Wawasan Islam Rahmah
Tidak ada kedamaian yang diperoleh tanpa adanya agama, karena agama merupakan sistem yang mengatur keimanan serta beribadah kepada tuhan yang disertai kaidah pergaulan antar sesama dan lingkungan dengan tujuan mencari kedamaian. Diantara agama yang diturunkan oleh Allah adalah Islam, pada aspek historis Islam hadir sebagai respon pelbagai problematika, baik kepercayaan maupun sosial.
Peradaban pra Islam khususnya Arab sering pula dikenal dengan nama era jahiliyyah (kebodohan). Penamaan ini bukan dikarenakan kebodohan mereka dalam berbagai segi dan tidak berperadaban, namun karena minusnya pengetahuan mereka tentang agama, tata cara kemasyarakatan, politik, serta pengetahuan tentang ke-Esaan Allah, bahkan kondisi masyarakat kala itu bukan hanya jahiliyyah, namun juga barbarisme. Islam hadir sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, dikatakan demikian karena mengudari segala bentuk sistem barbarisme, menuju sistem rahmatan lil alamin, yaitu susunan teratur yang berlandaskan cinta dan kasih secara aktual, menyinari segala aspek kehidupan yang didasari kasih sayang, serta membimbing kejalan yang benar.
Kita pahami bahwa secara etimologi Islam mempunyai akar kata sin-lam-mim yang digunakan untuk membentuk kata as-salam atau as-silm yang mempunyai arti damai, selamat, memelihara, dan tangga. Dari akar kata tersebut bisa kita pahami bahwa kedamaian, kesejahteraan merupakan tangga untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Seperti halnya seseorang yang dipandang tinggi atau agung yaitu ketika orang tersebut sejahtera dan damai kehidupanya. Sedangkan rahmah menurut Ibnu Faris merujuk kepada makna kelembutan hati, belas kasih dan kehalusan. Dan dari akar kata ini, lahir kata rahima yang memiliki arti ikatan darah, persaudaraan dan hubungan kerabat.[1] Sedangkan Mandzur mengemukakan makna rahmah adalah al-Riqqatu wa al-Ta’attufi (kelembutan yang berpadu dengan rasa keibaan).[2] Jadi Islam rahmah merupakan ajaran yang mengandung nilai kasih sayang demi tercapainya kedamaian serta kebahagiaan.
Islam datang mengenalkan tiga sistem wawasan yang penting. Pertama, wawasan bahwa Allah adalah Tuhan yang mempunyai sifat dasar rahmah. Tiada hukum dan ketentuan yang telah Ia ciptakan tanpa adanya maslahah bagi makhluknya. Tiada makhluk yang Ia ciptakan kecuali terdapat hikmah korelasi antar satu dengan yang lainya. Semua yang telah Ia ciptakan pastilah berbasis rahmah yang tidak lain untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera. Rahmah Allah dapat kita lihat melalui asma-asma yang melekat pada-Nya, seperti ar-Rahman dan ar-Rahim yang tertera pada surat al-Baqarah (2) ayat 163;
وَإِلهُكُمْ إِلهٌ واحِدٌ لا إِلهَ إِلَاّ هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ
Artinya: “Dan Tuhamnu adalah Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Firman diatas menunjukkan bahwa sifat dasar-Nya adalah cinta-kasih. Sifat-sifat yang lain dan perbuatan-perbuatan-Nya didasarkan pada sifat dasar itu, wajar saja apabila risalah Islam yang diwahyukan sebagai bagian dari perbuatan-Nya memelihara alam semesta pun merupakan agama rahmat, agama cinta kasih.
Imam Zamakhsyari menyatakan bahwa Allah merupakan tuhan Esa yang memberikan keanugerahan yang berlimpah bagi makhluknya, Ia yang mengatur rezeki dengan adil, menyembuhkan penyakit yang diderita hambanya, serta mengampuni kesalahan hambanya apabila bertaubat. Hal demikian merupakan ekspresi kecintaaan Allah kepada para hambanya. Allah sendiri tidak menyukai tindakan yang menyimpang dari fitrah dan menyuruh untuk berbaik kepada sesama, dalam firmanya:
وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Artinya: “..Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S Al-Qashash (28): 77)
Kedua, dikarenakan Allah adalah tuhan yang Rahman, maka kalam yang disampaikan juga mengandung nilai rahmah. Allah berfirman:
وَمَا كُنْتَ تَرْجُوْۤا اَنْ يُّلْقٰۤى اِلَيْكَ الْكِتٰبُ اِلَّا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ ظَهِيْرًا لِّـلْكٰفِرِيْنَ
Artinya: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah mengharap agar Kitab (Al-Qur’an) itu diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) sebagai rahmat dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali engkau menjadi penolong bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Qasas [28]: 86)
Ayat tersebut menegaskan bahwa kualitas kitab al-Qur’an adalah rahmah. Dengan demikian teks yang terkandung mempunyai paradigma rahmah, maka konsep pokok dari seluruh ajaran yang termaktub dalam al-Qur’an adalah konsep rahmah yaitu untuk memberikan kebaikan menyeluruh. Segala sesuatu yang berkaitan dengan rahmat dalam al-Qur’an, memiliki konotasi sebuah pemberian dan tujuan tanpa ada sekat, semua tertuju kepada satu tujuan tertentu yaitu menciptakan pola kehidupan yang baik. Untuk menciptakan pola tersebut maka al-Qur’an memiliki misi yaitu untuk merombak tatanan sosial yang semrawut, menggugat ketidakadilan yang terjadi ditengah masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan (equality).
Ketiga, wawasan bahwa Rasulullah merupakan manifestasi dari wawasan Allah dzat rahmat serta al-Qur’an sebagai kitab rahmah, artinya segala tindakan rasul berlandaskan nilai universal al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وَمَآ أَرْسَلْنَـٰكَ إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَـٰلَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107)
Pada kesempatan lain beliau bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan Allah”.[3]
Lebih lanjut Fakhruddin Ar-Razi mengemukakan bahwa Rasulullah sebagai rahmatan lil ‘alamin terletak pada bidang agama dan dunia. Adapun di bidang agama, sesungguhnya Rasulullah saw. diutus saat manusia dalam keadaan jahiliyyah dan tersesat, para ahli kitab berada dalam kebingungan tentang masalah mereka karena panjangnya kejumudan, dan terputusnya kemutawatiran mereka, dan terjadinya perbedaan dalam kitab mereka. Dalam keadaan seperti itulah Allah swt. mengutus Rasulullah saw. disaat tidak ada jalan bagi para pencari kebenaran menuju kesuksesan dan kebahagiaan, karena itu Rasulullah mengajak mereka menuju jalan kebenaran dan menjelaskan kepada mereka jalan menuju kebahagiaan, Rasul juga menjelaskan syari’ah serta menjelaskan perbedaan halal dan haram.[4]
Rasul sebagai rahmat disini tidak hanya sebagai pembawa risalah untuk kebahagiaan diakhirat saja seperti yang telah dijabarkan oleh Fakhruddin Ar-Razi, tetapi juga pembawa kebaikan dunia yang berupa perlindungan (protection), pembebasan (deliverance), dan kesatuan manusia (unity of mankind). Sebab itu Rasulullah saw. merupakan tokoh revolusi sebab menciptakan tatanan sosial yang baik mengajak saling menyayangi dan berkehidupan damai. Sebagaimana beliau menganjurkan setiap muslim untuk menyebarkan salam (kedamaian) kepada sesama, nabi Muhammad bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ،أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai manusia sebarkanlah salam (perdamaian), berilah makan, jalinlah tali persaudaraan, sholatlah saat orang-orang tertidur lelap, maka kalian akan masuk surga dengan damai”(HR. Darimi).[5]
Dengan demikian nampak jelas sitem ajaran agama Islam berlandaskan rahmatan lil ‘alamin, yaitu ajaran yang memberikan dampak positif, inklusif, komprehensif dan holistik. Sehingga sangat tidak valid apabila Islam mengajarkan doktrin-doktrin yang keluar dari ajaranya.
[1] Abi Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîsu al-Lughati, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), hlm. 498.
[2] Ibnu Mandzur, Lisânul Arab, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1999), hlm. 173.
[3] Abi Muhammad Abdillah bin Abdirrahman bin al-Fadhl al-Darami, Kitâb al-Musnad al-Jâmi’ (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, 2014), hlm. 98.
[4] Muhammad Fakhruddin Ibnu Al-Allamah Dliyauddin Umar, Al-Tafsir lFakhur Razi Juz 23, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), hlm. 230-231.
[5] Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi, Sunan ad-Dârimi Juz 2, (Dâr al-Mughni, 2000), hlm. 915
Penulis: Mohammad Fauzan Ni’ami
0 Comments