NORMATIVITAS ISLAM TERHADAP LINGKUNGAN
Oleh: Mohammad Fauzan Ni’ami
Sudah menjadi kesepakatan kita bahwa Al-Qur’an adalah pedoman, falsafah, pandangan hidup untuk manusia. Jika kita telaah lebih jauh isi kandungan al-Qur’an tidak hanya pada lingkup hal yang bersifat eskatologis-metafisis, melainkan alam semesta pun tak luput dari pembahasan didalamnya. Tidak khayal apabila al-Qur’an disebut sebagai kitab suci yang cakupanya sangat kompleks serta membenarkan kitab-kitab sebelumnya (mushaddiqan lima baina yadaihi).
Jika kitab injil lebih menekankan tuhan sebagai reedemer (penebus dosa), sedangkan al-Qur’an menekankan bahwa Allah swt. sebagai creator, yaitu pencipta semesta alam (rabbul ‘alamin).[1] Tidak hanya itu, dalam al-Qur’an Allah juga bisa kita katakan sebagai manager, yaitu pengatur alam raya ini. Apa yang telah allah ciptakan pastilah mempunyai tujuan tersendiri, tidak lebih untuk kemaslahatan mahluk, yakni interelasi, interkoneksi, ketergantungan, serta keterkaitan yang untuh antara ciptaan satu dengan lainya.
Al-Qur’an secara eksplisit telah menerangkan kepada kita tentang gambaran[2] alam semesta,[3] diawali penjelasan konkret tentang penciptaan alam, siklus keberlangsungan alam, tujuan terciptanya, sampai peran manusia terhadap lingkungan sekitar. Bisa kita katakan bahwa penekanan al-Qur’an adalah pada iman dalam tindakan. Pada mulanya manusia dituntut untuk mengimani seluruh alam semesta ini ciptaan Allah, kemudian dituntun untuk mengabtraksikan, menyimpulkan dari hakikat atau hikmah penciptaan tersebut (fa’tabiruu yaa ulil albab).
Penciptaan dan Siklus Keberlangsungan
Melalui nash al-Qur’an, Allah mengkonfirmasi terhadap kebenaran-Nya sebagai creator dan manager (pencipta dan pengatur). Pada persoalan ini telah disampaikan pada surat az-Zumar ayat 5:
(5)خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّ ۚ يُكَوِّرُ الَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى الَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۗ كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَجَلٍ مُّسَمًّى ۗ اَ لَا هُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفَّارُ
Artinya: “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Pengampun”
Secara zhahir nash ayat diatas memuat tentang kekuasaan Allah, melalui penciptaan langit dan bumi serta hukum yang menata alam semesta ini secara nyata. Sayyid Quthb menafsirkan bahwa ayat diatas menunjukan dua pembenaran yaitu pembenaran menciptakan dan mengatur yang mana kedua pembenaran kumpul menjadi satu menunjukan keesaan Yang Membuat, Yang Maha mulia, dan Maha Bijaksana.[4]
Lebih lanjut melalui berbagai nash al-Qur’an Allah menciptakan berbagai elemen yang mengitari langit dan bumi, Imam ar-Razi menyebutnya dengan aspek falakiyyah dan ‘unsuriyyah.[5] Pada ranah falakiyyah Allah menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang yang tunduk atas perintahnya (QS. Al-A’raf [7]: 54). Sedangkan ‘unsuriyyah bisa dikatakan elemen dasar penciptaan makhluk Allah yang ada di muka bumi, yaitu air, tanah, udara. Dikatakan bahwa proses kejadian manusia dari suatu saripati berasal dari tanah, lalu Allah menjadikan saripati tersebut air mani (QS. Al-Mu’minun [23]: 12-14). Begitupula dengan hewan, didalam al-Qur’an allah berfirman “Wallohu kholoqo kulla daaabbatim mim maaa’” (QS. An-Nur [24]: 45) serta menciptakan tumbuhan melalui perantara air dari langit (QS. Al-An’am [6]: 99).
Sedangkan Syekh Yusuf al-Qaradhawi, beliau membagi lingkungan menjadi dua bagian[6], yaitu dinamis (manusia, hewan, tumbuhan), serta statis yang juga ia bagi menjadi dua, ada alam thabi’ah (ciptaan Allah) yang meliputi lingkungan bumi, angkasa, langit. Juga ada alam shina’iyyah (diciptakan manusia) seperti pohon yang ditanam, pembangunan rumah, menggali sungai, dan lain sebagainya.
Tidak sekedar menciptakan saja, tetapi Allah juga mengatur keseluruhan ciptaanya. Mengoperasionalkan secara sistematis dan kokoh sehingga tidak ada satupun yang melawan hukumnya. Semua berjalan sesuai rumus sunnatullah dengan segala keadaan, pada ayat diatas (QS. Az-Zumar: 5) rumus yang dijelaskan oleh Allah adalah pergantian siang dengan malam, siang yang dipenuhi sinar matahari diganti oleh malam gelap gulita yang tersinari oleh cahaya bulan. Matahari bergerak pada garis edarnya, bulan telah ditetapkan tempat peredaranya juga, sehingga terbentuklah fenomena-fenoma yang menakjubkan.
Tidak bisa dipungkiri juga melalui mekanisme yang ia ciptakan terdapat nilai koheren, fenomena hujan misalnya, berasal dari bumi, lalu air tersebut keluar dan menguap naik ketas, dan membuat gumpalan awan diantara langit, selanjutnya uap tersebut turun menjadi air hujan yang menyirami belahan bumi untuk kehidupan, ini telah di abadikan al-Qur’an surat an-Nur [24] ayat 43;
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُزْجِيْ سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلٰلِه ۚ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ جِبَالٍ فِيْهَا مِنْۢ بَرَدٍ فَيُـصِيْبُ بِه مَنْ يَّشَآءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَّنْ يَّشَآءُ ۗ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْاَبْصَارِ
Artinya: “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya, dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”
Pada akhirnya, semua yang Allah ciptakan dan operasionalkan berjalan sesuai kadarnya tidak berjalan serampangan (wa maa nunazziluhuu illaa biqodarim ma’lumm), semua telah diatur dan diperhitngan secara optimal dan tepat. Inilah konsep yang valid dan berhasil dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. semua ini adalah suatu keniscayaan dan anugerah dari Allah rabbul ‘arsyl ‘adziim.
Tujuan Penciptaan Alam
Apabila kita masuk pada ranah ontologis, maka adanya alam semesta ini mewajibkan adanya zat yang mewujudkanya. Keberadaan langit bumi beserta isinya mengharuskan adanya sang pencipta, akal pasti akan menerima hal tersebut.[7] Dalam konteks ini maka eksistensi alam semesta merupakan suatu petunjuk yang sangat jelas mengenai keberadaan Allah sebagai tuhan (dilalah mafhum). Al-Qur’an memberi bukti bahwa alam semesta ini diciptakan untuk memperlihatkan rambu-rambu adanya Allah swt;
(53) سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat 41: Ayat 53)
Prof. Quraisy Shihab mengemukakan, yang dimaksud dengan tanda-tanda di segenap penjuru/ufuk yang diperlihatkan oleh Allah adalah rahasia-rahasia alam serta keajaiban ciptaan-Nya pada diri manusia yang diungkap melalui penelitian dan pengamatan ilmuan, dan yang kesemuanya membuktikan kebenaran dan kekuasaan-Nya sekaligus menunjukkan kebenaran informasi al-Qur’an.[8] Hemat Imam Ar-Razi yang dinamakan tanda-tanda segenap penjuru/ufuk yaitu kebesaran allah melalui rambu adanya astromi, bintang-bintang, siang-malam, cahaya, 4 elemen dasar penciptaan (api, air, tanah, udara).[9]
Hakikat tujuan penciptaan tak lain untuk menunjukan eksistensi keberadaan Allah. Adanya seluruh alam semesta ini merupakan manifestasi dari fitrah Allah sebagai penguasa, tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Welas Asih, dan Maha Perkasa Kuasa. Sayyid Qutb menjelaskan bahwa adanya semesta alam menunjukan adanya penciptaan dari satu segi dan adanya undang-undang yang mengaturnya dengan disertai tujuan, hikmah, dan maksud tertentu dari segi lain. Hal ini memiliki arti yang sangat penting dalam menetapkan sikap dan pandangan manusia terhadap alam semesta.[10]
Apakah Allah menciptakan hanya untuk menunjukan kehadiran-Nya? Tentu saja tidak, secara implisit ada tujuan lain diciptakanya alam ini, yaitu untuk mewujudkan kehidupan yang agung, yaitu kehidupan yang sejahtera, damai, dan bahagia. Dalam konteks ini kehidupan yang agung adalah saling keterkaitan, interkoneksi, interelasi antar semua makluk Allah demi terciptanya kesehajaan dalam kehidupan. Lingkungan yang telah ia buat tak lain menghantarkan hidup lebih sejahtera, damai, dan bahagia. Bisa dibayangkan apabila manusia hidup tanpa adanya binatang, tumbuhan, udara, matahari, bulan, dan lain sebagainya, pastilah tidak akan ada kebahagiaan dalam hidup kita dan tidak ada pula keterpaduan yang akan diterima.
