KONSEP MAHABBAH DALAM ISLAM

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh Muchammad Taqiyudin

Setiap manusia pasti akan merasakan dan mencintai sesuatu. Cinta adalah perasaan yang di anugerahkan oleh Tuhan yang tidak bisa kita pungkiri dalam kehidupan sehari hari. Seorang anak kecil menyusu pada ibunya karena cinta. Seorang ayah banting tulang cari uang untuk anaknya karena cinta. Seorang ibu bersusah payah dalam mengandung karena cinta. Bahkan, seekor burung membangun rumahnya karena cinta. Seperti halnya awan menurunkan hujan karena cinta. Sejak kehidupan bermula, sejak itulah cinta mewarnai alam semesta.

Pengetahuan dan tujuan seseorang terhadap cinta akan mempengaruhinya dalam menjalani kehidupan. Cinta bisa menjadi racun dan madu. Cinta bisa sama berbahayanya dengan racun jika dilandasi nafsu dan syahwat, sedangkan manis seperti madu tatkala dilandasi iman. Cinta bukan karena Allah dapat menyebabkan manusia lupa diri, sebaliknya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya akan membawa kepada kebaikan. Oleh karena itu, peletakan orientasi dan tujuan cinta harus tepat, sehingga cinta akan melahirkan karya yang indah dan keharmonisan dalam hidup ini.

Cinta dalam bahasa Inggris disebut love, sedangkan dalam bahasa Arab disebut al-hub, yang berarti perasaan senang atau tertarik pada seseorang. Cinta berasal dari kata al-mahabbah (cinta), yang aslinya berarti suci dan bersih. Dimajemukkan dari kata al-habab, al-mahabbah bisa berarti hati yang meluap-luap dan kegelisahan yang diliputi keinginan untuk bertemu kekasih. Ada juga yang mengartikannya sebagai “tenang” dan “terus-menerus”, seperti unta yang tenang. dan tidak mau bangun setelah mengaum. Jadi seolah-olah orang yang anda cintai memiliki seseorang yang anda cintai dengan rela dan tidak ingin berpaling dari orang itu.

Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, seorang ahli pendidikan Islam, menyatakan bahwa cinta adalah sifat atau fitrah mendasar yang ada pada setiap individu secara murni, di mana cinta tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Cinta, sebagai rasa jiwa dan gejolak hati, mendorong seseorang untuk menyukai kekasihnya dengan penuh gairah, kelembutan, dan kasih sayang.

Dalam buku Seri Cinta, Anis Matta menyatakan, “Cinta adalah sebuah konsep dan dedikasi jiwa tentang cara untuk membuat kehidupan yang kita sukai ini lebih baik.

Mengutip buku Ensiklopedia Cinta, Dian Widianti menyatakan bahwa psikolog dari Amerika Serikat, Ashley Montagu, memandang cinta sebagai perasaan yang mendalam tentang kepedulian, cinta, dan kesukaan. Biasanya, cinta ini diikuti melalui sarana pengalaman kerinduan dan preferensi terhadap objek.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cinta adalah fitrah yang Allah SWT temukan di hati hamba-hamba-Nya, yang darinya mereka dapat merasakan kasih sayang dan menampilkan dedikasi dan dorongan untuk mempertahankan untuk mempertahankan ikatan cinta mereka.

Dalam Islam, cinta adalah prinsip utama dalam gaya hidup dunia dan akhirat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Islam itu sendiri adalah iman yang sepenuhnya didasarkan pada cinta. Rasulullah SAW bersabda:

Ada tiga perkara, barang siapa yang tiga perkara itu ada di dalam dirinya, maka ia dapat merasakan manisnya keimanan, yaitu jika Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain keduanya, jika seseorang mencintai orang lain dan tidak ada sebab kecintaannya itu melainkan karena Allah, dan jika seseorang membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran, sebagaimana bencinya kalau ia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Al-Bukhari: 16 dan Muslim: 43)

Jelaslah bahwa cinta merupakan indikasi kehidupan  rohani dalam akidah orang muslim, sebagaimana cinta juga merupakan premis gaya hidup modern beragama dan bersosialisasi. Selain itu, agama dalam Islam didirikan terutama berdasarkan cinta dan kasih sayang, seperti yang digambarkan dengan indah dalam sabda Nabi Muhammad:

“Demi Zat yang diriku ada di tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak akan beriman dengan sempurna hingga kamu saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR Muslim)

Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW menegaskan bahwa jalan menuju surga bergantung pada agama, dan agama bergantung pada cinta. Jadi cinta adalah syarat dalam agama, rukun dalam akidah, dan aturan dalam agama.

