History Of Qurban: Kurikulum Merdeka Dalam Konteks Pendidikan Anak Ala Nabi Ibrahim

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Mohammad Sofi Anwar

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ إِنِّي اَرٰى فِيْ المَنَام أَنّيِ أَذْبَحُكَ فَانْظر مَاذَا تَرَى قَالَ يٰاَبَت اِفْعَلْ مَاتُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”. Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(Q.S. Ash- Shaffat: 102)

Di antara topik yang ramai dibicarakan ketika memasuki bulan dzulhijjah seperti sekarang ini adalah manasik haji, hari tarwiyah dan ‘arofah, ‘idhul adha, dan qurban. Berbicara tentang qurban pasti kita selalu diingatkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Di mana dalam beberapa riwayat diceritakan bahwa Allah menguji keimanan nabi Ibrahim melalui perintah menyembelih putra yang diidam-idamkannya selama ini, yakni Ismail. Hingga akhirnya Ibrahim lulus dari ujian tersebut dan Allah mengganti Ismail dengan dzibhin ‘adziimin atau sembelihan yang besar.

Kisah-kisah semacam ini pasti sudah tidak asing di telinga kita, bahkan kisah ini selalu disampaikan dalam ceramah dan khutbah di bulan dzulhijjah seperti sekarang ini. Pun demikian dengan kisah syaithan yang berusaha meruntuhkan keyakinan Ibrahim dan istrinya, Siti Hajar. Namun pada kesempatan kali ini, penulis tidak ingin membahas kisah tersebut. Selain sudah banyak sekali referensi yang membahas kisah ini, ada sisi lain yang mungkin jarang dibahas yaitu pola pendidikan nabi Ibrahim kepada putranya, Ismail. Nabi Ibrahim telah menerapkan kurikulum merdeka dalam mendidik Ismail. Di mana kurikulum merdeka merupakan kurikulum yang digembor-gemborkan pemerintah saat ini.

Dikutip dari “Buku Saku Tanya Jawab Kurikulum Merdeka” yang dikeluarkan Direktorat Jendral PAUD Dikdas dan Dikmen Kemendikbudristek bahwa kurikulum merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu guna mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Kurikulum merdeka memberi kebebasan dan otonomi pada pelajar dari suatu lembaga pendidikan untuk memilih dan mempelajari bidang yang disukai. Hal ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Menurut Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, kurikulum merdeka maupun merdeka belajar merupakan sebuah konsep yang disusun agar siswa bisa mendalami minat dan bakatnya masing-masing. Artinya jika dua anak dalam satu keluarga memiliki minat yang berbeda, maka tolok ukur yang digunakan dalam penilaian tentunya juga berbeda. Anak juga tidak bisa dipaksa mempelajari sesuatu yang tidak disukai. Orang tua tidak bisa begitu saja memaksakan kehendak kepada anak yang menyukai bela diri untuk mendalami bahasa Inggris begitu juga sebaliknya. Lebih lanjut Nadiem mengungkapkan bahwa “pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu dan keinginan belajar. Jadi tidak ada anak yang malas atau tidak bisa”, pungkas Nadiem.

Jika kita perhatikan kembali Q.S Ash Shaffat ayat 102 di atas, akan kita temukan fakta bahwa nabi Ibrahim telah menerapkan kurikulum merdeka dalam mendidik putranya. Hal ini nampak pada potongan ayat:

….. يٰبُنَيَّ إِنِّي اَرٰى فِيْ المَنَام أَنّي أَذْبَحُكَ فَانْظر مَاذَا تَرَى….

Artinya: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”.

Potongan ayat di atas mengungkapkan ujian berat yang diberikan Allah kepada nabi Ibrahim. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Allah memerintahkan nabi Ibrahim melalui mimpinya untuk menyembelih anak satu-satunya, Ismail sebagai korban di sisi Allah. Nabi Ibrahim menyampaikan perihal mimpinya itu kepada Ismail melalui ungkapan فَانْظر مَاذَا تَرَى , artinya “Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu”. Menurut Al Farra’, usia Ismail kecil ketika itu sekitar 13 tahun. Jika ditarik dalam konteks dan kebiasaan yang ada di sekitar kita, usia 13 tahun itu baru tamat SD/MI sederajat dan hendak daftar ke SMP/MTs. Bahkan mungkin ada sebagian orang tua yang memondokkan anaknya guna mendalami ilmu agama. Baru-baru ini kita saksikan anak-anak SD/MI baru saja di wisuda. Kira-kira seperti merekalah Ismail ketika itu.

Kata تَرَى dalam ungkapan فَانْظر مَاذَا تَرَى berasal dari kata رأى- يرى- رؤية yang secara leksikal bermakna melihat, memandang, mempertimbangkan, memikirkan, menganggap, dan mempercayai. Akan tetapi mayoritas orang Arab menggunakan ungkapan مَاذَا تَرَى untuk menanyakan suatu pendapat kepada orang lain. Artinya, ketika nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya, beliau tidak langsung meminta putranya untuk patuh dan mau disembelih. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa nabi Ibrahim membutuhkan waktu 3 hari untuk benar-benar meyakini bahwa mimpi itu dari Allah. Oleh karenanya kita mengenal hari tarwiyah dan ‘arofah. Hari tarwiyah adalah hari dimana beliau masih pikir-pikir atas mimpinya itu. Sama seperti sebelumnya, kata tarwiyah berasal dari ro a- yaroo- ru’yatan yang salah satu artinya memikirkan. Sedangkan hari ‘arofah adalah hari dimana nabi Ibrahim mengetahui dan meyakini bahwa mimpi itu dari Allah. ‘arofah berasal dari kata ‘arafa- ya’rifu yang berarti mengetahui. Pada hari ‘arafah inilah nabi Ibrahim meminta pendapat putranya atas mimpinya tersebut. Disinilah letak kurikulum merdeka yang diterapkan nabi Ibrahim dalam mendidik putranya.

Nabi ibrahim tidak begitu saja meminta atau bahkan memaksa Ismail untuk patuh dan taat pada mimpi tersebut. Padahal Nabi Ibrahim bisa saja melakukan itu dengan mengatasnamakan Allah, terlepas bahwa Ismail adalah anak yang selama ini didambakannya. Meski demikian nabi Ibrahim tetap minta pendapat Ismail atas mimpinya itu. Tindakan nabi Ibrahim ini adalah salah satu bagian terkecil dari sebuah tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikannya kepada Ismail. Jika ditarik dari perspektif Al Qur’an akan kita temukan fakta bahwa Ibrahim telah menerapkan pola asuh Manthiqi (Resonable Parent) yaitu pola asuh orang tua dengan memberikan alasan-alasan logis. Nabi Ibrahim telah memberikan alasan logis terhadap mimpinya bahwa mimpinya dari Allah dan bukan dari syaithan. Pun demikian dengan Ismail yang juga memberi tanggapan bijak atas mimpi ayahnya.

Dalam tafsir tahlili dijelaskan bahwa setelah mendengar perintah Allah yang disampaikan melalui mimpi ayahnya, Ismail meminta dengan segala kerendahan hati kepada ayahnya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya. Ismail berkata kepada ayahnya يٰاَبَت اِفْعَلْ مَاتُؤْمَرُ , Wahai Ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Ismail meyakinkan ayahnya bahwa dirinya taat, rela, dan ikhlas menerima ketentuan Allah serta menjunjung tinggi segala perintah dan pasrah kepada-Nya. Menurut Quraisy Shihab, pernyataan logis Nabi Ibrahim berpengaruh pada jawaban Ismail, oleh karenanya ismail berkata “Kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu” bukan “sembelihlah aku”. Inilah yang menunjukkan Ismail tidak gentar menghadapi cobaan dari Allah dan tidak ragu atas qodho’ dan qodar yang ditetapkan Allah atas dirinya.

Setelah membaca kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini, dapat kita pahami bahwa penting bagi orang tua mencontoh kurikulum merdeka dalam mendidik anak. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua dalam rangka menerapkan kurikulum merdeka dalam mendidik anak,

  1. Menjadi teladan bagi anak-anaknya

Sebagai seorang ayah, nabi Ibrahim adalah teladan bagi anak-anaknya. Lebih dari itu Ibrahim juga nabi yang menjadi teladan bagi umatnya. Dalam perkembangan psikologi seorang anak, anak cenderung meniru orang-orang di sekitarnya, terutama orang tuanya. Disinilah perlu adanya teladan keimanan dan ketaatan yang baik sebagai dasar guna membentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari

2. Bersifat demokratis dan komunkatif pada anak

Sikap demokratis dan komunikatif nampak dari kisah penyembelihan yang diungkapkan di atas. Ibrahim menggunakan kata “yaa bunayya” artinya “wahai anakku sayang”. Kata itu merupakan panggilan penuh kasih sayang antara ayah dan anak. Selain itu Ibrahim juga meminta pendapat Ismail atas perintah penyembelihan tersebut. Perintah tersebut wajib dilaksanakan tetapi tetap dikomunikasikan secara demokratis. Hal ini mengisyaratkan kepada orang tua untuk tidak memaksakan kehendak kepada anaknya. Hal ini tidak berlaku dalam ketaatan pada agama. Dalam hal ini orang tua harus menjadi sosok yang disayangi, dihormati, dan menjadi idola.

3. Mendengarkan pendapat anak

Penting bagi orang tua mendengarkan pendapat anak terhadap segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan anak itu sendiri seperti pendidikan misalnya, orang tua tidak bisa semena-mena meminta anak sekolah di sekolah A, B, atau C tanpa meminta pendapat anak. Tetapi orang tua bisa mengarahkan anak ke sekolah A, B, maupun C dengan tetap mendengarkan pendapat anak dan memberikan tanggung jawab kepada mereka untuk menentukan apa yang terbaik untuk diri mereka. Anak juga harus diberi pengertian untuk tanggung jawab terhadap apa yang menjadi pilihannya.

4. Selalu berdoa untuk kebaikan anak

Diantara usaha untuk mendidik anak, tidak hanya dilakukan dengan usaha lahir tapi juga usaha batin seperti do’a. Adapun do’a yang diajarkan Nabi ibrahim seperti yang diabadikan dalam Al Qur’an sebagai berikut:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Artinya:”Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang saleh” (QS. Ash Shaffat: 100)

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim berdoa “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman dan jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala. (QS. Ibrahim: 35)

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ, رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَاب

Artinya,”Ya Tuhanku, jadikanlah aku sebagai orang yang mendirikan shalat dan juga keturunanku. Ya Tuhanku, terimalah doaku. Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan orang-orang mukmin di hari perhitungan. (QS. Ibrahim: 40-41)


وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Artinya,”Ya Tuhanku, jadikanlah aku sebagai orang yang mendirikan shalat dan juga keturunanku. Ya Tuhanku, terimalah doaku. Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan orang-orang mukmin di hari perhitungan. (QS. Al Baqoroh: 126)

Wallahu a’lam bisshowaab…. wassalam


0 Comments

Leave a Reply