Makan Berlebihan, Hatipun Menjadi Keras
Oleh: Rinanda Eko Yulianto
Pandangan Islam terhadap Makan Berlebihan (Binge Eating)
Dalam Islam, larangan makan berlebihan dinyatakan dengan tegas dalam Q.S. al-A’raf (7): 31. Dalam Tafsir al-Azhar, penggalan ayat: “Makanlah kamu dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan” ditafsiri sebagai makan makanan yang sederhana dan minuman yang sederhana. Senada dengan penafsiran Hamka, Quraish Shihab (2002) dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan perintah makan dan minum dengan tidak berlebih-lebihan, yakni tidak melampui batas, merupakan tuntunan yang harus disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Atas dasar itu, kita dapat berkata bahwa penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proporsional dalam makan dan minum.
Dalam Tafsir an-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqy disebutkan bahwa “Orang jahilijah bertawaf di malam hari dalam keadaan telanjang. Mereka berkata: Kami tak mau berthawaf dengan memakai kain yang kami telah mengerjakan dosa dalam memakainya. Seorang wanita datang berthawaf, lalu melepaskan kainnya, dan menutupi kemaluannya dengan tangannya, sambil bersyair” (HR. Abd ibn Humaid dari Sa’in ibn Djubair). Lebih lanjut, Ash-Shiddieqy menambahkan, “Bani Amir di masa mengerjakan haji, makan makanan yang mengenyangkan saja, tidak mau makan makanan yang sedap-sedap. Para muslimim ingin menuruti sikap itu. Maka berkenaan dengan itu turunlah ayat ini.”
Perihal penyebab turunnya ayat ini, Quraish Shihab (2002) menyebutkan, “Sementara ulama menyatakan bahwa ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat Nabi SAW bermaksud meniru kelompok al-Hummas, yakni kelompok suku Quraisy dan keturunannya yang sangat menggebu-gebu semangat beragamanya sehingga enggan berthawaf kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan serta kadarnya ketika melaksanakan ibadah haji. Sementara sahabat Nabi SAW berkata: Kita lebih wajar melakukan hal demikian daripada al-Hummas. Ayat di atas turun menegur dan memberi petunjuk bagaimana yang seharusnya dilakukan.”
Berdasarkan konteks turunnya ayat, larangan ini bermakna meniadakan faktor berlebih-lebihan yang berpotensi menjadikan umat Islam memiliki jiwa kesombongan dalam dirinya. Sehingga, ia bisa menjadi pribadi yang sederhana dalam menjalani kehidupan dalam berbagai hal.
Dalam konteks berlebih-lebihan, ditemukan pesan Nabi SAW:
“Tidak ada wadah yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi putra-putri Adam beberapa suap untuk menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhi perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasannya” (H.R. al-Tirmidhi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban melalui Maqdam Ibn Ma’dikarib).
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahaya penuhnya perut dengan makanan, beliau berkata:
“Kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk ibadah”
Jika badan dipenuhi oleh makanan dan mencapai batas kekenyangan yang berlebihan. Sehingga menyebabkan tubuh menjadi malas untuk beribadah maka hukumnya bisa menjadi haram.
Ibnu Hajar Al-Asqolani menjelaskan bahwa:
“Larangan kekenyangan dimaksudkan pada kekenyangan yang membuat perut penuh dan membuta orangnya berat untuk melaksanakan ibadah dan membuat angkuh, bernafsu, banyak tidur dan malas. Hukumnya dapat berubah dari makruh menjadi haram sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkan (misalnya membahayakan kesehatan)”
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam melarang makan-minum berlebihan karena terdapat hal-hal negatif yang bisa dialami individu ketika melakukannya.
Analisis Makan Berlebihan Terhadap Pengerasan Hati
Individu dengan konsumsi makan berlebihan (binge eating) mengalami Loss of Control (LOC). Individu dengan gangguan kontrol impuls biasanya tidak mengalami konflik saat mengambil keputusan untuk melakukan perilaku tertentu. Konflik, penyesalan, dan rasa bersalah, jika ada, biasanya muncul setelahnya. Emosi yang timbul setelah mengalami episode LOC dikelola oleh hati.
Kata hati memiliki beberapa penyebutan yakni heart, al-qalb atau kalbu. Kalbu merupakan materi organik (al-‘adhuw al-madiy) yang memiliki sistem kognisi (jihaz idrakiy ma’rifiy) dan berdaya emosi (al-syu’ur). Al-Ghazali melihat kalbu dari dua aspek, yaitu kalbu jasmani dan kalbu rohani. Kalbu jasmani lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Al-Zamakhsyariy menegaskan bahwa kalbu itu diciptakan oleh Allah SWT sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan menerima kebenaran dari-Nya.
Kalbu rohani merupakan esensi dari jiwa manusia. Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi secara normal maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrah aslinya, sebab kalbu ini memiliki natur ilahiyah. Dengan natur ini manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya, melainkan juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan dan keagamaan.
Makan berlebihan (binge eating) memiliki pengaruh terhadap pengerasan hati (kalbu ruhani). Perspektif yang digunakan dalam menganalisa kaitan keduanya ialah teori Psikoanalisis Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian individu terdiri dari id, ego dan superego. Ketiganya berada pada ranah alam yang berbeda, yakni sadar, prasadar dan taksadar. Berikut merupakan struktur kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Gambar.1
Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
Ketika terjadi perdebatan antara id, ego dan superego terkait keinginan makan dan dimenangkan oleh id dengan hasil makan terus walaupun telah kenyang (makan berlebih), maka pada tahap tertentu akan ada stimulus pada otak yang mengirim pesan sensasi kenyang. Stimulus ini ditangkap oleh otak bagian hipotalamus sub bagian nukleus ventromedial. Ketika terjadi makan berlebihan, maka fokus otak adalah memikirkan proses makan tersebut (sistem pencernaan mendominasi kinerja tubuh) sehingga menghambat kinerja sistem lainnya.
Makanan berlebih yang masuk ke jantung menyebabkan kemampuan memompa darah terganggu karena kelebihan suplai makanan. Hal ini menyebabkan sistem tubuh yang lain tidak bekerja secara optimal karena didominasi sistem pencernaan. Inilah yang menyebabkan minimnya kontrol individu terhadap hal-hal positf yang menjadi keharusan untuk dilakukan dan penegakan nilai-nilai yang ada dalam individu. Akibatnya, orang tersebut melakukan tingkah laku di luar ‘pedoman’ yang seharusnya dan memperturutkan semua keinginan negatif yang berasal dari id manusia.
Dalam istilah kajian keislaman, mengikuti keinginan negatif dikenal dengan istilah mengikuti hawa nafsu. Jenis nafsu yang timbul ialah al-nafs al-ammarah bi al-su’ atau nafsu yang tercela. Intensifitas mengikuti hawa nafsu ini menyebabkan seseorang dikategorikan sering melakukan kemaksiatan. Sehingga, pada akhirnya, menjadikan dirinya jauh dari cahaya Tuhan yang mengajak kepada kebenaran, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Jadi, secara ringkas bisa dikatakan, kemenangan id dari superego (nilai-nilai yang ditanamkan atau didoktrinkan, di antaranya, atas dasar agama) mengindikasikan lemahnya kontrol nilai pada individu tersebut. Efek makan berlebih menjadikan manusia mengikuti keinginan negatif (al-nafs al-ammarah bi al-su’ atau nafsu yang tercela). Intensifitas mengikuti hawa nafsu menyebabkan seseorang dikategorikan sering melakukan kemaksiatan. Sehingga, pada akhirnya, menjadikan dirinya jauh dari cahaya Tuhan yang mengajak kepada kebenaran, kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kondisi inilah yang terjadi ketika hati manusia telah keras.
Tubuh memang setiap hari butuh asupan yang cukup dan pas, dan ketika asupan tersebut berlebihan, maka akan mendatangkan dampak-dampak yang buruk bagi kesehatan seperti datangnya berbagai penyakit. Keadaan gizi lebih dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, selain karena kekurangan nutrisi, juga disebabkan oleh pola makan yang salah seperti makan secara berlebihan atau makan makanan yang kurang seimbang. Akibat yang paling mengerikan dari masalah-masalah tersebut adalah kematian akibat komplikasi penyakit yang timbul karena pola makan yang salah atau tidak sehat yang dewasa ini terus meningkat. Untuk menghindari penyakit akibat pola makan yang kurang sehat diperlukan suatu pedoman bagi tiap individu, keluarga, dan masyarakat tentang pola makan yang sehat.
Oleh karena itu sebagai muslim yang baik sudah sepatutya kita tidak melakukan hal-hal yang berdampak negatif seperti makanan berlebihan. Dengan tidak melakukan hal tersebut, diharapkan kita sebagai muslim dapat melaksanakan ibadah dengan baik dan benar sesuai syariat. Tidak hanya berdampak pada masalah agama saja, tetapi dengan tidak makan berlebihan juga dapat berdampak baik bagi kesehatan kita.
0 Comments