Cinta dalam Islam adalah aturan dan sistem yang ada batasnya. Ini adalah penunjuk yang lebih dekat untuk mendidik jiwa, membersihkan moralitas dan menghentikan atau membela diri dari dosa dan maksiat. Kecintaan seorang mukmin yang lahir dari keikhlasan agamanya kepada Allah SWT, bukan hanya sekedar memuaskan hawa nafsu dan setan.

Mungkin sangat berisiko untuk melakukan hubungan seksual tanpa mengikuti pandangan syari’ah. Selain suka dalam menyampaikan emosi yang tidak terkendali, juga unsur-unsur luar dalam bentuk lingkungan bisa membuat cinta tak terbatas dan tak jelas ke mana perginya. Kelak, di akhirat nanti, orang-orang yang awalnya bercinta di dunia hanya karena nafsu akan menjadi musuh satu sama lain. Allah SWT berfirman:

اَلْاَخِلَّاۤءُ يَوْمَىِٕذٍۢ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ اِلَّا الْمُتَّقِيْنَ

Artinya: Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. (QS. Az-Zukhruf: 67).

Tanda Tanda Cinta

Dalam (Fillah, 2013) pada manusia sifat-sifat kasih sayang itu ada macamnya, pertama orang yang mencintai Allah dan kedua orang yang mencintai selain Allah. Tanda-tanda kasih sayang biasanya muncul saat mereka berkenalan. Tanpa diawali dengan kenalan, maka cinta dan sifat-sifatnya tidak akan tampak lagi. Bagaimana Anda akan mengingatnya jika anda tidak mengenalinya, dan juga tidak mungkin untuk menghargai dan menginginkan sesuatu yang tidak anda kenali. Oleh karena itu, sifat-sifat kasih sayang dapat diperoleh apabila sudah berkenalan. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya juga harus dimulai dengan pemahaman atau ma’rifah (pengenalan).

  • Katsrah adz-Dzikr (Banyak Dzikir)

Gejala dan gejala cinta yang sebenarnya adalah ketika seseorang terus-menerus mengingat apa yang dia cintai. Tindakan yang dilakukan selalu mengacu pada keberkahan bagi orang yang disayangi. Mereka yang disayangi terus-menerus dimintai penilaian dan pertimbangannya.

  • Al-‘Ijaab (Kagum)

Mencintai sesuatu karena mungkin ada kekaguman, termasuk kekaguman akan keindahan, kemurahan hati, kasih sayang, dan sebagainya. Dalam hubungan kasih sayang kepada Allah, seorang mukmin senantiasa mengagumi kebesaran Allah. Kagum melalui cara kehadiran simpati dan kepuasan terhadap objek yang dikenalnya. Kekaguman pada umumnya timbul karena adanya kelebihan yang dilihatnya, baik itu subjektif maupun objektif. Kekaguman akan kecantikan, kemampuan, kecerdasan, dan penampilannya.

  • Ar-Ridhaa (Rela)

Tanda lain dari kasih sayang adalah kebanggaan. Ridha adalah toleran terhadap ketetapan Allah dan membiarkan rasa sakit itu ada, meskipun dia merasakannya. Ridha adalah puncak ihsan seseorang kepada Allah SWT. Dia juga rela berkorban demi satu-satunya yang dia cintai. Rela kepada Allah dan Rasul berarti rela melakukan semua petunjuk-Nya dengan baik, bahkan dilakukan dengan bangga dan senang hati.

  • At-Tadhhiyah (Siap Berkorban)

Mengenal Allah dan Rasul-Nya akan muncul kerelaan berkorban. Pengorbanan adalah efek dari kecintaannya terhadap sesuatu. Cinta pada pasangan dan anak-anak dengan cara rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi kepentingan pasangan dan anak. Seorang karakter menghabiskan uang dalam bentuk menawarkan tempat tinggal dan menghabiskan waktu mengajar anak-anak. Cinta tidak dapat ditemukan tanpa pengorbanan.

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya berarti harus berani berkorban untuk melindungi syariat-Nya. Tidak hanya sekedar mengamalkan perintah-perintah-Nya namun berkorban untuk melindunginya secara keseluruhan sebagai wujud kasih sayang kepada Allah dan Rasul-Nya.

  • Al-Khauf (Takut)

Khauf adalah ekspresi dari sakit hati dan kecemasan tentang apa yang akan dihadapi. Khauf inilah yang mencegah diri dari perbuatan maksiat dan mengikatnya dengan bentuk ketaatan lainnya. Cinta ditandai dengan rasa takut berupa harapan dan kecemasan. Takut pada orang yang dicintainya bukan berarti karena kejahatannya, tetapi karena harapan dan kegelisahan dalam penantiannya. Takutlah kepada Allah karena anda memiliki harapan bahwa Allah akan menjawab doa-doa dan khawatir jika Allah tidak menjawab doa-doa. Takut jika ibadah tidak diterima oleh Allah. Khawatir jika tidak mendapatkan cinta Allah.

  • Ar-Rajaa (Mengharap)

Rajaa’ adalah hati yang tenteram dan gembira karena memandang ke depan terhadap sesuatu yang dihargai atau disayangi. Cinta juga diwujudkan dalam mengharapkan sesuatu, seperti mengharapkan pengampunan dosa dan mendapatkan pahala. Berharap kepada Allah melalui doa umumnya dilakukan karena mungkin ada daftar keinginan yang ingin disampaikan kepada orang yang disayangi, yaitu Allah. Mengharap rida Allah di akhirat dan mengharap rahmat dari Allah adalah sifat-sifat orang mukmin.

  • At-Thaa’ah (Menaati)

Menaati apa yang dicintainya adalah bukti cinta seorang mukmin kepada Allah SWT. Patuh pada keinginannya dan bahkan mungkin secara membabi buta mematuhi kehendak orang yang dicintainya. Ada banyak contoh di lingkungan sekarang remaja yang sedang jatuh cinta untuk memenuhi keinginan orang yang mereka cintai. Alangkah baiknya menaati Allah yang dicintainya, karena itu akan membawa kepada kebaikan dan keberkahan.

Amanat dari penulis : Cinta kepada sesama makhluk pada hakekatnya harus menjadi bentuk perwujudan cinta kepada Allah SWT. Artinya, ketika kita mencintai sesuatu,baik saudara kita, anak-anak, orang tua, pekerjaan atau yang lainnya, maka cinta ini harus disandarkan pada kecintaan kita kepada Allah SWT.

“Sebaik-baiknya cinta bukanlah soal sempurna, tapi perihal melengkapi apa apa yang belum sempurna, dan sebenar-benarnya cinta adalah cinta kepada sang pencipta”

DAFTAR RUJUKAN

Ahmad Farid, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salaf (Solo: Pustaka Arafah, 2012), h. 136.

Ahmad Farid, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salaf, h. 147.

Ahmad Farid, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salaf, h. 139.

Fillah, Salim A. 2013. Jalan Cinta Para Pejuang. Yogyakarta: ProU Media.

Dr. Muhamad, Ali Hasyimi, Syakhshiyatul Muslim: Membentuk Pribadi Muslim Ideal (Jakarta: Al-I‟thisom, 2012), h. 162.

Dr. Abdullah Nashih, Ulwan, The True Power of Love (Jakarta: Kaffah Media, 2008), h. 12.

Dr. Abdullah Nashih, Ulwan, The True Power of Love (Jakarta: Kaffah Media, 2008), h. 12.

Imam Nawawi, Riyadhush Shalihin (Solo: Insan Kamil, 2012), h. 227.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu (Bekasi: PT Darul Falah, 2012), cet. ke-19, h. 4.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, h. 4.

Prof. Dr. Irwan Prayitno, Psi. Msc, Kepribadian Muslim, h. 272.

Prof. Dr. Irwan Prayitno, Psi. Msc, Kepribadian Muslim (Jakarta: Tarbiyatuna, 2010), h. 270.

  1. Az-Zukhru/25: 67.

Sa‟id Hawwa‟, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Jakarta: Robbani Press, 2012), h. 386.

Widianti, Dian. 2007. Ensiklopedi Cinta. Bandung: Dar! Mizan.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *