Oleh
Lalu Imron Rosyadi
Abstrak
Korupsi merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara, tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak tatanan moral, sosial, dan ekonomi. Dalam perspektif Islam, korupsi termasuk tindak pidana yang diatur dalam fiqh jinayah dengan tujuan melindungi hak individu dan menjaga keseimbangan masyarakat. Tulisan ini menelaah pemikiran Asy-Sya’rawi, seorang ulama dan mufassir ternama, terkait tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dengan praktik korupsi, termasuk pencurian, hirabah, dan harta haram. Hasil kajian menunjukkan bahwa Asy-Sya’rawi menekankan pentingnya keadilan, transparansi, dan kesempatan bertobat bagi pelaku, sehingga hukum tidak hanya bersifat sanksi, tetapi juga sarana pendidikan moral. Penelitian ini menegaskan bahwa prinsip-prinsip Islam menuntun umat untuk menegakkan keadilan, memelihara hak orang lain, dan menjaga keseimbangan sosial, serta memberikan pedoman untuk mencegah praktik korupsi modern agar masyarakat tetap harmonis dan sejahtera.
Kata Kunci: Korupsi, Asy-Sya’rawi, Keadilan.
Pendahuluan
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “corruption” dalam bahasa Inggris dan “corruptive” dalam bahasa Belanda, yang secara harfiah berarti perbuatan rusak, busuk, atau tidak jujur, terutama terkait keuangan. Dalam perspektif Islam, korupsi termasuk kajian fiqh jinayah dan tergolong tindak pidana, karena fiqh jinayah merupakan ilmu praktis yang menetapkan hukum syariat berdasarkan analisis rinci seorang mujtahid terhadap dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits (Karim, 2023).
Korupsi tetap menjadi kejahatan yang sulit diberantas karena merugikan negara dan masyarakat, dengan cara yang terus berkembang seiring teknologi. Di Indonesia, kasus besar seperti PT Asabri, Jiwasraya, Bank Century, Pelindo II, BLBI, E-KTP, dan Hambalang menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi fenomena turun-temurun, bahkan sejarah VOC pun memperlihatkan dampak penyalahgunaan kekuasaan. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, korupsi adalah perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan negara, termasuk gratifikasi yang terkait jabatan, dengan pidana 4–20 tahun dan denda Rp200 juta–1 miliar. Dampaknya meliputi kemiskinan, kesenjangan sosial, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan terganggunya lapangan kerja, sementara KPK mencatat ribuan kasus dengan klasifikasi dari gurem hingga kakap (Karim, 2023).
Pemahaman tentang korupsi dalam perspektif Islam tidak hanya sebatas definisi hukum atau pidana, tetapi juga terkait nilai moral, sosial, dan ekonomi yang lebih luas. Dalam konteks ini, pemikiran para ulama dan cendekiawan Islam menjadi penting sebagai rujukan untuk memahami prinsip-prinsip keadilan dan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu tokoh yang memberikan kontribusi besar adalah Asy-Sya’rawi, seorang ulama dan mufassir yang menekankan perlindungan hak individu, keseimbangan sosial, serta pendidikan moral melalui tafsir Al-Qur’an. Dengan menelaah perjalanan hidup, pendidikan, dan pandangan beliau tentang hukum Islam, khususnya mengenai pencurian, hirabah, dan harta haram, kita dapat memahami bagaimana ajaran Islam memberikan pedoman konkret untuk mencegah praktik korupsi, menegakkan keadilan, dan menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pembahasan berikut akan menyoroti biografi Asy-Sya’rawi sekaligus penafsiran beliau terkait ayat-ayat yang relevan dengan fenomena korupsi.
Pembahasan
- Biografi
Asy-Sya’rawi lahir di Daqadus, Mait Ghamr, Provinsi Daqahliyah, pada 17 Rabi’ al-Thani 1329 H. Sejak kecil beliau menekuni ilmu agama dan berhasil menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan Syekh ‘Abd al-Majid Pasha pada usia 11 tahun (Rahmawati, 2022).
Pendidikan formalnya dimulai di Al-Azhar Zaqaziq, kemudian melanjutkan studi Bahasa Arab hingga meraih gelar Alimiyat. Beliau juga menempuh Dirasah ‘Ulya, mendalami beragam bidang kependidikan, termasuk sejarah, psikologi, manajemen pendidikan, serta pendidikan jasmani dan Rohani (Rahmawati, 2022).
Karier mengajarnya dimulai pada tahun 1951 di Mahad Al-Azhar di berbagai kota Mesir, kemudian mengajar di Universitas Malik Abdul Aziz Makkah pada jurusan Tafsir dan Hadis. Beliau juga menjabat Mudir Da’wah Islamiyyah di Kementerian Perwakafan (1961) dan kepala perpustakaan Al-Azhar (Rahmawati, 2022).
Asy-Sya’rawi dikenal luas melalui dakwahnya di televisi Mesir sejak 1973, terutama tafsir setiap malam Jumat. Ia sempat menjabat Menteri Perwakafan Mesir (1976–1978) namun lebih memilih fokus berdakwah dan mengabdi kepada Allah. Beliau juga aktif menyebarkan dakwah ke berbagai negara seperti India, Pakistan, Amerika Serikat, dan Kanada (Rahmawati, 2022).
Beliau wafat pada 17 Juni 1998 M. pada usia 87 tahun dan dimakamkan di Desa Daqadus, meninggalkan warisan ilmu dan dakwah yang mendalam bagi umat Islam (Rahmawati, 2022).
- Penafsiran tentang Ayat Korupsi
a. Tafsir As-Sariqah dalam QS. Al-Maidah ayat 38
Asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa ayat tentang pencurian ({والسارق والسارقة …}) bertujuan melindungi hasil usaha manusia. Jika seseorang bekerja keras untuk mendapatkan harta halal, tetapi hasil jerih payahnya diambil oleh orang lain, hal itu akan membuat manusia enggan bekerja. Akibatnya, pergerakan masyarakat akan terhenti. Oleh karena itu, Allah menegaskan agar hasil usaha seseorang dijaga, dan pergerakan kehidupan tetap berjalan sesuai syariat.
Dalam penjelasannya, Asy-Sya’rawi memberi contoh bagaimana Allah menggerakkan manusia melalui dorongan batin atau “khawatir”. Misalnya, seorang kaya ingin membangun gedung, dan berkat ide dan dorongan batin tersebut, orang lain akan terlibat dalam pembangunan sehingga uang yang tadinya tersimpan akan berputar dan bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan manusia dan peredaran harta adalah bagian dari takdir Allah yang menyelaraskan kepentingan sosial dan ekonomi.
Dalam Islam, setiap individu dianjurkan mendapatkan penghidupan melalui usaha sendiri. Bagi yang tidak mampu bekerja, tanggung jawab berpindah kepada keluarga atau masyarakat, dan jika tidak ada, maka Baitul Mal menanggung kebutuhan mereka. Rasulullah ﷺ memberikan contoh konkret ketika beliau memandu seorang lelaki untuk berdagang barang miliknya sendiri agar memperoleh penghidupan yang halal dan bermanfaat. Prinsip ini menekankan pentingnya kemandirian dan produktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Asy-Sya’rawi juga membedakan antara pencurian, penggelapan, pemaksaan, dan perampokan. Pencurian adalah mengambil harta secara tersembunyi dari tempat aman, sedangkan bentuk lain memiliki karakteristik berbeda. Hukum Islam menetapkan batas minimal (nisab) untuk pencurian agar tetap proporsional dengan kebutuhan manusia. Hukuman ini bersifat preventif (nekala), bertujuan mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama, bukan sebagai pembalasan dendam. Dengan demikian, hukum ini menjaga keadilan dan ketertiban masyarakat secara menyeluruh.
Dalam sejarah, hukuman potong tangan juga diterapkan sebagai peringatan. Seperti dijelaskan oleh Asy-Sya’rawi, penerapan hukum ini mencegah kejahatan dan menjaga keseimbangan masyarakat. Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah adalah {عزيز حكيم}, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, yang mengatur hukuman dengan adil sehingga setiap tindakan manusia terukur dalam sistem kehidupan yang harmonis.
Selain itu, Asy-Sya’rawi menekankan pentingnya tobat bagi pelaku pencurian. Tobat harus disertai niat memperbaiki kesalahan, mengembalikan harta jika memungkinkan, atau bersedekah sebagai ganti jika tidak mengetahui pemiliknya. Allah menerima tobat orang yang sungguh-sungguh dan mengampuni dosa mereka, sebagaimana firman-Nya: {فَإِنَّ الله يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ الله غَفُورٌ رَّحيمٌ}. Dengan demikian, hukum tidak hanya bersifat hukuman fisik, tetapi juga menjadi sarana pendidikan moral bagi individu dan masyarakat.
Dari penafsiran Asy-Sya’rawi, dapat dipahami bahwa ayat tentang pencurian bukan sekadar tentang hukuman fisik, tetapi terkait perlindungan hak individu, keseimbangan sosial, dan pendidikan moral. Allah memberikan pedoman agar masyarakat tetap produktif, keadilan ditegakkan, dan kesempatan untuk tobat selalu terbuka bagi setiap pelaku kesalahan. Hukum Allah bersifat adil, bijaksana, dan menjaga harmoni kehidupan manusia dengan cara yang seimbang dan penuh hikmah.
b. Tafsir Hirabah dalam QS. Al-Maidah ayat 33
Asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa ayat QS. Al-Maidah 33 menegaskan bahwa awal dari setiap peperangan manusia adalah keinginan untuk menguasai harta atau milik pihak lain. Dengan kata lain, perang lahir dari keserakahan dan ambisi untuk merampas hak orang lain. Dalam konteks ini, orang yang “memerangi Allah” artinya bukan ingin merebut kekuasaan-Nya secara literal, karena milik Allah tetap abadi, tetapi mereka mencoba menyelewengkan hukum dan peraturan Allah, yakni mengambil hak Allah dalam menetapkan hukum dan norma yang menjaga keseimbangan manusia.
Perbuatan seperti ini, menurut Asy-Sya’rawi, merupakan perang pertama terhadap Allah, karena manusia mencoba mengesampingkan aturan Ilahi dan membuat hukum sendiri. Hal ini mirip dengan praktik korupsi: ketika seseorang membuat atau menafsirkan aturan demi kepentingan pribadi, ia sesungguhnya mengambil alih hak Allah untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat.
Selanjutnya, Asy-Sya’rawi menegaskan peran Rasulullah SAW. Rasul adalah representasi dari hukum dan kehendak Allah yang nyata bagi manusia. Serangan terhadap Rasul, baik berupa penolakan ajaran maupun pelecehan terhadap sunnahnya, sama artinya dengan menentang hukum Allah. Contohnya, orang yang menambah atau mengurangi peraturan agama untuk kepentingan pribadi sesungguhnya menyerang tatanan hukum yang telah ditetapkan Allah. Dalam konteks modern, ini sebanding dengan pejabat atau pelaku korupsi yang mengubah atau memanipulasi peraturan untuk keuntungan diri sendiri, sehingga merugikan masyarakat luas.
Asy-Sya’rawi menekankan pentingnya menjaga kewajiban mengikuti syariat Rasulullah SAW sebagai bentuk menghormati hak Allah dalam legislasi. Praktik meninggalkan sunnah, menolak ijma’ atau fatwa para ulama, atau menyelewengkan hukum untuk kepentingan pribadi adalah bentuk “hirabah” dalam tatanan sosial, karena menimbulkan kerusakan (fasad) di bumi, baik moral maupun ekonomi. Dalam konteks korupsi, perilaku ini tercermin ketika pejabat atau individu menyalahgunakan jabatan, merugikan negara, atau menipu masyarakat untuk keuntungan pribadi.
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bentuk hukuman bagi pelaku hirabah: membunuh, menyalib, memotong tangan dan kaki, atau menyingkirkan dari tempat mereka tinggal. Hukuman ini bertujuan menghentikan kerusakan dan menegakkan keadilan. Dalam korupsi, konsep ini bisa dipahami sebagai penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, agar tidak merusak sistem sosial dan ekonomi. Hukuman di dunia bersifat proporsional dengan kemampuan manusia, sementara balasan di akhirat bersifat pasti dan besar bagi pelaku kejahatan.
Asy-Sya’rawi juga menekankan bahwa fasad atau kerusakan di bumi tidak hanya terkait fisik, tapi bisa berupa pengambilalihan hak orang lain, teror psikologis, atau penyelewengan kekuasaan. Dalam korupsi, ini berarti bahwa meskipun seorang pejabat tidak melakukan kekerasan fisik, mengambil uang rakyat atau memanipulasi sumber daya publik sudah termasuk hirabah karena merusak kesejahteraan masyarakat dan menyalahi hukum Allah.
Dengan demikian, tafsir Asy-Sya’rawi mengingatkan bahwa setiap upaya untuk menyelewengkan hukum, merampas hak orang lain, atau merusak tatanan sosial—baik melalui kekerasan fisik maupun korupsi—adalah bentuk memerangi Allah dan Rasul-Nya, yang berakibat pada kerusakan dunia dan hukuman di akhirat. Oleh karena itu, menegakkan hukum, transparansi, dan keadilan menjadi langkah penting untuk mencegah praktik hirabah modern seperti korupsi.
c. Tafsir As-Suht dalam QS. Al-Maidah ayat 42
Asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa dalam bahasa, kata-kata harus dipahami maknanya secara mandiri sebelum dikaitkan dengan sesuatu. Misalnya kata السحت, yang berarti harta yang diperoleh secara haram. Harta haram ini bisa berupa riba, suap, pencurian, atau penyelewengan—semua perbuatan yang hari ini disebut korupsi. Dengan memahami makna kata terlebih dahulu, kita bisa mengerti mengapa Allah menyebut orang-orang yang terlibat سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ.
Orang yang mendengar kebohongan (سماعون للكذب) dan memakan harta haram (أكل السحت) membangun karakternya sedemikian rupa sehingga menjadi terbiasa dengan praktik curang dan menipu. Ini paralel dengan perilaku koruptor: mereka mendengar kebohongan atau manipulasi informasi, lalu menyerap keuntungan dari hal-hal yang tidak halal, membentuk pola pikir dan perilaku yang sistematis dalam korupsi.
Asy-Sya’rawi menekankan bahwa konsumsi harta haram tidak hanya merusak moral individu, tapi juga menciptakan ketidakseimbangan sosial dan struktural, karena hak-hak orang lain dirampas. Analogi alam yang digunakan Asy-Sya’rawi—busa yang muncul di permukaan air saat hujan turun—menunjukkan bahwa batil (dalam hal ini korupsi) terlihat menonjol di masyarakat, tetapi pada akhirnya tidak membawa manfaat. Sebaliknya, harta yang halal dan usaha yang jujur tetap memberi manfaat dan kekuatan bagi masyarakat.
Rasulullah diberi pilihan dalam menghadapi orang-orang yang mendengar kebohongan dan memakan harta haram: {فَإِن جَآءُوكَ فاحكم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ …}. Dalam konteks korupsi, hal ini menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang adil dan tegas: seorang pemimpin bisa menegakkan hukum untuk menghentikan praktik korupsi atau mengabaikan mereka yang mencari keuntungan secara haram tanpa keadilan, karena yang merusak adalah mereka sendiri.
Hukum yang diterapkan haruslah adil (القسط): {فاحكم بَيْنَهُمْ بالقسط إِنَّ الله يُحِبُّ المقسطين}. Keadilan berarti menghentikan praktik korupsi, mengembalikan hak yang dirampas, dan menegakkan keseimbangan antara manusia dan masyarakat. Keadilan adalah cara untuk meniru keseimbangan alam yang Allah ciptakan—dari peredaran benda langit hingga hukum sosial manusia.
Dengan kata lain, korupsi adalah bentuk السحت yang merusak tatanan individu, sosial, dan ekonomi. Mereka yang terbiasa dengan kebohongan dan harta haram akan kehilangan kemampuan menilai kebenaran, sama seperti ayat tersebut menjelaskan: mereka menjadi pendengar kebohongan dan pemakan harta haram. Maka, menegakkan keadilan dan transparansi adalah cara untuk menegakkan keseimbangan yang telah Allah tetapkan dalam alam dan masyarakat.
Kesimpulan
Korupsi merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara, tidak hanya melanggar hukum tetapi juga merusak tatanan moral, sosial, dan ekonomi. Dalam perspektif Islam, korupsi termasuk tindak pidana yang diatur dalam fiqh jinayah, dengan tujuan melindungi hak individu dan menjaga keseimbangan masyarakat. Tafsir Asy-Sya’rawi menegaskan bahwa tindakan seperti pencurian, hirabah, dan mengonsumsi harta haram bukan sekadar pelanggaran fisik, tetapi merupakan bentuk perlawanan terhadap hukum Allah yang merusak harmoni kehidupan. Beliau menekankan pentingnya keadilan, transparansi, dan kesempatan untuk bertobat bagi pelaku, sehingga hukum tidak hanya menjadi sanksi, tetapi juga sarana pendidikan moral bagi masyarakat. Dari perjalanan hidup dan pemikirannya terlihat bahwa Islam menuntun umat untuk menegakkan keadilan, memelihara hak orang lain, dan menjaga produktivitas serta keseimbangan sosial. Praktik korupsi modern adalah manifestasi dari pelanggaran prinsip-prinsip ini, sehingga menegakkan hukum, mempromosikan etika, dan menerapkan keadilan menjadi langkah utama untuk mencegah kerusakan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat tetap harmonis dan sejahtera.
Referensi
Asy-Sya’rawi. “Tafsir Asy-Sya’rawi”. Diperoleh dari https://shamela.ws/book/1083. Diakses pada 17.20/09/12/2025.
Karim, D.A. 2023. Pidana Korupsi dalam Tafsir Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an Karya Al-Qurthubi. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 8(2). DOI: 10.30868/at.v8i02.5328.
Rahmawati, J. 2022. Kontribusi Asy-Sya’rawi terhadap Perkembangan Tafsir (Kajian terhadap Kitab Tafsir Asy-Sya’rawi). Al-Mustafid: Jurnal of Quran and Hadits Studies, 1(1). Website: https://ejournal.iain-manado.ac.id/index.php/mustafid
Identitas Penulis
Lalu Imron Rosyadi adalah mahasiswa semester tujuh Program Studi Pendidikan Bahasa Arab UIN Malang dan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia memiliki pengalaman organisasi yang beragam, antara lain di Departemen Sosial dan Keagamaan DEMA FITK UIN Malang (2025), Divisi Intelektual Forum Studi dan Komunikasi Mahasiswa Lombok (2023–2024), FORGES, serta Departemen Pengembangan SDM Forum Gerakan Mahasiswa Sakra (FGMS).
Ia pernah mengikuti KKN Nusantara 2025 di Padukuhan Ngipikrejo II, Yogyakarta, dan menjabat sebagai Direktur pertama komunitas STOA UIN Malang. Selain aktif berorganisasi, ia juga produktif menulis. Salah satu karyanya yang dimuat di Buletin Al-Anwar berjudul “Etika Politik dan Moderasi Bernegara Perspektif KH. Ali Maksum: Fondasi Kebangsaan Berbasis Pesantren.”
