Mitos Bulan Shafar: Bijak Menyikapi Persepsi Kesialan Pernikahan di Bulan Shafar Berdasarkan Kisah Nabi Muhammad SAW

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Nisa’atun Nafisah, S.Pd

Tragedi yang telah lekat dan sering menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia adalah mengeramatkan suatu peristiwa atau kepercayaan yang telah turun temurun, yang dikenal dengan istilah mitos. Sebagaimana mitos yang masyhur: (1) Jika ia makan buah pisang kembar (yang berdempet), ia akan melahirkan anak yang kembar, (2) makan makanan yang pedas akan membuat janin kepanasan, (3) tidak boleh duduk di depan pintu karena akan menyulitkan proses persalinan saat melahirkan, dan (4) menahan selera makan saat hamil akan membuat bayi yang dilahirkan mengiler/ngences (Nasrimi, 2021).

Kepercayaan tentang mitos ini sudah menjadi bagian dari proses kehidupan umat manusia dari zaman ke zaman. Di mana untuk menolak dan menjauhkan diri dari mara bahaya mitos tersebut tidak perlu mendekatkan diri kepada Tuhan, namun dengan membuat sesaji untuk memanjatkan segala puja dan puji. Sebagaimana sebuah contoh apabila ingin membangun bangunan yang kokoh maka harus menanam kepala kerbau, agar tidak terjadi bencana dan tsunami harus menyedekahkan nasi kuning untuk laut dan bumi. Di mana kepercayaan tersebut turun temurun sampai sekarang dari nenek moyang kita terdahulu.

Namun, mitos tidak dapat terus relevan dengan kondisi dan kebutuhan generasi saat ini. Sebab pikiran generasi modern kini beralih kepada pikiran yang positivistik dan ilmiah. Segala pemikiran dapat dipercaya apabila sesuai dengan rasionalitas dan fakta empiris di lapangan. Begitu pun fakta tentang pernikahan yang bisa batal karena dirundung mitos. Padahal jika sudah sesuai dengan syariat Islam dan saling sepakat menuju pernikahan maka sesuai hadis Nabi riwayat  Ibnu  Majah yaitu  tidak  ada solusi terbaik terhadap dua insan yang saling mencintai kecuali menikah. Dan di dalam pernikahan tersebut tidak lain adalah konsep memadu cinta dalam arti yang sebenarnya.

Berbanding terbalik jika telah tertabrak oleh kepercayaan beberapa masyarakat mengenai sebuah bulan yang buruk dijadikan sebagai waktu pelaksanaan pernikahan, yaitu bulan Shafar. Mitosnya pernikahan pada bulan Shafar bisa menyebabkan kesialan dan berujung perceraian dalam pernikahannya. Sehingga hal ini dapat berujung urungnya niat baik merajut pernikahan bahkan sampai permusuhan kedua belah pihak keluarga karena berbeda kepercayaan. Ini merupakan problematika yang perlu diberikan sebuah solusi dan dikaji agar tidak merugikan kedua keluarga dan mengorbankan perasaan kedua belah pihak pasangan.

Tersebarnya mitos kesialan bulan Shafar ini telah turun temurun sejak zaman jahiliyah. Masyarakat mempercayai kandungan tertentu pada bulan Shafar adalah berdasarkan penyampaian para tokoh agama sehingga terjadi proses sugesti dan peniruan perilaku (modelling) (Faridah, siti & Mubarok, 2012). Realitanya bulan Shafar sendiri tidak memiliki suatu kekhususan seperti kesialan atau keistimewaan yang berlebih. Namun, munculnya kepercayaan atas kesialan bulan Shafar telah turun temurun dari bangsa Arab sejak zaman Jahiliyah. Warisan tradisi ini telah turun temurun hingga sekarang yang motivasinya tidak lain adalah untuk memperoleh keselamatan dan menghindari kemafsadatan.

