Kepada Siapa Aku Harus Memilih? antara Cinta dan Rasionalitas
Oleh: Muhammad Misbakhul Ulum
Menikah merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh agama, sebagaimana Allah telah berfirman dalam QS. An-Nur ayat 32 yang berbunyi: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Menikah merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia, di mana secara fungsional manusia memiliki misi regenerasi untuk menjaga garis keturunan, di mana hal tersebut juga termasuk dalam maqashid al-syaria’ah yaitu hifdzu al-nasl. Senada dengan hal tersebut rasulullah juga bersabda dalam sebuah hadis yang berbunyi: “Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.” (HR. Al-Baihaqi no. VII/78).
Ketika seseorang telah memasuki usia dewasa, dia akan mulai berpikir untuk menikah. Dia akan mulai mempersiapkan modal baik berupa materi maupun non materi guna menunjang pernikahannya kelak, misalnya saja biaya pernikahan mulai dari untuk mahar dan biaya resepsi dan lain sebagainya, bahkan mempersiapkan rumah, kendaraan, dan lain-lain guna menunjang kebahagiaan pernikahannya kelak. Akan tetapi, di luar semua itu ada satu hal terpenting yang harus dipikirkan secara matang-matang dan penuh dengan pertimbangan, yaitu menentukan dengan siapakah kamu akan menikah. Mengapa penting? Ketahuilah bahwa seorang istri adalah penentu kebahagiaan sebuah keluarga baik di Dunia dan di Akhirat. Maka dari itu harus dengan selektif karena memilih pasangan tentu bukanlah hal yang mudah, bukan seperti membalikkan telapak tangan.
Istri adalah seorang wanita yang kelak akan menjadi ibu bagi anak-anak kita, Di tangan ibu keberhasilan pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikutsertaan seorang ayah tidak dapat diabaikan begitu saja. Ibu memainkan peran yang penting di dalam mendidik anak-anaknya, karena pada dasarnya ibu adalah madrasatul ula bagi anak-anaknya. Peranan ibu di dalam mendidik anaknya dibedakan menjadi tiga tugas penting, yaitu: Ibu yang selalu menyediakan kebutuhan anak-anak, ibu sebagai teladan atau “model” peniruan anak, ibu sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak.
Lantas bagaimanakah untuk memilih seorang istri? Apakah harus dengan cinta? Ataukah dengan rasio? Kedua pertanyaan ini tentu sangat dilema. Karena kenyataan tidak selalu menyuguhkan kita untuk bisa memilih keduanya, maka dari itu jika dihadapkan dengan pilihan tersebut, rasiolah yang harus kita pilih. Kita harus rasional dalam memilih seorang istri, jangan mengutamakan ego kita, cinta itu nomor dua, rasio tetap yang utama. Sebagaimana kita tahu bahwa agama Islam adalah agama yang sangat rasional, termasuk dalam hal menentukan kriteria seorang istri, sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw, beliau memberikan kriteria dalam memilih seseorang istri, beliau bersabda : “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Muslim). dalam hadis tersebut Rasulullah menekankan kepada kaum muslimin bahwa kriteria terpenting dalam memilih seorang istri adalah agamanya. Hadis yang lain, beliau juga bersabda: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur. Karena aku berbangga dengan banyaknya umatku.” (HR Abu Dawud), dan masih banyak hadis yang lain.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab beliau Fathul Mu’in bahkan secara rinci menjelaskan karakteristik wanita untuk bisa dipilih menjadi seorang istri. Pertama, agama, dikarenakan wanita yang agamanya bagus karena di dalamnya kan ditemukan sifat keadilan dan janganlah menikahi wanita yang fasiqah. Kenapa penyebutan agama dalam hadis tersebut diakhirkan?. Ini seharusnya kita pertanyakan, kenapa ? karena agama adalah hal terpenting yang harus diutamakan ketika memilih calon istri? Karena pada kenyataannya hanya sedikit dari kaum laki-laki yang memilih wanita dari agamanya. Rasulullah saw bersabda “Tidak ada hal yang paling bermanfaat bagi seorang mukmin setelah takwa kepada Allah selain wanita salihah, jika diperintah, ia menaatinya, jika dipandang, ia membuatnya bahagia/senang, jika bersumpah, ia memenuhi sumpahnya, jika ditinggal suaminya, ia menjaga diri dan harta suaminya”.
Kedua, nasab atau keturunan, seseorang yang akan menikah harus tahu asal usul pasangannya, dan akan lebih baik jika calon pasangannya adalah keturunan orang alim dan orang saleh.
Ketiga, kecantikannya, wanita yang cantik lebih utama untuk dijadikan istri, karena sebaik-baiknya wanita adalah wanita yang menyenangkan hati ketika dilihat. Tidak masalah jika seorang lelaki memilih wanita karena wanita tersebut cantik, yang tidak pantas adalah menyukai seorang wanita hanya karena kecantikannya. Namun jika hanya memandang kecantikan wanita itu sebagai patokan pilihannya. Hal seperti inilah yang sangat tidak dianjurkan, karena kalau hanya memandang sebuah kecantikan maka hal itu tidak akan berguna untuk kaum laki-laki di kemudian hari, karena bisa jadi wanita cantik tersebut malah menyusahkan kita, tidak dapat mendidik anak, menyebarkan aib suami, suka gibah, dan bisa jadi kecantikannya tersebut dipergunakan untuk menggoda lelaki lainnya selain suaminya. Sungguh, kecantikannya malah membawa musibah buat kamu laki-laki. Semakin jauh usia pernikahan berjalan maka kecantikan/ketampanan pun akan semakin ditinggalkan, yang tersisa di kemudian hari adalah sifat dan akhlak. Jika kecantikan habis ditelan waktu, maka agama yang akan tetap bertahan. Jika seorang wanita tidak memiliki agama, lalu apa yang dapat dibanggakan setelah kecantikannya memudar?
Keempat, kerabat jauh, dikarenakan jika menikah dengan kerabat dekat keturunannya akan kurang sehat. Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa jika ada pertalian darah, besar kemungkinan persamaan genetik atau DNA semakin besar. Rata-rata persamaan DNA manusia dari persatuan sepupu adalah: 12,5% pada persatuan sepupu pertama, 3,13% pada persatuan sepupu kedua, 0,78% pada persatuan sepupu ketiga, 0,20% pada persatuan sepupu keempat, 0,05% pada persatuan sepupu kelima, dan 0,01% pada persatuan sepupu keenam. Pada persatuan sepupu ketujuh, hubungan genetik yang dimiliki manusia sudah tak berarti sama sekali. Semakin besar persamaan genetik, masalah yang muncul pun akan semakin besar pula. Dalam artikel Popular Science dijelaskan, perbedaan materi genetik akan membantu melindungi seseorang dari penyakit tertentu. Misalnya, jika ada seorang pria memiliki kerentanan terhadap penyakit tertentu, perempuan yang memiliki susunan gen berbeda bisa membantu mencegah penyakit tersebut agar tak muncul pada keturunan mereka. ketika ayah dan ibu memiliki DNA serupa. Akibatnya, 4 sampai 7 persen anak-anak yang lahir dari pernikahan dengan sepupu pertama bisa memiliki cacat lahir.
Kelima, perawan, karena sesungguhnya perawan itu lebih baik daripada janda. sebagaimana disebut dalam riwayat al-Bukhari no. 2.745, Rasulullah saw bersabda: “…dari Jabir ibn ‘Abd Allah RA. berkata; …Jabir berkata: Aku katakan: “Wahai Rasulullah, aku mau nikah.” Lalu aku meminta izin kepada Beliau dan Beliau mengizinkan aku. ”Lalu aku mendahului orang-orang menuju Madinah hingga ketika aku sudah sampai di Madinah aku menemui pamanku (saudara laki-laki ibu) lalu dia bertanya kepadaku tentang unta maka aku beritahu apa yang sudah aku lakukan dengan unta tersebut dan dia mencelaku.” Jabir berkata: “Rasulullah Saw berkata kepadaku ketika aku meminta izin untuk menikah: “Kamu menikahi seorang gadis atau janda?” Aku jawab; “Aku menikahi seorang janda.” Beliau berkata: “Mengapa kamu tidak menikahi gadis sehingga kau dapat bercengkerama dengannya dan dia pun dapat bercengkerama dengan kamu.” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, bapakku telah meninggal dunia atau mati syahid dan aku memiliki saudara-saudara perempuan yang masih kecil-kecil dan aku khawatir bila aku menikahi gadis yang usianya sebaya dengan mereka dia tidak dapat membimbing mereka dan tidak dapat bersikap tegas terhadap mereka hingga akhirnya aku menikahi seorang janda agar dia dapat bersikap tegas dan membimbing mereka.”
Keenam, wanita yang subur, sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw. dalam Sunan al-Nasa’i no. 3.175 “… dari Ma’qil ibn Yasar, ia berkata; telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw dan berkata sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang memiliki kedudukan dan harta hanya saja ia mandul, apakah aku boleh menikahinya? Maka beliau melarangnya, kemudian ia mendatangi beliau untuk kedua kalinya dan beliau melarangnya, kemudian ia mendatangi beliau ketiga kalinya, lalu beliau melarangnya dan bersabda: “Nikahilah wanita yang subur dan pengasih, karena aku bangga dengan banyak anak kalian.”,
Ketujuh, cerdas dan berakhlak. sebagaimana dalam Sahih Muslim no.2.668: dari ‘Abdullah ibn ‘Amr bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita solehah.”
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa agama Islam dalam memilih istri atau pasangan menginstruksikan untuk mengutamakan rasio dibandingkan dengan ego, mengutamakan pertimbangan daripada perasaan. Dalam pernikahan cinta memang dibutuhkan, namun dalam memilih pasangan rasiolah yang diutamakan, sebagaimana maqalah masyarakat Jawa bahwa untuk memilih pasangan harus memperhatikan bibit, bobot dan bebetnya. Cinta akan terbentuk dengan sendirinya oleh relasi suami istri yang dibangun atas dasar iman dan takwa, namun cinta akan lenyap jika tidak ada iman dan takwa di dalamnya.
0 Comments