Nash al-Qur’an telah memberikan gambaran tentang adanya produsen-konsumen dalam lingkungan sekitar, Allah berfirman;
(53) الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ مَهْدًا وَّسَلَكَ لَكُمْ فِيْهَا سُبُلًا وَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً ۗ فَاَخْرَجْنَا بِهٓ اَزْوَاجًا مِّنْ نَّبَاتٍ شَتّٰى
(54) كُلُوْا وَارْعَوْا اَنْعَامَكُمْ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى النُّهٰى
Artinya: “(Tuhan) yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, dan menjadikan jalan-jalan di atasnya bagimu, dan yang menurunkan air (hujan) dari langit.” Kemudian Kami tumbuhkan dengannya (air hujan itu) berjenis-jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan (53), Makanlah dan gembalakanlah hewan-hewanmu. Sungguh, pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (54).
Ayat tersebut memberikan isyarat bahwa interaksi tumbuhan dengan makhluk hidup lain seperti hewan dan manusia. Untuk itu ekologi memberi kedudukan pada tumbuhan sebagai produsen dan hewan atau tumbuhan sebagai konsumen.[11]
Kehadiran binatang, tumbuhan, manusia, dan makhluk lainya merupakan siklus yang sudah membentuk sistem, sehingga saling mengaitkan satu sama lain dan membentuk suatu hubungan yang konkret (simbiosis). Menurut Prof. Amin Abdullah kehidupan makhluk di muka bumi, baik tumbuh-tumbuhan, binatang atau manusia, saling terkait dalam satu kutuhan lingkungan hidup. Apabila terjadi gangguan terhadap salah satu jenis makhluk, akan terjadi pula gangguan terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan.[12]
Hubungan timbal balik tersebut yang membuat lingkungan stabil, mereka bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Hubungan saling ketergantungan inilah menunjukan bahwa Allah menginginkan kehidupan yang agung yaitu hidup yang saling memenuhi kebutuhan dan kemanfaatan (hayyatun thoyyibatun).
Peran Manusia
Manusia sebagai titik kulminasi memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan kelestarian lingkungan hidup. Melalui nash al-Qur’an, Allah berfirman bahwa tujuan penciptaan manusia tidak lain untuk menjadi khalifah dimuka bumi “sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqarah [2]: 30), supaya khalifah ini terwujud maka diperlukan keadilan, kemaslahatan, kedamaian, serta kebenaran dalam berkehidupan. Sebab itu Allah mewanti-wanti untuk tidak merusak lingkungan sekitar, karena tindakan termasuk perbuatan maksiat (laa tufsiduu fil ardh).
Manusia sebagai khalifah pada konteks lingkungan diinterpretasikan sebagai raa’in (penjaga), menjaga kelestarian ligkungan, mencegah kerusakan lingkungan, serta memelihara lingkungan kearah yang usaha pengembangan secara optimal. Pemahaman ini diambil dari surat al-A’raf [7] ayat 56;
(56) وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”
Sebagai khalifah, manusia tidak hanya sebagai raa’in saja melainkan juga sebagai mumaddin-imdad yaitu pembangun peradaban di muka bumi. Dalam surat Hud [11] ayat 61: huwa ansya’akum minal ardhi wasta’marakum fiiha. Syekh Yusuf Qaradhowi meneranhkan bahwa usaha membangun bumi ini akan sempurna lewat cara menanam, membangun, memperbaiki, dan menghidupi, serta menghindari diri dari hal-hal yang merusak. Karena aplikasi dari makna khalifah akan tercapai apabila manusia melaksanakan tugasnya secara maksimal segingga bisa dirasakan manfaatnya.[13]
[1] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Yogyakarta: IRCisoD, 2020), hlm. 267
[2] Dapat diartikan sebagai konsep, lihat KBBI https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konsep, diakses pada 5 Januari 2021
[3] Pada persoalan alam semesta, para pakar sekarang sering menyebutnya dengan lingkungan hidup, lihat buku M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, hlm. 268. Istilah lingkungan jarang sekali digunakan dalam kerangka etimologi dan terminologi. Baca: Dr.Yusuf Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, penerj. Abdullah Hakam Syah. Dkk, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hlm.5
[4] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an Juz XXIV: az-Zumar, al-Mu’min, dan Fushilat, hlm. 66
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husein al-Razi, Tafsir ar-Razi: Mafatihu al-Ghaib Juz 26, (Beirut: Darul Ihya’. 1420 H), hlm. 423
[6] Dr.Yusuf Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, penerj. Abdullah Hakam Syah. Dkk, hlm. 5
[7] Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hlm. 8
[8] Shihab, Tafsir Al-Misabah, Volume 12, (Jakarta: Lentera Hati: 2004) hlm. 91.
[9] Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husein al-Razi, Tafsir ar-Razi: Mafatihu al-Ghaib Juz 27, (Beirut: Darul Ihya’. 1420 H), hlm. 573
[10] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an Juz IV: Bagian Akhir Ali Imran dan Permulaan an-Nisaa’, hlm. 243
[11] Imron Rossidy, Fenomena Flora dan Fauna dalam Perspektif al-Quran (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 146.
[12] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, hlm. 271
[13] Dr.Yusuf Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, penerj. Abdullah Hakam Syah. Dkk, hlm. 26
0 Comments