PEGADAIAN HALAL

Published by Buletin Al Anwar on

Much. Romi Imanudin

Kegiatan ekonomi bias dibilang sama tuanya dengan histori manusaia itu sendiri. Ekonomi telah ada sejak diturunkannya Nabi Adam dan Hawa kepermukaan bumi. Perkembangan ekonomi sejalan dengan perkembangan manusia dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang dimilikinya. Sebagai umat islam yakin bahwa al-Qur’an dan Sunnah telah menata alur kehidupan ekonomi, dan untuk mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah telah menyediakan sumber daya dan memberi kebebasan manusisa untuk memanfaatkannya. Tapi nyatanya, kita dihadapkan pada sistem ekonomi konvensional yang jauh lebih berpengaruh perkembangannya ketimbang sistem ekonomi syariah. Kita lebih terbiasa dan paham dengan kultur ekonomi konvensional dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangannnya. Sebagai umat islam, diminta untuk menerapkan kaidah keislaman dalam segala segi kehidupan, termasuk segi ekonomi. Bagi masyarakat Indonesia adanya ekonomi syariah sangat dibutuhkan karna mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Sehingga kebutuhan akan transaksi ekonomi syariah sangat di cari agar sesuai dengan kaidah Islam.

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi juga diikuti perkembangan ekonomi yang semakin pesat, semua kegiatan perekonomian bisa dilakukan dengan teknologi dari hal kecil yang sudah sering di jumpai seperti belanja online, transaksi bank dengan smartphone dan lain sebagainya. Semua kemudahan itu diperoleh berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun seiring dengan kemudahan tersebut kesenjangan ekonomi di masyarakat menjadi tinggi, kalangan menengah ke atas dimudahkan dengan teknologi dalam mengelola dan mengembangkan ekonominya sedangkan kalangan menengah ke bawah masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Tak sedikit dari masyarakat yang terpaksa menggadaikan benda-benda berharganya untuk biaya hidup sehari-hari atau untuk modal usaha. Dari sekian banyak pegadaian yang tersebar di masyarakat merupakan pegadaian konvensional yang pada umumnya menentukan sewa modal atau bunga berdasar jumlah pinjaman yang ditentukan. Pada perbangkan syariah, gadai diaplikasikan sebagai aplikasi tambahan, yaitu digunakan untuk akad tambahan yang berresiko yang perlu jaminan tambahan. Sebagai opsi lain yang disediakan penggadaian konvensional di mana nasabah dalam gadai syariah tidak dibebani bunga tetap, namun hanya dikenakan biaya penitipan, pemeliharaan, dan penjagaan. 

Sejarah pegadaian modern awal mulanya berkembang di Negara Italia yang kemudian juga diaplikasikan di wilayah Eropa lainnya seperti Belanda dan Inggris. Sistem pegadaian itu sendiri awal mula masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Belanda dan dikembangkan oleh VOC. Seiring dengan berjalannya waktu sistem pegadaian masih digunakan hingga jaman sekarang dengan sistem yang sama yakni konvensional. Di sisi lain banyak dari kalangan muslim yang khawatir dengan sistem pegadaian konvensional yang mengandung riba karna membayar bunga. Dari situlah mulai bermunculan pegadaian serta bank yang menawarkan sistem gadai syariah.

Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan bisa juga dinamai al- habsu (Pasaribu, 1996). Secara etimologis, pengertian rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al- habsu berarti penahanan terhadap suatu barang tersebut (Syafei, 2001). Sedangkan menurut Sabiq (1987), rahn adalah menjadikan barang yang memiliki nilai harta dari sudut pandang syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang terlibah boleh mengambil sebagian manfaat barangnya itu. Mengenai pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab al-Mughni adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari nilai harga barang tersebut, apabila yang berhutang tidak mampu melunasinya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al-Anshary dalam kitab Fathul Wahab mendeskripsikan rahn yakni, menjadikan benda yang bersifat harta benda itu sebagai kepercayaan bila utang tidak terbayar. (Sudarsono, 2003).

Gadai syariah tidak menerapkan sistem berbunga, tidak pula mengambil untung dari sistem bunga pinjaman maupun bagi hasil. Namun hanya mengambil untung dari upah jasa pemeliharaan barang jaminan atau upah penitipan barang jaminan. Konsep praktik penggadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu, asas efisiensi, rasionalitas, dan efektivitas yang bersesuaian dengan nilai Islam. Penggadaian syariah dalam melaksanakan praktiknya berpedoman pada prinsip syariah. Naungan hukum gadai syariah dalam hal pemenuhan prinsip – prinsip syariah berpedoman pada fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn yang menyebutkan bahwasanya pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan.

Sebagai referensi atau pondasi hukum pinjam meminjam dengan jaminan (gadai) ialah firman Allah SWT, berikut  :

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجرُوْ اكَاتِبًا فَرِهَنٌ مَقْبُوضةٌ فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَوِّ الَّزِى اؤتُمِنَ اَمَا نَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَتَكْتُمُوا الشَّهَادَةُ وَمن يَكْتُمهَا فَاِنَّهُ اثِمُ قَلْبُهُ والله بِمَا تَعملُوْنَ عَلِيْمٌ

“ dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain hendaklah yang dipecayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, tuhannya, dan jangalah kamu menyembunyikan kesaksian karena barang siapa yang menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.Al-baqarah:283)

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas R.A. Beliau berkata:

تُوَ فَّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و َدِزعُهُ مَرْهُوَ نَهٌ عِنْرَ يَهُوْدِي بِثَلاَ ثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ لأَهْلِهِ

“ Rasullullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi (abu syahm) dengan 30 sha’ gandum keluarganya (muttafaqud alaih) “

            Dari hadis tersebut dapat dimengerti bahwa agama Islam tidak mendiskriminasi  antara orang muslim dan orang non muslim di dalam bidang muamalah, maka seorang muslim  tetap wajib melunasi utangnya walaupun utang terebut kepada non muslim.

Transaksi gadai menurut syariah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu yaitu:

  1. Rukun gadai : terdapat ijab dan kabul; terdapat pihak yang berakad yakni pihak yang menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin); terdapat jaminan (marhun) berupa benda atau harta; terdapat utang (marhun bih).
  2. Syarat sah gadai, rahn dan murtahin dengan syarat-syarat : kemampuan juga berarti kelayakan seseorang dalam melakukan transaksi kepemilikan, setiap orang yang sah melakukan transaksi jual-beli, sah juga melakukan gadai. Dengan syarat tidak boleh terkait dengan masa yang akan datang dan syarat-syarat khusus.

Menurut fatwa DSN–MUI No.25/DSN–MUI/III/2002 ketentuan berikut harus terpenuhi oleh gadai syariah :

  1. Murtahin berhak menahan barang/benda sampai semua utang terlunasi.
  2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahn.
  3. Rahn berkewajiban melakukan pemeliharaan dan penyimpanan marhun, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin.
  4. Besar upah pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
  5. Penjualan marhun yaitu : apabila sudah jatuh tempo, murtahin harus memberi peringatan kepada rahn untuk segera melunasi hutangnya. Apabila rahn tetap tidak sanggup melunasi hutangnya, maka hasil penjualan marhun dipergunakan untuk melunasi hutangnya.

Menurut fatwa DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 gadai emas syariah wajib memenuhi ketentuan-ketentuan umum berikut :

  1. Rahn emas diizinkan berdasar prinsip rahn.
  2. Upah dan biaya penyimpanan barang ditangung oleh penggadai (rahn).
  3. Besar upah penyimpanan didasarkan pada pengeluaran yang memang nyata diperlukan.
  4. Biaya penyimpanan barang dilaksanakan berdasar akad ijarah.

Pada dasarnya pegadaian syariah berjalan atas dua akad yakni akad rahn dengan ijarah. Akad rahn yang dimaksud yakni dengan menahan harta milik peminjam sebagai jaminan terhadap pinjaman yang telah diterima, sedangkan ijarah ialah pemindahan hak milik guna atas barang dan jasa lewat pembayaran upah sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang sendiri. Prosedur operasional pegadaian syariah melalui akad rahn, nasabah memberikan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawat barang tersebut di tempat yang sudah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang muncul dari proses penyimpanan ialah munculnya biaya–biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dari ke semua proses kegiatannya. Akad gadai syariah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :

  1. Akad tidak mengandung syarat fisik/batil seperti murtahi mensyaratkan barang jaminan bisa dimanfaat tanpa batas.
  2. Marhun bisa dijual dan nilainya setara dengan pinjaman, merupakan milik sah dari rahn.
  3. Marhun bih (pinjaman) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang rahn-kan.
  4. Rahn terbebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi. (Sumitra, 2009)

Dari kajian yang sudah di uraikan, bahwasanya gadai syariah tidak membebankan bunga tetap kepada nasabah, melainkan hanya mengambil biaya penitipan, pemeliharaan. Menjadikan barang atau benda yang memiliki nilai harta dari sudut pandang syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang terlibat boleh mengambil sebagian manfaat barangnya itu. Dengan menjalankan rukun gadai syariah di antaranya terdapat ijab dan kabul, terdapat pihak yang berakad antara yang menggadaikan dan yang menerima gadai, terdapat jaminan berupa barang atau harta , dan terdapat hutang. Serta dengan syarat yang menyatakan bahwa seseorang layak melakukan gadai. Dengan adanya sistem gadai syariah dapat menjadi pilihan utama umat muslim jika ingin menggadaikan barangnya karna tidak berbunga yang mengandung unsur riba. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’an dan Terjemahnya Kemenag RI. Web : https://quran.kemenag.go.id/

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI). Web : https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/

Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal 43

Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K Lubis. 1996. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta:Sinar Grafika

Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih Sunnah.Bandung : Al Maarif 

Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta : Ekonisia

Sumitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hal 41

Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Jakarta : Salemba Diniyah


0 Comments

Leave a Reply