HAKIKAT CINTA DALAM PERNIKAHAN

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: M. Bastomi

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum: 21)

                Perceraian dewasa ini menjadi konsumsi publik yang lumrah terjadi. Tidak sedikit pasangan suami istri yang menyeret perkawinannya pada jenjang pemutusan hubungan di pengadilan. Sebuah fenomena di mana perceraian menjadi sebuah gaya hidup modern yang dianggap wajar-wajar saja seperti halnya sekedar pergantian status yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini bisa dilihat jika kita menengok betapa ramainya kantor pengadilan agama yang menyerupai keraiman pasar malam. Sebuah ironi dari banyaknya jumlah gugatan menyebabkan antrian panjang dalam proses sidang perceraian.

                Jika disandingkan dengan keadaan zaman dahulu, di mana manusia dianggap kolot dengan adanya banyak tradisi dalam memilih jodoh, maka dapat ditemui bahwa pada era modern ini manusia lebih memiiki kebebasan untuk menentukan jodohnya sendiri. Jika dahulu, orang tua yang mempunyai hak dan kewajiban penuh atas pernikahan anaknya, mulai dari mencarikan jodoh hingga menaikkan anaknya dipelaminan. Dan anehnya, anak pada zaman dahulu lebih mau menerima atas perjodohan dari orang tuanya, entah karena faktor tuntutan ataupun ketidakmampuan untuk menolak.

                Dahulu memang terlihat bahwa pernikahan berawal dari perjodohan tanpa ditumbuhi oleh perasaan cinta. Dalam istilah jawa disebutkan bahwa “Tresno Jalaran Saking Kulino”, yaitu perasaan kasih sayang tumbuh karena terbiasanya bertemu setiap harinya sehingga muncul perasaan cinta sedikit demi sedikit. Oleh karena itu, jalinan asmara yang tumbuh dilandaskan pada pernikahan telah sesuai dengan ajaran Islam dalam hubungan antara laki-laki dan wanita tanpa menimbulkan dosa. Cinta suci yang tumbuh merupakan berkah dari pernikahan, sebagaimana diketahui bahwa pernikahan mampu mendatangkan kebahagian bahkan rezeki yang telah dijanjikan. Meskipun bermula dari keterpaksaan, pernikahan seperti ini terbukti lebih langgeng dibandingkan dengan pernikahan ala era sekarang.

                Pada era modern seperti sekarang, perjodohan dianggap sebuah tradisi yang benar-benar kolot dan tidak sesuai untuk dilakukan. Banyak yang beranggapan bahwa perjodohan adalah pemaksaan kehendak orang tua yang menciderai Hak Asasi Manusia (HAM) anaknya. Jika menengok gaya hidup remaja dan dewasa sekarang, sudah lumrah mereka melakukan pacaran, sebuah status di mana ada hubungan asmara antara seorang laki-laki dan wanita. Pacaran menjadi gaya hidup yang perlu dilakukan karena anggapan bahwa orang yang tidak pacaran (single) adalah orang yang kolot dan tidak populer. Jika menengok fenomena pacaran ala era sekarang, dapat kita jumpai berita-berita negatif yang marak disiarkan oleh media. Meskipun banyak orang melakukan pacaran, namun pacaran tidak mampu menjadi jaminan bahwa hubungan asmara tersebut dapat berlangsung ke jenjang pernikahan. Bahkan, tidak sedikit bahwa mereka yang menjalani hubungan pacaran selama bertahun-tahun mendadak pisah tanpa bisa sampai ke pintu pernikahan.

                Meskipun di era modern ini seseorang bebas memilih pasangannya untuk menikah, pernikahan tersebut tidak dijamin bisa langgeng. Hal ini terbukti dari banyaknya gugatan cerai yang dilayangkan pada pengadilan negeri, baik dari penggugat si wanita ataupun lelaki. Mereka menggunakan banyak dalih untuk berpisah, dari alasan sepele sampai ke alasan yang serius, seperti alasan tidak adanya ketidak cocokan lagi sampai adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal, sebelum menikah mereka lebih mengenal calon mempelainya dengan baik sehingga sangat aneh apabila perceraian lebih sering terjadi di era bebas memilih pasangan daripada di era dulu yang dipaksa menikah.

                Jika dikaitkan dengan Islam, menikah merupakan mubah bagi seseorang. Namun, pada dasarnya menikah dipertimbangkan akan nilai kemaslahatan yang terkandung didalamnya. Jika menilik banyaknya kasus perceraian sekarang ini, perlu ditinjau ulang seperti apa niat dari calon mempelai untuk melakukan pernikahan. Jika ditarik benang kusutnya, dapat diketahui bahwa sebagian besar mereka yang melakukan pernikahan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawinya sehingga kebahagiaan yang didapatkan pun terbatas pada kebahagiaan duniawi saja yang sementara. Berbeda halnya jika pernikahan didasarkan atas cinta kepada Allah, maka pernikahan tersebut tidak hanya mengacu pada pemenuhan kebahagiaan duniawi saja, melainkan mengarah pada kebahagiaan ukhrowi (Akhirat) juga.

        Memilih wanita baik (sholihah) untuk dinikahi merupakan investasi bagi seorang laki-laki. Dikatakan sebagai investasi karena mendatangkan banyak keuntungan bagi si lelaki, seperti akan mendapat keturunan yang baik karena wanita tersebut dapat mendidik anak secara baik, dapat sebagai penenang dan penghibur hati lelaki tatkala lelah letih karena mencari nafkah, dan juga sebagai ladang ibadah karena sama-sama menjalankan perintah dan larangan Allah demi mengharap ridho-Nya. Islam menganjurkan seorang laki-laki untu mencari istri berdasarkan kriteria yang telah disebutkan dalam hadits berikut:

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim).

                Rasulullah Saw. memberikan anjuran kepada umatnya untuk memilih istri atas kriteria tersebut. Dianjurkan untuk memilih wanita berharta karena wanita berharta tidak akan menuntut harta lebih dari suaminya. Mereka akan menerima apapun keadaan suaminya, baik berharta maupun tidak. Istri yang pandai bersyukur atas pemberian sang suami akan mendatangkan kebarokahan dari rizki yang didapat sehingga banyak halnya seorang lelaki akan lebih mapan apabila sudah berkeluarga daripada di masa lajangnya.

 “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).

                Dianjurkan memilih wanita yang sekufu (sebanding) karena wanita baik-baik diperuntukkan untuk laki-laki baik-baik dan sebaliknya. Laki-laki keji diperuntukkan untuk wanita keji. Seorang suami yang baik pastinya tidak akan mengajak istrinya untuk berdosa karena melakukan perkara yang dilarang Allah, seperti mencari rizki dengan cara tidak halal. Begitu sebaliknya, wanita yang baik akan senantiasa menjaga kehormatan suaminya, menyimpan keburukan dan kekurangan rumah tangganya, bukan malah membicarakannya kepada orang-orang. Berdasarkan firman Allah Swt:

 “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)

                Dianjurkan untuk memilih parasnya karena keelokan wanita mampu meneduhkan hati suaminya. Dalam konteks ini, kecantikan bukanlah hal penting karena kecantikan wanita itu relatif. Pendapat cantik itu berbeda antara mata satu dan lainnya. Sehingga paras yang dimaksud adalah paras yang mendatangkan kebahagiaan, keteduhan, dan ketenangan.

 “Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)

                Dan anjuran yang terakhir adalah memiliki agama. Rasulullah menyebutkan bahwa seorang wanita yang memiliki agama adalah orang yang patuh pada agamanya, beriman dan bertaqwa. Islam menuntun wanita untuk berakhlakul karimah (berbudi baik) sehingga dapat menempatkan hak dan kewajibannya sebagai wanita. Wanita yang baik adalah wanita yang dapat menjaga pandangan orang lain atas dirinya, sehingga konsisten untuk berhijab karena sadar akan auratnya. Sesuai dengan janji Allah bahwa seorang yang bertaqwa pasti akan diangkat derajatnya ke tempat orang-orang mulia.

 “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)

                Keempat kriteria wanita di atas adalah karakteristik yang banyak dicari oleh banyak laki-laki. Namun, yang paling diutamakan dari keempat kriteria tersebut adalah wanita yang memiliki agama, karena wanita yang memiliki agama adalah dominasi dari sifat wanita sholehah. Laki-laki mana yang tidak menginginkan seorang wanita sholehah untuk menjadi istrinya?. Laki-laki hidung belang pun akan berpikir ulang untuk memilih pasangan hidupnya. Meskipun berkelakuan bejat, namun ia tidak mau memiliki istri yang bejat juga. Namun Allah Maha Adil, Dialah yang memberikan balasan atas setiap amal manusia, bahwa dosa sebiji sawi pun tidak akan luput dari perhitungannya.

                Pernikahan yang didasarkan pada kebutuhan akhirat di mana pernikahan sebagai jembatan seorang manusia kepada Tuhannya, maka kebahagiaan tidak akan pernah terputus apabila jembatan tersebut terus kokoh. Jembatan tersebut akan semakin kuat karena pernikahan tersebut tidak mengacu pada pemenuhan kepada pasangannya, melainkan pemenuhan ibadah kepada Tuhan juga. Sehingga, sudah sepantasnya apabila hendak menikah untuk ditanyakan kepada diri sendiri atau calon pasangannya. Kemana arah tujuan pernikahan tersebut dibawa, dan juga apa yang dapat diperoleh atau diberikan kepada dan dari pasangannya ketika menikah.


0 Comments

Leave a Reply