PERUBAHAN ZAMAN DAN TANTANGAN SYIAR ISLAM DI MASA DEPAN

Published by Buletin Al Anwar on

Ahmada Rivqy Virdausa

rivqy.virdausa@gmail.com

Sejalan dengan arah kemajuan kehidupan manusia, modernisme, dan perubahan zaman, Islam dan nilai-nilainya dituntut harus turut andil dalam mengisi kehidupan manusia dalam segala perubahannya, bukan justru luntur dengan budaya-budaya yang mengikis nilai-nilai keislaman tersebut. Kebutuhan kehidupan manusia di tengah hiruk pikuk perkembangan zaman terhadap nilai-nilai moral keislaman adalah hal yang tidak bisa ditolak. Sebab, Islam hadir sebagai pedoman dan penuntun agar kehidupan manusia selalu berada pada jalan yang seharusnya, tidak menyimpang dari syariat dan menimbulkan kerusakan terhadap manusia itu sendiri. Dengan segala tuntunannya, Islam hadir untuk membawa kehidupan manusia untuk selalu berada dalam keteraturan dan kedamaian di antara umat Islam, bahkan di antara seluruh umat manusia.

Melihat hal tersebut, maka Islam dan segala pemeluknya dituntut untuk turut andil dalam mengisi lini-lini –termasuk di dalamnya profesi– dalam kehidupan sosial masyarakat maupun kenegaraan di tengah modernisme zaman ini. Hal ini diperlukan, di samping selain untuk menjaga syiar Islam, juga untuk menjaga kehidupan masyarakat maupun kenegaraan dari tangan orang-orang zalim yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya di posisi-posisi strategis yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan umat. Umat Islam –terutama santri– tentu memiliki tanggung jawab yang besar pula dalam turut andil dalam persoalan ini. Nilai-nilai kebaikan dalam Islam tidak hanya dapat dinilai dari tingkat ketaatan pemeluknya terhadap tuhannya, namun juga bagaimana ia dapat menjaga eksistensi Islamnya di tengah perubahan zaman dengan segala usaha dan kreativitas sehingga tercipta kemajuan Islam di setiap zaman, bukan malah terjadi kemunduran.

Berkaca dari zaman kejayaan Islam pada masa dahulu –masa Abbasiyyah misalnya–, umat Islam dapat memimpin kemajuan dunia dari segala lini, termasuk peradaban dan ilmu pengetahuan, dan bukan hanya berkutat pada ilmu fikih maupun tasawuf belaka. Sehingga dengan hal tersebut, umat Islam menjadi menjadi kiblat kemajuan peradaban dan pemikiran di tengah masa kegelapan Eropa. Namun pada masa sekarang, umat Islam cenderung terlihat berada pada kejumudan dan kurang terlihat di tengah kemajuan zaman. Masih banyak kemiskinan di negara-negara yang banyak dihuni oleh pemeluk Islam, serta banyak kezaliman yang terjadi di dalam masyarakat. Seharusnya, umat Islam mampu berkaca dari kejayaan Islam di zaman dahulu. Sebagai seorang santri, kita tentu tidak boleh cuek dan masa bodoh dengan hiruk pikuk keduniawian. Santri tidak melulu berkutat pada ilmu agama saja, namun harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai agamanya di dalam berbagai lini kehidupan masyarakat dan menegakkan syiar Islam di dalamnya. Tanpa adanya andil dari santri –maupun pemeluk Islam lainnya–, maka posisi-posisi strategis kehidupan sosial masyarakat maupun kenegaraan bisa saja dipegang oleh orang-orang yang kurang bertanggungjawab. 

Mengutip dari maqolah KH. Hasyim Sholeh, pendiri Ponpes Darul Huda Mayak, beliau berpesan bahwa: “Santri iku oleh dadi opo wae, sing penting berilmu, beramal, bertakwa (Santri itu boleh menjadi [berprofesi] menjadi apapun, yang penting tetap berilmu, beramal dan bertakwa)”. Ini mengandung pesan bahwa umat Islam, terutama santri, tidak boleh masa bodoh dengan kehidupan masyarakat, di mana kita harus turut mengambil andil di dalam kehidupan masyarakat maupun kenegaraan. Hal ini sebagai jalan dakwah dan syiar Islam, di mana dalam menerapkan dan menjalankan semua hal kepentingan yang berhubungan dengan umat, ia akan selalu berpedoman dengan nilai-nilai keislaman dan kemaslahatan, bukan menyalahgunakan kekuasaan dan kecerdasannya untuk kepentingan segelintir orang sehingga mengesampingkan kemaslahatan umat.

Pentingnya umat Islam untuk turut mengambil andil dalam kemajuan Islam di tengah kehidupan sosial masyarakat dan kenegaraan adalah sejalan dengan tiga prinsip hubungan manusia, yaitu hablun minallah, hablun minannas, dan ditambah dengan hablun minal ‘alam. Dalam konteks Al-Qur’an, perintah menjalankan salat selalu disandingkan atau disusul dengan perintah untuk menunaikan zakat, yang dari sini bisa diambil nilai bahwa perintah untuk taat kepada Allah itu juga harus dilengkapi dengan berlaku baik dalam hubungannya dengan sesama manusia. Juga seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 177:

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Baqarah:2)

Di dalam ayat di atas, bahwasanya kebaikan itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi, yang di sini dapat digolongkan sebagai hablun minallah. Namun di samping itu, tidak hanya cukup beriman atau hablun minallah, tetapi termasuk kebaikan adalah orang-orang yang menyedekahkan hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti kerabatnya, kemudian anak-anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, kemudian memerdekakan budak melaksanakan salat dan menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji, sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan, yang pada akhirnya orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan tersebut digolongkan ke dalam orang-orang yang benar dan tergolong orang-orang yang bertakwa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kebaikan dan ketakwaan,  hablun minallah itu selalu dilengkapi dengan hablun minannas.

Jika kita teliti lebih dalam dari hablun minannas, maka di dalamnya mengandung usaha untuk bersama-sama membangun umat menuju kemajuan dan kedamaian bersama. Dalam konteks sosial masyarakat ataupun kenegaraan, maka jika umat Islam mengamalkan apa yang diperintahkan di dalam Al-Quran untuk sama-sama membangun dan memajukan umat, maka kedamaian dan kemajuan umat maupun masyarakat dapat tercipta. Dengan kedamaian dan kemajuan umat tersebut, maka Islam dapat menampakkan syiarnya kepada dunia, bahwasanya Islam itu hadir untuk membawa kedamaian dan kebaikan untuk kehidupan manusia. Di sisi lain, kemunduran, kemelaratan dan kemiskinan merupakan hal yang melemahkan umat. Jangan dikira bahwa persoalan kemajuan dan ekonomi umat atau masyarakat merupakan hal yang kurang penting, dengan argumen bahwa yang terpenting bagi umat Islam adalah mengejar kebaikan akhirat. Rasulullah Muhammad SAW dalam sabdanya mengenai bahaya dari kemiskinan:

Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran”.

Dari Hadits tersebut, bisa diambil nilai di dalamnya. Bahwa keadaan miskin atau kemelaratan seseorang bisa saja membahayakan dirinya. Bisa saja dalam keadaan yang sangat kepepet dan ia tak memiliki jalan keluar lain, ia bisa saja tergoda sehingga berpikiran untuk melakukan perbuatan kemaksiatan demi memenuhi kebutuhannya. Memang benar, di sisi lain seseorang yang dalam keadaan miskin namun ia bersabar dan menjaga dirinya dari perbuatan yang melanggar syariat maka baginya nilai dan ganjaran tersendiri. Namun, berkaca dari kasus-kasus sosial masyarakat yang terjadi di lingkungan negara kita, pencurian, prostitusi, dan beberapa perbuatan buruk lainnya adalah disebabkan lemahnya seseorang dalam basis perekonomian. Contoh lain misalnya, banyaknya orang-orang tunawisma yang berkeliaran di jalanan, atau perkampungan kumuh yang tidak sejalan dengan prinsip kemajuan dan kebaikan dalam Islam yang mengajarkan keindahan.

Dari hal-hal di atas, maka kemajuan umat Islam dalam membangun masyarakat dan negara sangat dibutuhkan. Hal tersebut tidak lain adalah bertujuan untuk syiar Islam ke dalam kehidupan manusia. Kemajuan-kemajuan yang dibutuhkan bukan hanya dalam lingkungan keilmuan keagamaan semata, namun harus dikuatkan dengan kuatnya umat atau masyarakat dari segi kemajuan peradaban, keilmuan umum atau sains, serta yang terpenting juga adalah kuatnya basis perekonomian umat Islam dan masyarakat. Kemajuan-kemajuan tersebut akan dapat tercapai jika umat Islam –apalagi kita sebagai santri– turut mengambil andil dalam memajukan umat, baik dengan turut andil dalam lini-lini masyarakat dan negara dengan mengisi posisi-posisi strategis yang memiliki pengaruh besar terhadap kemajuan umat dan masyarakat, seperti mengisi posisi kepemimpinan, ilmuan, ataupun posisi atau profesi lainnya, dan selalu mengamalkan ilmu agamanya dalam menyelesaikan permasalahan umat dengan berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman dan kemaslahatan. Kesimpulannya, dalam arus perubahan zaman ini, umat Islam tidak boleh lengah dan masa bodoh dengan permasalahan keduniawian, sehingga syiar Islam di dunia tidak akan pernah melemah atau bahkan menghilang dengan terkikis oleh perkembangan peradaban ataupun modernisme. Umat Islam harus turut ambil andil dalam memajukan kehidupan masyarakat, yang mana kemajuan masyarakat tersebut nantinya akan menciptakan kedamaian kehidupan umat dan masyarakat. Kedamaian dan kemajuan umat akan diperoleh jika umat Islam menjalankan nilai-nilai atau prinsip hablun minallah dan hablun minannas. Sehingga selain menguatkan hubungannya dengan Sang Pencipta, ia juga berlaku baik kepada lingkungan hidupnya, terutama kepada sesama umat dan masyarakat sekitarnya. Wujud hubungan baik dengan sesama manusia tersebut bisa dalam hal penguatan basis perekonomian yang merupakan salah satu faktor kemajuan suatu masyarakat. Kuatnya umat atau masyarakat dalam hal perekonomian, pemimpin yang adil dan masyarakat yang damai dan teratur dan melaksanakan nilai-nilai Islam yang mana tidak terkikis oleh perubahan zaman, maka dengan sendirinya secara tidak langsung, umat Islam ataupun masyarakat telah menjaga syiar dan eksistensi Islam dalam kehidupan.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *