempunyai 2 kebun yang subur yang dalam setahun mampu panen dua kali. Allah juga memberikan berkah kepada Anas dengan memberinya keturunan yang banyak. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Anas memiliki 115 cucu, sementara yang lain mengatakan bahwa jumlah anaknya mencapai 82 termasuk 80 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, tidak ada informasi yang pasti tentang ibu dari keturunan tersebut, apakah Anas memiliki banyak istri atau sering menikah. Meskipun diberkati dengan kekayaan dan keturunan yang banyak, Anas tetap menjaga ketaatan dan ibadahnya kepada Allah SWT. Ia tetap tekun dalam melaksanakan ibadah, sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah, bahwa tidak ada yang meniru shalat Rasulullah Saw seperti yang dilakukan oleh Anas. Selain itu, Salah satu anak Anas bin Malik yang terkenal dalam penelitian Hadis dan Hukum Islam yaitu Malik bin Anas. Ia mendirikan Mazhab Maliki di Madinah. Seperti sang ayah, Malik bin Anas juga berperan aktif dalam analisis hadis dan salah satu karya terkemukanya yaitu Al-Muwattha’.
Pada akhir hayatnya, Anas bin Malik menetap di salah satu sudut kota Bashrah hingga mencapai usia lebih dari 100 tahun. Di sana ketika Anas jatuh sakit, ia terus meminta kepada mereka di sekitarnya untuk membantunya dalam membaca kalimat Laa ilaha illallah, menyatakan keyakinan pada keesaan Allah. Anas tidak henti-hentinya mengucapkan kalimat tauhid tersebut hingga saat ajalnya menjemput. Peristiwa mengharukan itu terjadi pada tahun 93 Hijriyah. Ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa Anas bin Malik adalah sahabat terakhir dari Nabi yang meninggal dunia. Namun, dalam riwayat lain ada juga yang mengatakan bahwa setelah Anas bin Malik masih ada satu sahabat Nabi lain yang masih hidup, yaitu Abu Thufail Amir bin Watsilah Al-Laitasi yang dikabarkan wafat pada tahun 100 Hijriyah.
Sumber Referensi
Abdur Rakib, Bashori Alwi, ‘Pemikiran Fiqh Imam Malik Bin Anas’, Jurnal Kajian Hukum Islam, 6.1 (2022), 1 <https://ejournal.unuja.ac.id/index.php/hakam/article/view/3505>
Yunan Muhammad, ‘Hadis tentang Silaturrahim Melapangkan Rezeki dalam Pendidikan Islam, 6.1 (2022)
Yusri, Ahmand Zaki dan Diyan, ‘Biografi Anas bin Malik’, Jurnal Ilmu Pendidikan, 7.2 (2020), 809–20
0 Comments