Menengok Makna Puasa Dari Kacamata Gramatikal dan Balaghah (Ringkasan Kajian Tafsir Ayat Puasa Perspektif Gramatikal dan Balaghah yang disampaikan Ustadz Muhbib Abdul Wahab, Kaprodi MPBA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Mohammad Sofi Anwar

يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصَّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa sebagiamana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Al Baqarah: 183)

Puasa merupakan ibadah tahunan (‘ibadah sanawiyyah) yang harus dipahami secara komprehensif agar tujuan pensyariatannya bisa terwujud. Itulah yang dikatakan Ustaz Muhbib Abdul Wahab pada kajian ramadhan beberapa hari yang lalu. Selama ini pembahasan tentang puasa hanya sebatas tata cara, rukun, dan keutamaanya, tanpa melihat dari sisi perspektif linguistik. Padahal jika kita melihat makna puasa dari kacamata linguistik seperti gramatikal dan balaghah akan sangat menarik. Oleh karenanya, penulis mencoba membuat ringkasan kajian tafsir ayat puasa dari perspektif gramatikal bahasa Arab dan balaghah yang disampaikan Ustaz Muhbib Abdul Wahab beberapa hari yang lalu. Diharapkan ringkasan kajian ini bisa menambah wawasan keilmuan penulis secara khusus dan pembaca pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan puasa.

Ustadz Muhbib Abdul Wahab yang menyampaikan kajian ini adalah Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau juga merupakan wakil ketua umum ikatan pengajar bahasa Arab Indonesia yang lebih dikenal dengan Ittihad Mudarrisy Al Lughah Al Arabiyah bi Indunisiya (IMLA). Beliau juga aktif menjadi narasumber di berbagai seminar tentang kebahasaaraban dan pembelajaran bahasa Arab yang diadakan perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Tulisan-tulisan beliau tentang pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab juga sangat banyak, sehingga bukan tidak pantas jika para pemerhati bahasa Arab baik dari kalangan dosen, peneliti, guru, dan mahasiswa menyebutnya sebagai pakar bidang pembelajaran bahasa Arab. Berikut hasil ringkasan kajian beliau yang membahas ayat-ayat puasa dari sisi gramatikal dan balaghah.

Puasa berasal dari bahasa Arab shoum atau siyam adalah bentuk mashdar dari shooma-yashumu-souman wa siyaaman dijumpai 13 kali dalam Al Quran tersebar dalam 6 surat dan 11 ayat. Dari segi bahasa shoum atau siyaam berarti mencegah, menahan diri atau mengendalikan diri yang dalam bahasa Arab disebut al imsak al imtina’. Kata puasa yang kita pakai sehari-hari berasal dari bahasa sansekerta, upawasa yang artinya sama dengan shiyam yaitu menahan diri dan mengendalikan diri. Dalam istilah syar’i  puasa dimaknai sebagai menahan hawa nafsu dari segala keinginan yang membatalkan puasa itu sendiri seperti makan, minum, berhubungan badan antara suami istri mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari disertai niat karena Allah.

Puasa adalah ibadah yang bersifat universal, artinya dilakukan oleh seluruh umat manusia. Puasa juga bisa dikatakan ibadah lintas masa, artinya puasa ini sudah disyariatkan bagi umat terdahulu maupun sekarang. Hal ini sesuai dengan firman Allah كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ  yang artinya sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Penggalan ayat ini menjadi dasar bahwa puasa sudah disyariatkan sejak sebelum Islam datang. Puasa juga disebut ibadah lintas agama, karena tidak hanya dilakukan orang islam saja. Seperti umat Yahudi yang berpuasa pada hari asyuro sebagai wujud rasa syukur atas selamatnya nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Sedangkan umat Nasrani berpuasa selama 40 hari dan berpantang memakan binatang bernyawa.

Ustadz Muhbib melanjutkan presentasinya dengan menjelaskan penafsiran Q.S Al Baqoroh ayat 183. Ayatnya sebagaimana dibawah ini

يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصَّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa sebagiamana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa

Ustadz` Muhbib mengajak kami untuk memperhatikan ayat tersebut. Jika kita perhatikan, ayat ini dimulai dengan kata يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا yang artinya Wahai orang-orang yang beriman. Permulaan ayat tersebut diawali dengan Ya’ Nida’ yang berarti panggilan atau seruan. Penggunaan ya’ nida’ ini diperdebatkan di kalangan para ‘ulama’, di antaranya:

  1. Ibnu Malik, berpendapat bahwa ya’ itu digunakan untuk memanggil yang jauh.
  2. Abu Hayyan At Tauhidi, berpendapat ya’ itu digunakan untuk memanggil yang jauh maupun yang dekat
  3. Ibnu Hisyam Al Anshari, mengambil jalan tengah dari dua pendapat sebelumnya. Ya’ itu pada mulanya digunakan untuk memanggil yang jauh, akan tetapi juga bisa digunakan untuk memanggil yang dekat sebagai penegasan (taukid) dan konfirmasi terhadap pentingnya isi panggilan.

Muhammad At Thahir Ibn ‘Asyur dalam At Tafsir wa At Tanwir menjelaskan bahwa Q.S. Al Baqarah 183 diawali يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا karena ayat ini mengandung penyampaian berita penting dan hebat yang diharapkan menjadi perhatian  yang menyentuh dan menyadarkan hati yang diseru untuk mau menerima kewajiban tersebut.

Panggilan tersebut juga dikuatkan dengan penggunaan “Ayyuha”, karena /ha/ pada ayyu bermakna tanbih yang artinya memberi peringatan, perhatian, dan peneguhan. Artinya yang dipanggil sekaligus isi panggilannya sangat penting, sehingga perlu diberikan perhatian khusus. Sehingga orang-orang yang beriman semakin yakin dan ikhlas menerima perintah puasa.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ayat Al Baqarah menggunakan uslub al amr atau yang bisa kita pahami dengan gaya bahasa perintah (imperatif) yang tidak langsung. Tidak seperti ayat أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ  yang menggunakan gaya bahasa perintah langsung menggunakan fi’il amr. Menurut sebagian ahli tafsir penggunaan gaya bahasa perintah tidak langsung pada Al Baqarah 183 menunjukkan bahwa boleh jadi tanpa diperintah langsung manusia sudah mengetahui manfaat dan hebatnya bahasa. Dalam perspektif gramatikal uslub atau gaya bahasa seperti ini mengandung pesan yang sangat kuat. Karena kalimat atau redaksi ayat 183 dilanjutkan dengan kata كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ  yang menunjukkan bahwa puasa Ramadhan mendapat referensi historis sekaligus teladan kebaikan dari umat terdahulu. Oleh karenanya kita tidak perlu merasa berat dan ragu akan kebaikan yang ada dalam puasa Ramadan.

Ustadz Muhbib menambahkan penjelasannya bahwa potongan ayat كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ menggunakan fi’il mabni lil majhul sehingga ayatnya tidak كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ . Hal ini ada dua kemungkinan. Yang pertama karena pelakunya tidak diketahui dan peluangnya adalah karena sudah diketahui yang memerintah. Boleh jadi Allah boleh jadi juga manusia itu sendiri. Sehingga dalam konteks ini pesan perintah puasa dalam bentuk kalimat deklaratif jauh lebih kuat. Sehingga kita boleh menafsirkan bahwa yang memerintah berpuasa adalah Allah sekaligus manusia, karena ibadah puasa sudah dikenal oleh umat terdahulu.

Dilihat dari perspektif balaghah, ayat 183 terdapat penggunaan tasybih yaitu pada kata كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ  . penggunaan tasybih ini menunjukkan adanya kesetaraan perintah atau kewajiban. Jika umat terdahulu diwajibkan berpuasa dan umat Muhammad juga diwajibkan berpuasa, maka nilai kebaikan dan manfaat yang diperoleh dari puasa penting untuk dilestarikan. Hal ini menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah lintas agama, suku bangsa, dan berlaku universal.

Jika dicermati secara gramatikal, Al Baqarah 183 diakhiri dengan ungkapan لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ, selanjutnya ayat 184 diakhiri  dengan ungkapan إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْن , ayat 185 diakhiri dengan ungkapan لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْن, sedangkan ayat 187 diakhiri dengan لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْن.

Jika kita perhatikan, Al Baqarah ayat 183, 184, 185, dan 187 diakhiri dengan fi’il mudhari’ dan kata la’alla (لَعَلَّ) artinya semoga, harapan, positif. Menggunakan fi’il mudhari’ maknanya puasa  harus berwawasan masa kini dan masa mendatang. Jika dikaitkan dengan ayat 183 maknanya adalah ketakwaan tidak boleh hanya terwujud saat Ramadan. Ketakwaan harus mengawali, menyertai, mengakhiri, dan sekaligus menindaklanjuti setelah Ramadan. Hal ini sesuai dengan fi’il mudhari’ bermakna sekarang dan masa mendatang (lil hal wal mustaqbal). Maka ketakwaan harus dijalani terus tidak hanya saat Ramadan.

Selain ayat 184, ayat-ayat lainnya dirangkai dengan kata la’alla (لَعَلَّ) yang menunjukkan arti harapan (tarajji). Artinya Ramadan harus menjadi bulan penuh harapan menuju perubahan dan peningkatan ke arah yang lebih baik dan bermakna. Di antara harapan tersebut jika dirunut dari ayat 183 adalah harapan untuk:

  1. Harapan menjadi orang bertaqwa (la’allakum tattaquun). Dalam menafsirkan ayat ini, sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa ‘mudah-mudahan kalian semua dapat menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan.’ sebab orang yang berpuasa itu sudah semestinya antimaksiat. Makan dan minum saja tidak mau di siang hari, apalagi bermaksiat
  2. Harapan menjadi orang berilmu (la’allahum ta’lamuun). Ilmu harus menjadi dasar bagi kita dalam menggali makna, rahasi, dan hikmah puasa. Sebaliknya, puasa hendaknya mengantarkan kita untuk selalu menggali dan mengembangkan ilmu
  3. Harapan bersyukur (la’allakum tasykuruun). Bersyukur merupakan nilai positif dan konstruktif bagi orang yang berpuasa, karena ketika merasa letih, lapar, haus, dan dahaga, lalu pada saat berbuka dapat menikmati apa yang menjadi hak mulut dan perut.
  4. Harapan menjadi orang yang berada dalam kebenaran (la’allahum yarsyuduun). Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah merupakan prasyarat yang mengantarkan seseorang itu memperoleh jalan kebenaran dalam menjalani kehidupan ini
  5. Harapan menjadi orang yang bertaqwa (la’allahum yattaquun). Menjadi orang yang bertakwa harus tahu diri, tahu batas, dan tahu yang pantas. Tahu diri artinya bisa mengendalikan hawa nafsu, tahu batas berarti mengetahui larangan-larangan Allah, dan tahu yang pantas artinya berusaha untuk menampilkan performa diri yang terbaik sesuai dengan batas kemampuannya

Dengan mengetahui makna puasa dari kacamata gramatikal bahasa Arab dan balaghah, diharapkan kita sebagai orang yang beriman bisa mencapai harapan-harapan sebagaimana yang telah disebutkan dengan membuat perencanaan dan target yang jelas. Sehingga Ramadan tahun ini dan tahun-tahun mendatang diharapkan membuahkan perubahan pembentukan jiwa ke arah yang lebih baik. Sehingga peningkatan iman dan takwa dalam diri kita menjadi lebih bermakna.

Wallahu a’lam bisshowaab…..

Referensi

https://youtu.be/OWztcVqdv-k (link YouTube kajian Ramadhan tafsir ayat puasa dalam perspektif gramatikal dan balaghah)

Al Qur’an Al Kariim

Muhammad At Thahir Ibn ‘Asyur, At Tafsir wa At Tanwir

Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir

Categories: FIQIH

0 Comments

Leave a Reply