Pernikahan di bulan Shafar juga dilangsungkan oleh Nabi Agung Nabi Muhammad SAW dengan wanita paling mulia di bumi ini yaitu Sayyidatina Khadijah, di mana pernikahan beliau penuh dengan keberkahan dan kemuliaan. Bahkan Putri Beliau Sayyidatina Fatimah Az-zahrah dengan Ali bin Abi Thalib juga terjadi di bulan Shafar. Itu telah menjadi sebuah bukti bahwa yang menjadi problematika bukanlah bulan Shafarnya akan tetapi niat dari pelaku yang dilakukan pada bulan Shafar. Oleh sebab itulah kenapa mengkaji tentang mitos pernikahan di bulan Shafar begitu penting, dikarenakan Shafar menjadi bulan yang akan berlangsung setiap tahunnya, sedangkan mitos yang berkembang dan tidak sesuai realita akan berdampak pada kemusyrikan karena tidak sesuai dengan akidah Islam, sehingga diharapkan masyarakat bisa lebih bijak dan berhati-hati dalam menyikapi setiap kejadian ataupun mitos yang terjadi

Paradigma Mitos Zaman Dulu dan Zaman Now

Banyak kejadian di alam semesta ini yang telah dipelintir maknanya oleh sebagian besar masyarakat sehingga muncul kata mitos. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2011: 749) mitos merupakan cerita suatu bangsa tentang dewa-dewa dan pahlawan-pahlawan pada zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri dan mengandung arti yang mendalam yang diungkap secara gaib. Sebagaimana keyakinan orang Yunani terhadap pelangi. Masyarakat tradisional Yunani menganggap pelangi dewi yang ditugaskan sebagai pelayan bagi para dewa lainnya. Tetapi bagi mereka yang sudah berpikir maju mengistilahkan pelangi sebagai kejadian alam yang diciptakan Tuhan yang disebabkan oleh cahaya matahari yang menembus tetesan atau butiran air di mana ia mampu memantul ke arah yang berlainan. Kemudian, warna-warna tersebut memantul ke setiap arah pada gelombang cahaya sehingga terbentuklah pelangi.

Pada masa Nabi Muhammad SAW pernah timbul mitos yang berhubungan dengan gerhana. Munculnya gerhana ini bersamaan dengan kematian putranya Ibrahim bin Muhammad yang baru berumur 16 bulan, lantas hal tersebut menciptakan mitos bahwa munculnya gerhana Matahari merupakan mukjizat atau tanda Matahari pun turut bersedih atas wafatnya putra Nabi Muhammad SAW (Djamaluddin, 2005:129). Setelah kejadian itu Nabi mengajak umatnya untuk melaksanakan salat gerhana Matahari, kemudian beliau menjelaskan di dalam khutbahnya bahwa peristiwa gerhana itu merupakan kebesaran Allah yang bersifat alamiah dari alam serta tidak ada kaitannya dengan kematian dan hidup seseorang.

Kasus mitos juga terjadi di daerah Sragen Jawa Tengah yaitu Ritual seks di Gunung Kemukus, yang dikenal dengan ritual “ngalap berkah”. Sebagian warga di sana beroperasi dengan membuka warung-warung yang menyediakan perempuan siap saji untuk melayani para peziarah. Kepercayaan tentang ritual seks yang dilakukan dengan sesama peziarah merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan sebagai bentuk menjalankan perintah dari Pangeran Samudro (Widiani, Desti & Jiyanto, 2019). Tindakan ini memunculkan paradigma negatif yang berkembang karena jika ingin permohonannya terkabul maka peziarah harus melakukan ritual hubungan badan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya selama 7 kali dalam satu ruangan. Inilah mitos yang tidak sesuai degan syariat Islam. Sebab, istilah ziarah yang biasanya identik dengan melakukan wirid dan doa yang baik telah disalahgunakan oleh masyarakat menjadi praktik prostitusi.

Banyaknya mitos yang tengah beredar di masyarakat kita memanglah tidak bisa dihentikan sebab jumlah kejadian dan intensitas penyebarannya sudah sangat meluas. Meskipun pada dasarnya tujuan dari orang-orang terdahulu menciptakan segala macam mitos adalah agar manusia lebih berhati-hati lagi dalam menjalani kehidupan. Namun, tidak sepenuhnya mitos dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat kita saat ini. Mungkin jika zaman dahulu mitos dipercaya karena menghindari suatu kejadian buruk yang tidak diinginkan karena sedikitnya pengetahuan dan alat yang tersedia, maka di era saat ini masyarakat harus lebih kritis memilih dan memilah kepercayaan yang dapat merugikan masyarakat dengan sebuah keniscayaan yang kongkret wujud kemanfaatannya.

Mitos Kesialan Pernikahan di Bulan Shafar

Bulan Shafar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah setelah bulan Muharram. Menurut Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) penamaan bulan Shafar yang artinya “sepi” atau “sunyi” dan juga tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu dimana pada bulan Shafar orang Arab selalu sepi.  Menurut Ibnu Manzhur (wafat 771 H), alasan yang mendasar di balik penamaan bulan Shafar, di antaranya karena: (1) sepinya rumah-rumah mereka dikarenakan mereka keluar untuk perang dan bepergian. (2) Kebiasaan orang Arab memanen dan mengosongkan tanaman pada bulan Shafar, dan (3) pada Shafar orang Arab terbiasa memerangi setiap kabilah yang datang. (Al-Anshari, Muhammad. 2000)

Bulan Shafar juga menjadi bulan yang diakui oleh masyarakat Indonesia, bahkan pada bulan ini masyarakat Indonesia memiliki kesan dan kepercayaan yang unik. Salah satunya adalah tatkala terjadi gerhana bulan pada bulan Shafar, maka bermakna selama tiga bulan tidak akan turun hujan, yang diselingi oleh angin kencang (Mujab, 2016). Hal ini merupakan sebuah kepercayaan yang tidak pasti adanya, sebab kejadian tersebut terjadi dikarenakan kejadian alam semata serta bukan merupakan tanda kesialan atau keburukan bulan Shafar yang banyak dipercaya masyarakat di Indonesia.

Anggapan tentang bulan Shafar menjadi bulan sial itu tidak lepas dari tradisi orang Arab yang memiliki keyakinan bahwa bulan Shafar merupakan bulan kesialan dan penuh cobaan. Keyakinan salah itu akhirnya mengakar dan menyebar ke mana-mana, bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengikutinya. Rasulullah saw pun menolak anggapan seperti itu. Rasulullah saw bersabda:

 لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ

Artinya, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari)

Hadis di atas memberikan pengertian bahwa tidak ada keburukan dalam bulan tertentu termasuk bulan Shafar. Terjadinya peristiwa apa pun itu murni atas kehendak Allah, bukan disebabkan waktu, zaman, dan anggapan salah lainnya.

Anggapan-anggapan buruk terhadap bulan Shafar menjadi suatu permasalahan jika berkaitan dengan tujuan mulia yang akan dilakukan oleh manusia, seperti menuju ke jenjang pernikahan. Sebab, dalam sebagian masyarakat Indonesia tersebar keyakinan bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Shafar memiliki dampak buruk bagi keberlangsungan hidup calon pasangan. Padahal pada prinsipnya perkawinan atau nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, menolong antara laki-laki dan perempuan di mana antara keduanya bukan mahram.

Dasarnya tidak ada halangan lagi bagi seseorang laki-laki Muslim dan perempuan muslimah untuk melaksanakan pernikahan jika sudah sesuai syariat Islam dan syaratnya telah terpenuhi. Namun di Indonesia ada beberapa problematika yang menjadi putusnya hubungan pasangan atau keluarga yang awalnya berniat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan yakni jika dilangsungkan di bulan Shafar. Kepercayaan ini merupakan sebuah mitos yang telah turun-temurun, seperti fenomena unik yang terjadi di desa Suci kabupaten Gresik, dalam hal ini adalah masalah pernikahan. Di antaranya adalah harus menghindari pelaksanaan pernikahan di bulan Shafar yang sudah menjadi keyakinan masyarakat Desa setempat. Menurut Abdulloh (2018) pada wawancaranya yang dilakukan bersama ibu Laila selaku Ustazah di desa Suci kabupaten Gresik mengenai pandangan masyarakat desa di sana tentang bulan Shafar diyakini dengan bulan yang banyak turun bala’ (bencana).

Pemaknaan bulan Shafar sebagai bulan bala’ itu disebabkan sebuah pemelintiran hukum dalam masyarakat. Sebab, pada kenyataannya pada bulan Shafar Allah memberikan kebebasan seluruh alam ini untuk melampiaskan serta membalas rasa sakit hatinya (Abdulloh, 2018). Sebagaimana contoh apabila pada bulan Shafar ada sebuah barang yang dibuang di tanah oleh seseorang dengan sewenang-wenang, pada saat itu Allah mengizinkan tanah untuk membalas perlakuan orang tersebut apabila ia tidak menerima. Sehingga apabila tanah tersebut tidak menerima maka timbullah bencana banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.

Kasus lain tentang larangan pernikahan di bulan Shafar terjadi pada Masyarakat Desa Gedangan Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang. Mereka meyakini bulan Shafar tidaklah baik untuk bulan pernikahan jika dilakukan dalam adat kejawen. Mitosnya yaitu apabila dilanggar maka terjadi bala’ atau musibah yang bakal terjadi di rumah tangga seseorang, rumah tangga tidak tenteram bahkan sampai terjadi perceraian. (Mahmudah, Risalatul & Hidayatul, Hawa’, 2021).

Meskipun begitu tidaklah tepat apabila bulan Shafar dinamakan bulan bala’ (keburukan). Memang menghindari sebuah pantangan menjadi sebuah hal yang sah saja apabila diniatkan untuk kemaslahatan bersama. Namun jika sampai menjudge bulan Shafar menjadi bulan yang buruk merupakan hal yang kurang baik. Dari sinilah masyarakat perlu diberi edukasi mengenai bulan Shafar yang mana bukanlah bulan yang buruk untuk melakukan hajat yang baik. Dengan sebuah pemahaman dan pemikiran yang baik, bisa menjadi jembatan untuk membuka pikiran masyarakat agar tidak terburu-buru menelan secara mentah segala jenis mitos yang beredar di masyarakat meskipun sudah turun temurun. Karena hal itu bisa menjadikan kerugian pula bagi orang lain tatkala mereka hidup di zaman yang sudah berbeda suasana lingkungan serta bentuk kebutuhannya.

Wedding History Nabi Muhammad SAW

Rasulullah merupakan Insan al-kamil yaitu manusia paling sempurna dan mulia yang diciptakan dengan Nur (cahaya) khusus dari Allah. Bahkan Allah telah menjadikan Nabi sebagai suri tauladan yang dapat dijadikan contoh oleh semua umat manusia sebagaimana dalam termaktub dalam QS. Al-Ahzab ayat 21, yang artinya:

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Begitu mulianya Nabi Muhammad sehingga tidak disangkal beliau disandingkan dengan Sayyidah Khadijah RA. Beliau merupakan seorang istri sekaligus wanita pertama yang beriman dan meneguhkan kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Terjalinnya hubungan pernikahan beliau bermula dari hubungan rekan kerja. Nabi dipercaya menjajakan barang dagangan milik Sayyidah Khadijah ke beberapa negeri di luar Makkah. Reputasi Nabi sangat baik dan sangat dihormati karena kejujurannya sehingga mendapatkan gelar al-Amin (terpercaya). Sehingga Sayyidah Khadijah tertarik dengan Nabi. Beliau meminta salah satu sahabatnya yakni Nafisah binti Munyah untuk meminang Nabi Muhammad SAW untuk dirinya. Nafisah lantas menemui Nabi Muhammad SAW dan menceritakan semuanya tentang perasaan Khadijah. “Muhammad, aku Nafisah binti Munyah. Aku datang membawa berita tentang seorang perempuan agung, suci, dan mulia. Pokoknya ia sempurna, sangat cocok denganmu. Kalau kau mau, aku bisa menyebut namamu di sisinya,” kata Nafisah kepada Muhammad (Nizar Abazhah, 2018).

