POTRET KONFLIK SOSIAL BERNUANSA KEAGAMAAN DI INDONESIA
Oleh: Qoridhotul Asri Ninggar
Indonesia dengan segala keberagamannya tentu sangat menarik perhatian untuk diulas. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki berbagai potensi terjadinya konflik. Kemajemukan ini adalah suatu kekayaan dan keistimewaan yang mana jika mampu untuk diarahkan ke hal-hal yang positif, maka akan menimbulkan dampak positif pula. Dalam arti yang lebih sempit, kemajemukan juga dapat memunculkan disintegrasi dan perpecahan. Bangsa Indonesia harus dapat mengambil sikap yang tepat, yakni tentang bagaimana agar nilai solidaritas sosial dapat dibentuk, menjunjung tinggi toleransi, dan saling menghargai antar umat beragama bukan tentang bagaimana menghancurkan kemajemukan yang ada.[1]
Usaha penafsiran kembali ajaran agama lahir dari cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik. Konflik agama dilahirkan sebab adanya perbedaan konsep maupun praktek yang dilaksanakan oleh pemeluk agama itu sendiri. Akan tetapi, mereka melenceng dari ajaran dan ketentuan yang telah disyariatkan oleh agama.[2] Seperti yang telah kita ketahui bahwa agama memiliki dua fungsi yang kontradiksi atau bertentangan. Menurut Talcott Prasons, agama sebagai resolusi dalam menyelesaikan sebuah konflik, sedangkan menurut Karl Marx agama sebagai pemicu atau penyebab konflik dapat terjadi.
Menurut kacamata psikologi, konflik dengan bentuk kekerasan banyak menarik minat psikolog untuk mengkajinya lebih lanjut. Seperti paparan Sigmund Freud yang memandang konflik atau kekerasan sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat dasariyah. Apabila diteropong dari perspektif negatif, konflik antar umat beragama di Indonesia tampaknya menjadi suatu ancaman. Penyebab konflik sendiri dapat berupa faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentimen etnis dan agama.[3]
Dalam perspektif sosiologis, manusia ialah makhluk sosial, dalam artian manusia tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan satu sama lain. Bahkan tidak hanya dalam lingkup antar manusia saja, tetapi lingkungan juga termasuk didalamnya. Interaksi menjadi pondasi hubungan sosial, baik interaksi antar manusia, kelompok bahkan yang lebih besar yakni antarnegara. Interaksi yang didalamnya mengandung konflik pada dasarnya telah berumur setua sejarah dari kemanusiaan itu sendiri.
Dalam Al-Qur’an telah disinggung mengenai potensi atau bahkan peluang munculnya sikap kurang baik pada diri manusia. Sebagaimana yang tertera pada Q.S Yusuf: 5 yang berbunyi
قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudarasaudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.
Ayat ini menjelaskan bahwa di dalam diri manusia memiliki suatu daya yang selalu berupaya menarik dirinya agar menyeleweng dari nilai-nilai dan norma ilahi. Apabila tidak dinetralisir oleh pengembangan potensi kebaikan dan lingkungan, kekuatan destruktif dalam diri akan mampu mendominasi. Atau dengan kata lain, konflik terpendam dalam diri manusia. Konflik ini bisa termanifestasi apabila luput dalam memahami ajaran agama.
Apabila diperhatikan dengan seksama, konflik sosial dalam masyarakat dapat disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya: (1) Perbedaan pendirian atau perasaan individu, (2) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga mencetak pribadi yang berbeda. Perbedaan nilai budaya juga dapat berpotensi mengakibatkan munculnya konflik, (3) Antara individu atau kelompok mempunyai kepentingan yang berbeda, baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya atau agama, juga berpotensi konflik, (4) Perubahan nilai-nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perselisihan sumber daya atau berbagai sumber rezeki atau kekuasaan dapat menjadi penyebab konflik sosial bernuansa agama bermula. Apabila perselisihan tersebut dapat terlaksana sesuai dengan aturan main yang mereka anggap adil, maka tidak akan terjadi konflik sosial di antara mereka. Pada zaman modern, konflik sosial bernuansa agama tidak hanya terjadi antara komunitas yang memeluk agama berbeda, tetapi kerap terjadi juga antara dua komunitas yang memeluk agama yang sama. Hal ini biasanya terjadi di bawah payung pemurnian agama atau pembersihan agama dari upaya atau ajaran sempalan (heresy).[4]
Secara lebih spesifik, konflik sosial bernuansa agama disebabkan oleh:
- Adanya klaim kebenaran. Interpretasi yang berbeda dan pemahaman yang mutlak terhadap kebenaran atas pluralitas manusia. Apabila dijadikan landasan dalam dakwah, pemahaman tersebut dapat menjadi sebab timbulnya konflik.
- Wilayah agama dan suku semakin kabur. Kasus ini dapat ditilik lagi ketika pemerintahan Habibi, AM. Saefuddin “menuduh” Megawati telah pindah agama dikarenakan beliau melihat kehadiran Megawati dalam suatu tradisi keagamaan suku tertentu.
- Doktrin jihad yang dipahami secara sempit
- Kurangnya sikap toleransi dalam beragama
- Minimnya pemahaman terhadap ideologi pluralisme
Konflik sosial keagamaan kerap terjadi belakangan ini, baik dalam skala internasional maupun nasional, bahkan ada yang bersifat lokal. Konflik ini bersifat destruktif dan berkepanjangan. Beberapa konflik baru antara umat beragama yang belum menemukan titik temunya diantaranya ialah konflik antar umat beragama di Moro Filipina (Islam dengan Kristen), pembantaian muslim Rohingnya oleh umat Budha di Myanmar, bentrokan sektarian di kota Boda, Republik Afrika Tengah yang melibatkan Muslim dengan Kristen, konflik di Poso, antara umat Islam dengan Kristen, serta konflik Syiah di Jawa Timur. Dewasa ini sebuah ancaman baru muncul lagi, yakni lahirnya ISIS yang bermaksud ingin mendirikan Daulah Islamiah di Irak dan Suriah. Berbagai organisasi agama bahkan sosial, serta pemimpin negara beramai-ramai menyumpah serapahi ISIS yang sedang menjelma sebagai kekuatan baru di dunia.
Di Indonesia khususnya, dapat diuraikan seperti dibawah ini:
- Konflik Agama di Poso
Konflik agama di Poso ini berawal dari konflik individu yang kemudian menjalar lebih luas sampai menyinggung pada aspek agama. Padahal apabila mengacu pada akar sejarahnya, sejarah terjadinya konflik bertumpu pada subsistem budaya yang dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Keduanya kemudian muncul dan menjadi bom waktu bagi tercerai-berainya umat beragama di Poso.[5]
2. Konflik Sunni dan Syiah di Jawa Timur
Jawa Timur yang mayoritas Muslimnya menganut tradisi NU (Nadlatul Ulama), menjadi salah satu basis utama daerah penyebaran aliran Syiah16. Gerakan dakwah Syiah mulai muncul sekitar tahun 80-an. Kelompok Syiah di Jawa Timur membangun basis di daerah Tapal Kuda dan sekitarnya. Karena itu, wilayah konflik antara Syiah dengan warga NU sering berada di sekitar daerah Tapal Kuda. Atau di daerah yang basis nadliyyinnya cukup kuat, seperti Madura.6
3. Dilema ketaatan pada pemerintah dan kepatuhan terhadap agama di Lombok, Nusa Tenggara Barat akibat adanya COVID-19
Kontroversi yang disebabkan oleh dikeluarkannya surat edaran MUI yang menginstruksikan masjid-masjid untuk meniadakan sholat jum’at. Sementara dalam hukum fiqh di Islam, sholat jum’at sendiri dihukumi fardhu a’in. Tentu saja hal ini memunculkan pro dan kontra. Konflik ini mengarah pada konflik konstruktif yang mana tidak menimbulkan kerugian yang besar, namun justru membuat perubahan sosial yang terjadi di masyarakat menuju ke arah yang positif. Dengan adanya konflik ini maka dapat semakin menguatkan identitas Lombok sebagai Pulau Seribu Masjid dengan tingkat kepatuhan terhadap agama yang tinggi.[6]
4. Konflik keagamaan yang terjadi di Kota Bandung antara umat muslim dengan umat kristen akibat pendirian Gereja Batak Karo Protestan di Jl. Kawaluyaan Kota Bandung pada 6 April 2016.
Resolusi atau penanganan yang dilakukan oleh Pemkot Bandung yaitu dengan menyediakan lembaga-lembaga atau forum-forum, salah satunya adalah Kesatuan Bangsa dan Politik yang didalamnya terdapat sebuah forum yang bernama FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Kemudian, penanganan dilaksanakan melalui beberapa pemuka agama dari masing-masing agama dengan saling mengingatkan agar saling meredam ego dan memberikan beberapa kajian. Para pemuka agama dari kedua belah pihak juga mengajarkan kembali ajaran agamanya agar hidup saling rukun.[7]
Resolusi atau penanganan yang dapat diambil untuk menyelesaikan konflik ini banyak hal yang perlu dicermati. Adanya konflik yang bersifat frontal dalam waktu singkat, harus diredakan terlebih dahulu. Dapat dilakukan dengan pendekatan hukum yang tegas. Sedangkan apabila dalam jangka panjang, dengan dicarikan solusi misalnya mencari akar permasalahan, mengkampanyekan pendidikan yang berdimensi pluralistik, dakwah yang penuh hikmah dengan muatan yang tidak memicu konflik. Yang tidak kalah pentingnya ialah mewujudkan keadilan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun agama. Serta yang paling penting kita harus membangun sikap toleransi antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah BM, St. “Konflik Sosial Dalam Hubungan Antar Umat Beragama.” Jurnal Dakwah Tabligh 15, no. 2 (2014): 189.
Azizah, Lutfatul, Nuruddin Uin, Mataram Jl, and Mada Gajah. “Konflik Sosial Keagamaan Dimasa Pandemi Covid-19.” Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 4, no. 1 (2021): 96–105.
https://doi.org/10.20414/sangkep.v2i2.p-ISSN.
Hasbullah. “Konflik Sosial Bernuansa Religius.” Jurnal Ushuluddin 18, no. 1 (2012): 44.
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/697.
Rahmana, Zulfiqri Sonis. “Resolusi Konflik Sosial Keagamaan Di Kota Bandung.” Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya 2, no. 2 (2018): 162–67. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v2i2.3105.
Yunus, Firdaus M. “Konflik Agama Di Indonesia Problem Dan Solusi Pemecahannya.” Substantia 16, no. 2 (2014): 224.
[1] Hasbullah, “Konflik Sosial Bernuansa Religius,” Jurnal Ushuluddin 18, no. 1 (2012): 44, http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/697.
[2] Firdaus M Yunus, “Konflik Agama Di Indonesia Problem Dan Solusi Pemecahannya,” Substantia 16, no. 2 (2014): 224.
[3] St Aisyah BM, “Konflik Sosial Dalam Hubungan Antar Umat Beragama,” Jurnal Dakwah Tabligh 15, no. 2 (2014): 189.
[4] Hasbullah, “Konflik Sosial Bernuansa Religius.”
[5] Yunus, “Konflik Agama Di Indonesia Problem Dan Solusi Pemecahannya.” 6 Yunus.
[6] Lutfatul Azizah et al., “Konflik Sosial Keagamaan Dimasa Pandemi Covid-19,” Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 4, no. 1 (2021): 96–105, https://doi.org/10.20414/sangkep.v2i2.p-ISSN.
[7] Zulfiqri Sonis Rahmana, “Resolusi Konflik Sosial Keagamaan Di Kota Bandung,” Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya 2, no. 2 (2018): 162–67, https://doi.org/10.15575/rjsalb.v2i2.3105.
0 Comments