JANGAN BURU-BURU MENGUCAP “QOBILTU NIKAH”

Published by Buletin Al Anwar on

 

Oleh :

Wifqi Muwaffiqur Rohman Yusuf

 

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

(QS. An-Nisa ayat 9)

Secara substansial, tulisan ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya yang berjudul “Mental Jomblo Generasi Muda Islam Zaman Ini”. Penulis sekali lagi ingin meyoroti sebagian kecil dari kehidupan generasi muda islam zaman ini. Tulisan ini penulis tujukan kepada para laki-laki, khususnya yang belum menikah sebagai pengingat agar jangan terlalu terburu-buru untuk menikah. Sebab ada banyak hal yang harus disiapkan. Ada tanggung jawab besar yang akan dipikul nantinya. Pernikahan tidak akan seindah film serial drama korea yang kau tonton jika jiwa ragamu belum siap.

Pernikahan memang merupakan sesuatu yang indah. Bagaimana tidak indah, ketika seseorang melaksanakan pernikahan, dia berarti telah menemukan orang yang dicintai dan mencintai dirinya. Dia telah menemukan belahan hati yang akan mendampingi hidupnya sampai akhir hayat nanti. Tidak hanya indah, pernikahan juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang mulia. Pernikahan juga merupakan sunnah dari Rasulullah Saw. Bahkan dengan melaksanakan pernikahan seseorang dapat melengkapi separuh agamanya.

Ingatlah, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan palin taqwa kepada Allah, akan tetapi aku berpuasa dan tidak berpuasa, aku sholat, aku tidur dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku” (HR Bukhori)

Menikahlah kalian dengan perempuan yang paling dicintai dan paling banyak memberi keturunan. Sebab aku aku membanggakan banyaknya jumlah kalian atas umat-umat lain pada hari kiamat” (HR Ahmad)

Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu menikah, maka menikahlah. Sebab menikah itu lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab puasa adalah penekan nafsu syahwat baginya” (HR Muslim)

Melalui tulisan ini penulis sama sekali tidak bermaksud untuk mengendorkan keyakinan para pembaca terhadap dalil-dalil tentang keutamaan pernikahan di atas. Penulis sangat yakin bahwa Allah Swt akan membukakan pintu rezeki kepada seseorang melalui perantara pernikahannya. Akan tetapi penulis hanya ingin mengimbangi pola pikir para pembaca dengan memberikan sedikit pertimbangan-pertimbangan logis yang sangat penting untuk dipikirkan. Karena fenomena yang terjadi di masyarakat yang baru mendengar dalil-dalil tentang keutamaan menikah seperti di atas, mereka akan merasa sangat termotivasi untuk segera melaksanakan pernikahan tanpa memikirkan lebih mendalam tentang bagaimana kehidupan mereka setelah menikah nanti. Padahal jika kita lihat, sebenarnya mereka belum siap untuk menikah. Secara biologis memang mereka sudah matang. Tapi secara psikologis, kompetensi, serta ilmu, mereka belum cukup matang untuk membangun sebuah rumah tangga yang kokoh.

Ketika kita mengucapkan ijab qobul dihadapan wali nikah dan saksi, berarti pada saat itu juga kita telah berani menanggung hidup orang yang akan menjadi istri kita itu. Ijab qobul dalam pernikahan itu bukanlah kalimat sembarangan. Itu merupakan kalimat yang diucapkan dengan segala konsekuensi yang ada di dalamnya. Sebenarnya jika kita memahami secara mendalam mengenai pernikahan, kita pasti akan berpikir panjang dan tidak tergesa-gesa dalam mengucapkan “Qobiltu Nikah”. Karena sebenarnya menikah itu tidak hanya melulu soal berhubungan badan dan saling menggombal kepada pasangannya untuk menunjukkan rasa cintanya. Akan terlihat lucu dan dangkal sekali jika kita memahami pernikahan hanya sebatas itu saja. Sungguh, pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral. Pernikahan itu merupakan suatu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pernikahan sama sekali bukan permainan yang bisa seenaknya kita lakukan tanpa memperhatikan tata kramanya.

Setelah menikah nanti para laki-laki akan menjadi imam dalam rumah tangganya masing-masing. Dialah yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya. Dia juga bertanggung jawab menjaga serta membimbing istri dan anak-anaknya agar selamat di dunia dan di akhirat. Keduanya tersebut merupakan suatu tanggung jawab besar dan jelas bukan main-main. Untuk dapat melakukan kedua hal tersebut dengan baik dibutuhkan ilmu, baik itu untuk urusan dunianya maupun akhiratnya.

Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, juga harus dengan ilmu. Dan Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu

Dalam melaksanakan kedua tanggung jawab besar tersebut pasti ada rintangan-rintangan yang akan dihadapi, baik itu yang berasal dari luar atau dari dalam rumah tangganya sendiri. Tak jarang rintangan-rintangan tersebut bisa membuat orang merasa stress dan frustasi. Di sinilah dibutuhkan kematangan psikologis seorang imam keluarga. Dengan kondisi psikologis yang matang maka dia tidak akan goyah dalam menghadapi rintangan yang ada. Dia tidak akan mudah putus asa dan frustasi dalam membimbing keluarganya.

Sayangnya hal-hal penting semacam itu biasanya kurang diperhatikan. Biasanya orang lebih suka menggunakan dalil-dalil tentang keutamaan pernikahan seperti di atas sebagai alasan bahwa dia memang sudah pantas untuk menikah. Sekarang itu zaman modern. Tantangan kehidupan yang ada juga semakin berat. Kita sudah tidak bisa lagi jika hanya mengandalkan ijazah SMP atau SMA sederajat. Jika ingin mendapatkan pendidikan yang bagus minimal orang harus menempuh S1 atau S2. Akan tetapi ada saja orang dengan berbagai alasannya yang belum menuntaskan pendidikannya, kemudian dia menuruti keinginannya untuk menikah. Dengan kondisi seperti ini, penulis memiliki banyak pertanyaan terhadap orang tersebut. Zaman sekarang jika hanya menjadi lulusan SMP atau SMA mau jadi apa?? Sudah pasti bahwa setelah menikah nanti kita sudah lepas dari orang tua masing-masing dan harus mandiri dalam mengurus segala hal, termasuk kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup kita selama di dunia itu tidak gratis. Makan dan minum kita bersama istri apa tidak membutuhkan biaya?? Dan masih banyak lagi tagihan-tagihan lainnya. Belum lagi jika kita nanti sudah punya anak.

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mungkin akan membuat sebagian orang menjadi geram. Namun faktanya memang itu perlu untuk dipikirkan. Penulis merasa bahwa pandangan masyarakat ketika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu sangat fatalistis. Mereka biasanya menjawabnya dengan mengatakan bahwa “rezeki itu sudah ada yang mengatur, jadi kita tidak perlu susah memikirkannya”. Kemudian juga ada yang mengatakan bahwa “jika kita memikirkan hal-hal semacam itu maka sampai kapanpun kita tidak akan berani menikah karena selalu merasa belum siap. Jika sudah ingin menikah, langsung saja menikah karena dengan menikah pintu rezeki akan dibuka oleh Allah Swt”. Ada juga orang yang menjawab bahwa “kita tidak perlu memikirkan hal-hal semacam itu. Yang penting kita sudah mendapatkan ridho Allah Swt, kedua orang tua dan guru, maka InsyaAllah kita akan mampu membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah dan tidak kurang suatu apapun”. Inilah yang penulis maksud dengan fatalistis. Ikhtiyar yang mereka lakukan itu sering kali hanyalah ikhtiyar bathiniyah dengan merujuk pada dalil-dalil dan keyakinan seperti yang mereka ungkapkan di atas. Sedangkan ikhtiyar dhohiriyahnya berupa usaha-usaha nyata untuk membangun kesiapannya dalam membangun keluarga yang kokoh secara duniawi dan ukhrowi sering mereka abaikan. Ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyak orang-orang islam memiliki tingkat kesejahteraan hidup yang rendah. Tawakal mereka tidak seimbang karena tidak diiringi dengan usaha-usaha dhohiriyah

Berbekal pendidikannya yang pas-pas an itu dia berusaha mecari pekerjaan serabutan – yang sudah pasti hasilnya pun juga akan serabutan – untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan masalah dalam rumah tangga dengan berbagai bentuknya pasti akan datang. Kita tidak tahu apakah keberuntungan selalu berpihak kepada kita atau tidak. Bagaimana kalau ternyata kita tidak mampu menghidupi keluarga kita?? Lalu, bagaimana dengan nasib anak kita?? Anak kita itu manusia, dia butuh makan. Dan suatu saat nanti dia juga harus menempuh pendidikan dengan segala keperluannya yang tidak gratis. Apakah kita rela jika nasib anak kita nanti akan sengsara gara-gara kita?? Kalaupun ayah atau kakek kita yang seorang kuli bangunan sudah mampu menghidupi keluarganya dengan baik, kita tidak bisa menyamakannya begitu saja dengan keadaan kita sekarang. Kamu adalah kamu. Kamu itu bukan ayah atau kakekmu. Zaman dimana kamu hidup sekarang dengan berbagai tantangannya juga sudah jauh berbeda. Sekarang itu zaman teknologi informasi. Penggunaan otak dalam bekerja lebih dominan dari pada otot. Maka jika sekarang kita hanya mengandalkan otot pasti akan tertindas dengan yang lainnya yang lebih unggul. Inilah yang dimaksud dengan meninggalkan generasi yang lemah oleh QS. An-Nisa ayat 9 di atas.

Dengan ilmunya yang sedikit, bagaimana dia akan membimbing istri dan anaknya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt?? Jangan hanya ketika mau menikah saja kita memakai dalil dalam agama. Sedangkan ketika sudah menikah kita malah menelantarkan keluarga kita dari agama. Lalu bentuk tanggung jawabmu untuk membimbing keluargamu agar selamat dunia akhirat itu apa?? Menghidupi keluarga itu tidak cukup hanya dhohirnya saja. Bathinnya juga perlu diisi dengan ilmu-ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Inilah mengapa seorang imam keluarga harus memiliki ilmu duniawi & ilmu syari’at yang kuat. Sayangnya fakta yang ada di masyarakat berbanding terbalik. Ini juga sama saja dengan meninggalkan generasi yang lemah dari segi ilmu.

Dengan semua masalah kehidupan rumah tangga yang ada, jika kondisi psikologis seorang imam keluarga belum matang, maka keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah itu tidak akan pernah tercipta. Yang ada adalah kekerasan dalam rumah tangga. Karena suami tidak kuat menanggung beban dan frustasi, akhirnya dia lampiaskan amarahnya kepada istri dan anaknya yang seharusnya dia sayang. Amarah ini pada puncaknya juga akan lebih buruk lagi. Akhirnya muncullah kejadian “suami bunuh diri”, “suami membunuh istri dan anaknya”, dan lain-lain. Semua ini terjadi karena dia sebenarnya belum cukup dewasa dalam berpikir.

Oleh karena itu penulis sekali lagi ingin mengingatkan agar jangan terburu-buru untuk menikah sebelum memikirkan matang-matang segala konsekuensinya dan kemudian mempersiapkan diri dengan baik. Dalam tulisan ini penulis tidak memberikan batasan pasti mengenai kapan seseorang itu dianggap memiliki kematangan psikologis, kapan seseorang dianggap mumpuni ilmunya dan lain-lain. Penulis hanya berharap bahwa setelah membaca tulisan ini para pembaca, khususnya para laki-laki yang belum menikah, agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Mari kita seimbangkan lagi antara ikhtiyar dhohir dan batin kita untuk membangun rumah tangga yang diridhoi Allah Swt.


0 Comments

Leave a Reply