Singkat cerita, Sayyidah Khadijah dan Nabi Muhammad SAW akhirnya menikah. Di mana pernikahan beliau berdua dilangsungkan pada bulan Shafar. Peristiwa ini telah berhasil menentang teori tentang mitos yang beredar mengenai kesialan dan bala’ yang terjadi terhadap pernikahan yang dilaksanakan pada bulan Shafar. Bukti bulan Shafar bukan bulan kesialan yaitu atas terjadinya peristiwa: (1) Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah pada bulan Shafar; (2) Pernikahan antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Shafar; (3) Hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Shafar; (4) perang pertama, yaitu perang Abwa terjadi pada bulan Shafar, di mana umat Islam jusrtu mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir; (5) pada bulan Shafar juga terjadi peperangan hebat yaitu perang Khaibar, dan kemenangan diraih oleh umat Islam.

Demikian alasan di balik penamaan bulan Shafar, serta serta jawaban atas anggapan dan keyakinan sebagian masyarakat perihal mitos kesialan yang diyakini akan terjadi pada bulan Shafar. Anggapan demikian tidak layak dijadikan pedoman oleh orang beriman. Sebab, dengan meyakininya, akan berpotensi mengesampingkan Allah dengan segala otoritas-Nya, yang bisa saja memberikan pengaruh kepada siapa pun, atas persangkaannya kepada Allah swt.

Upaya menanggulangi perspektif buruk masyarakat terhadap mitos

            Kerap kali sebuah sudut pandang yang melekat di masyarakat sulit dicabut ibarat akar yang telah tumbuh menjadi pohon yang sangat besar dan menghasilkan banyak cabang. Namun, kita sebagai orang yang telah hidup di era modern sudah mulai dituntut untuk berani mencabut serta memangkas keburukan untuk menciptakan kemaslahatan. Mitos tentang sebuah kejadian alam, hewan, bulan dan tahun yang sudah menyebar apalagi yang mengganggu keberlangsungan niat yang baik seperti sebuah pernikahan patutlah diedukasikan ulang kepada masyarakat, agar tidak salah kaprah memahami mitos yang terjadi dan berimbas buruk.

            Adapun beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh masyarakat untuk memangkas pemahaman tentang mitos adalah sebagai berikut:

  1. Memperkuat Iman

Iman menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, di mana dengan dasar iman kepada Allah yang kuat manusia tidak akan mudah terombang-ambing dalam berbagai macam problematika yang pelik di masyarakat zaman modern ini. Ketika seseorang ingin meningkatkan keimanan, maka dapat ditempuh dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan dan tidak meninggalkan ibadah. Agar tetap terhubung dengan yang maha kuasa dan tidak melampaui batas-batas nilai agama yang telah ditetapkan.

  1. Berpikir Kritis

Pikiran yang kritis memiliki poin yang lebih dalam kehidupan karena itu merupakan suatu sikap agar manusia tidak mudah percaya informasi atau issue yang beredar luas secara instan dengan cara membuat pertanyaan yang logis atau masuk akal. Dengan berpikir kritis kita bisa berpikir dulu terhadap apa yang kita baca, dengar, dan lihat. Apakah yang kita dapatkan itu dapat dibuktikan kebenarannya atau tidak bisa dibuktikan

  1. Menanamkan pikiran positif

Dengan berpikir yang positif dapat membukakan jalan untuk kita tidak mudah percaya mitos. Karena biasanya mitos berisi sebuah ketakutan-ketakutan yang dapat melahirkan pikiran overthingking (memikirkan sesuatu secara berlebihan) sehingga menjadikan pikiran kita stress. Dengan pikiran positif, informasi yang buruk pun bisa disaring menjadi sebuah pandangan baik dan menghilangkan kekhawatiran yang akan tumbuh di dalam diri kita. Berpikir positif ini bisa dimulai dari mencari teman dan perkumpulan yang baik dan menjadikan diri kita bisa belajar menjadi lebih baik.

  1. Menghindari kejadian yang tidak sesuai akidah Islam

Kerap kali sebuah mitos menyalahi syariat Islam, namun kita sebagai manusia yang diberikan kelebihan untuk bisa memilih dan memilah mana yang baik dan buruk, maka hal tersebut harus kita manfaatkan dengan baik agar ketika ada mitos yang menyebar di masyarakat kita tidak begitu saja percaya, namun harus menyelaraskan dulu kejadian tersebut apakah sesuai dengan syariat Islam.

Karena imbas dari terlalu percaya pada mitos menyebabkan kita terjebak pada kemusyrikan. Sehingga untuk menanggulanginya maka kita harus berani belajar dan memilah apakah kejadian itu bertengangan dengan akidah kita yang bersumber dari Alquran dan Sunah. Jika iya maka harus kita hindari demi kemaslahatan kita bersama.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

KBBI

Abdulloh. 2018. PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP PANTANGAN

PELAKSANAAN PERNIKAHAN DI BULAN SHAFAR PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DESA SUCI KECAMATAN MANYAR KABUPATEN GRESIK). Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Al-Anshari, Muhammad. 2000. Lisanul ‘Arab. Beirut: Dârus Shadr. juz IV

Anwar, Syamsul MA., 2011, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, Yogyakarta: Suara

Muhammadiyah.

Djamaluddin, T., 2005, Menggagas Fikih Astronomi, Bandung: Kaki Langit.

Faridah, siti & Mubarok. 2012. KEPERCAYAAN MASYARAKAT BANJAR TERHADAP

BULAN SAFAR: Sebuah Tinjauan Psikologis. Jurnal AL-BANJARI. Vol. 11, No. 1.

Hawa’ Hidayatul Hikmiyah, dkk. 2020. Larangan menikah bagi tunagrahita berat perspektif

Maqosid  Syariah  Jaseer  Auda,  IJLIL  :  Indonesian  Journal of  Law  and  Islamic  Law, Volume 1.

Katsir, Ibnu. 1999. Tafsîru ibnu Katsîr. Dârut Thayyibah.  juz IV,

Nasrimi. 2021. Mitos-mitos dalam Kepercayaan Masyarakat. Serambi Akademica Jurnal

Pendidikan, Sains, dan Humaniora. Vol. 9, No. 11, Desember 2021.

Muhammad, Ibrahim Hasan Al-Jamal. 2014. Khadijah teladan agung wanita mukminah.

Mujab Syaiful. 2016. Gerhana, antara mitos sains dan Al-Qur’an. Yudisia: Jurnal

Pemikiran Hukum dan Hukum Islam.

Mahmudah, Risalatul & Hidayatul, Hawa’ Hikmiyah. 2021. Larangan menikah di bulan Shafar

Perspektif Konstruksi Sosial. Humanistika: Jurnal Keislaman. Vol. 7 No 2 2021.

Widiani, Desti & Jiyanto. 2019. Rekonstruksi Kisah Pangeran Samudro: di Tengah Mitos

Ritual Seks Gunung Kemukus, Sumber Lawang, Sragen. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 1, 2019: 77 – 98

Zainuddin. 2019. Selamat tinggal mitos selamat datang logos. GEMA Media Informasi dan

Kebijakan Kampus. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

 

WEB:

Https://lampung.nu.or.id/syiar/peristiwa-peristiwa-penting-yang-terjadi-di-bulan-Shafar-eoxao (Diakses pada tanggal 30 Agustus 2022)

Https://islam.nu.or.id/hikmah/bulan-Shafar-latar-belakang-nama-dan-mitos-kesialan-di-dalamnya-hvrqq (Diakses pada tanggal 30 Agustus 2022).

Surakarta: Al-Andalus.

https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/motivasi-sayyidah-khadijah-memilih-nabi-muhammad-menjadi-suaminya-ZbQfr. (Diakses pada 02 Agustus 2022)


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *