MANUSIA, LINGKUNGAN, DAN ISLAM
Oleh: M. Rosyiful Aqli
Bagi kaum muslim, al-Quran menempati posisi sentral dalam memberi petunjuk pada jalan kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapai kebahagiaan ini, selain umat manusia harus memperhatikan relasional dengan Tuhannya dan makhluk sosial, mereka juga harus memperhatikan konservasi lingkungan sekitarnya. Konservasi lingkungan mempunyai konotasi bahwa lingkungan harus dipertahankan, dilindungi, dan dipelihara sebagaimana keadaannya agar tetap mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang harmonis. Hal ini merupakan perintah agama artinya, ketika kita menjaga lingkungan berarti kita menjaga ajaran agama.
Apabila manusia mampu memakmurkan dan memelihara alam lingkungan dengan baik, maka alam lingkungan juga akan membalas dan bersahabat dengan baik. Manusia hidup di muka bumi harus bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan asas konservasi untuk mencapai kemakmuran agar dapat memenuhi kebutuhannya. Disebutkan dalam al-Quran, bahwa hamparan bumi dan semua yang ada di dalamnya diciptakan Allah swt., untuk kebutuhan manusia. Hal ini termaktub dalam Q.S. al-Hijr: 19-20:
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.”
Pada ayat ini, Allah swt., telah menghamparkan bumi dan menjadikan seluruh isinya untuk kebutuhan manusia. Semua yang ada di langit dan bumi, daratan dan lautan, sungai-sungai, matahari dan bulan, malam dan siang, tanaman dan buah-buahan, binatang melata dan binatang ternak, merupakan ciptaan Allah yang memang didedikasikan untuk kebutuhan manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan hidup memang bagian yang absolut dari kehidupan manusia, karena manusia termasuk makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara individual. Manusia dalam memenuhi kebutuhannya seperti dalam mencari sandang, pangan dan papan sangat bergantung dengan lingkungan.
Lingkungan juga menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan yang layak, sehingga manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dapat memperoleh asupan tenaga dari sumber daya tersebut. Namun demikian, berbagai bencana muncul silih berganti akibat kerusakan ekologi yang dilakukan oleh manusia dengan cara mengeksploitasi lingkungan tanpa memperhatikan kelestarian dan keseimbangannya. Karena itu, seluruh manusia terus mencari solusi secara kolektif guna mengatasi krisis ekologi ini.
Kemampuan teknologi, analisis-analisis geografi dan iklim terus digalakkan sebagai cara menemukan solusi yang efektif untuk mengatasi krisis lingkungan. Selain itu, berbagai macam peraturan, undang-undang, usaha tentang konservasi dan kemauan politik juga ditempuh untuk mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan krisis. Namun penanganan krisis lingkungan selama ini masih dilakukan hanya sebatas pendekatan business as usual semata. Oleh karenanya, diperlukan pendekatan yang lain untuk memperbaiki situasi ini sehingga krisis ekologis tidak semakin parah di masa yang akan datang.
Sampai saat ini, bumi telah berusia jutaan ribu tahun dengan adanya perubahan secara berkala, baik perubahan alami maupun yang dilakukan oleh manusia. Perubahan demi perubahan yang dilakukan oleh manusia ini mulai berdampak buruk pada lingkungan karena tidak adanya kontrol pemanfaatan secara tepat. Dari sudut pandang dikotomi menyatakan bahwa alam sebagai bagian terpisah dari manusia, dan paham antroposentris menganggap manusia merupakan pusat dari sistem alam, dapat menyebabkan perilaku eksploitatif bagi manusia dan tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Berbagai bencana muncul silih berganti akibat kerusakan ekologi yang dilakukan manusia dengan mengeksploitasi lingkungan tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keseimbangannya. Manusia sebagai khalifah di bumi yang diberi amanah untuk mengonservasi lingkungan, justru menjadi aktor utama dan menduduki posisi sentral pada kerusakan lingkungan. Dengan ambisius keserakahannya, manusia mengeksploitasi alam secara habis-habisan tanpa menjadikannya sebagai objek nilai ekonomi dan kebutuhan hidup pragmatis.
Selain itu, pengaruh paham materialisme dan kapitalisme serta pemanfaatan IT (informasi teknologi) yang tidak tepat guna dan tidak ramah lingkungan juga ikut andil terhadap rusaknya lingkungan yang semakin masif. Keseimbangan lingkungan hidup akan terganggu disebabkan oleh dua faktor.
- Kerusakan internal, yaitu kerusakan yang berasal dari dalam bumi atau alam itu sendiri. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor internal ini sulit untuk dicegah, karena merupakan proses alami yang terjadi pada alam atau yang sering disebut dengan peristiwa alam yang merupakan contoh fenomena alam yang dalam sekejap mampu mengubah bentuk muka bumi.
- Kerusakan karena faktor eksternal, yaitu kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya. Misalnya, terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak adanya kawasan industri, terjadinya banjir sebagai dampak buruknya sistem pembuangan air, kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai, dan dampak perusakan hutan, terjadinya tanah longsor sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan akibat penebangan secara ilegal (penggundulan hutan), perburuan liar yang mengakibatkan satwa-satwa liar menjadi punah, dan pembuangan sampah di sembarang tempat yang mengakibatkan banjir dan pencemaran lingkungan.
Namun demikian, meski faktor pertama menyebut kerusakan lingkungan adalah murni dari peristiwa alam, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya ada keterlibatan manusia dalam kerusakan lingkungan tersebut. Keterlibatan yang dimaksud seperti kemusyrikan, kefasikan, kemunafikan, kezaliman dan segala bentuk kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia, sehingga menimbulkan murka Allah dan dengan hanya sekejap mata murka Allah berdampak pada kerusakan lingkungan atau adanya peristiwa alam.
Di dalam al-Quran, semua kerusakan lingkungan hidup baik dari faktor internal maupun eksternal tidak lain merupakan akibat dari ulah dan keserakahan manusia dengan cara mengeksploitasi alam lingkungan secara habis-habisan. Oleh karena itu, sejak awal Allah telah merekam akan adanya akibat ulah manusia tersebut, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Rum [30]: 41; “Telah nampak (nyata) kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang lurus.”
Dalam perspektif al-Quran, merusak alam lingkungan termasuk dosa setingkat di bawah dosa memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan ini diancam dengan hukuman mati, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara silang, atau diasingkan, sesuai dengan tingkat kerusakan alam yang ditimbulkannya, serta ancaman hukuman setimpal di akhirat kelak. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Ma’idah: 33: “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (QS. Al-Ma’idah: 33).
Selain hukuman melalui tangan manusia lain, Allah juga akan memberikan siksa secara langsung kepada manusia melalui “tangan” alam itu sendiri, seperti pemanasan global, angin puting belitung, banjir, longsor dan lain-lainnya (Q.S. al-Rum: 41). Bahkan tindakan perusakan atas alam yang dilakukan manusia akan menjadi sebab dicabutnya hak kepemilikan dan penguasaan manusia atas alam ini. Karena Allah hanya akan menyerahkan alam kepada orang-orang yang saleh (Q.S. al-Anbiya’: 105). Ketegasan Allah melarang manusia merusak alam dengan berbagai ancaman hukuman di dunia dan akhirat terjadi karena tindakan itu (merusak alam) merupakan kejahatan dan kezaliman yang dapat menghancurkan umat manusia dan kemanusiaan (Q.S. al-Ma’idah: 32).
Nyatalah sudah, bahwa sesungguhnya kerusakan di bumi ini tidaklah terlepas dari tangan manusia yang serakah, sehingga ketika memanfaatkan alam melebihi dari kapasitas yang seharusnya ia gunakan, padahal agama melarang untuk berbuat israf yaitu berlebih-lebihan, karena sikap ini akan senantiasa membawa kemudaratan, termasuk sikap manusia yang melebihi batas ini akan menimbulkan kerusakan baik di darat maupun di lautan. Padahal di sisi lain, manusia diciptakan oleh Allah yang Maha Kuasa sebagai khalifah yang harus menjadi rahmat bagi seluruh alam, sikap peduli terhadap lingkungan adalah ajaran agama, jika manusia peduli terhadap lingkungan, berarti ia telah menjalankan agama.
Dalam kajian-kajian tentang penciptaan dunia oleh Allah dalam al-Quran dengan jelas dikisahkan dalam penciptaan al-Kitab, tetapi berbeda antara mereka sangat menonjol. Al-Quran tidak menceritakan secara panjang lebar tentang penciptaan, tidak selengkap al-Kitab, terhadap kisah-kisah; namun al-Quran memuat petunjuk berulang terhadap unsur-unsur dari beberapa kisah penciptaan yang mungkin pada saat itu dikenal umum. Seperti al-Kitab, al-Quran menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia dalam enam hari. Meskipun al-Quran tidak secara lengkap memiliki kisah penciptaan manusia pertama, al-Quran sepaham dengan al-Kitab dalam menyebut manusia pertama adalah Adam.
Alam adalah segala sesuatu yang ada atau yang dianggap ada oleh manusia di dunia ini, selain Allah swt., beserta Zat dan sifat-Nya. Alam dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah alam gaib dan alam syahadah yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai alam semesta. Alam semesta merupakan ciptaan Allah Swt., yang diurus dengan kehendak dan perhatian Allah. Allah menciptakan alam semesta ini dengan susunan yang teratur dalam aspek biologi, fisika, kimia, dan geologi beserta semua kaidah sains. Definisi dari alam semesta itu sendiri adalah segala sesuatu yang ada pada diri manusia dan di luar dirinya yang merupakan suatu kesatuan sistem yang unik dan misterius.
Menurut pandangan Al Quran, penciptaan alam semesta dapat dilihat pada surat Al Anbiya ayat 30. “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah swt., yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. Bumi sebelumnya adalah planet yang mati dan Allah menghidupkannya dengan menurunkan air dari langit: “Dan Allah menurunkan dari langit air dan dengan air itu dihidupkannya bumi sesudah matinya.” (QS`An Nahl ; 65).
Pertanyaannya adalah dari mana air ini berasal ? Padahal waktu itu belum ada awan yang bisa menghasilkan hujan, belum ada langit yang bisa menahan uap air. Maka satu-satunya kemungkinan asal air adalah dari Arasynya Allah. Firman Allah swt: “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar kuasa menghilangkannya.” (QS Al-Mu’minun; 18).
Atas kuasa Allah swt., maka terwujudlah alam ini. Selain dalam ayat ini juga dijelaskan dalam surat al-Anbiya ayat 30, sebagaimana berikut: “ ……….Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup, Maka mengapakah mereka tiada juga beriman“ (QS. Al-Anbiya: 30).
Air merupakan sumber kehidupan, sehingga air diciptakan oleh Allah swt., agar kita tetap selalu beriman kepada-Nya. Dijelaskan juga dalam surat Thaha ayat 53, sebagaimana berikut: “ …. Maka Kami tumbuhkan dengan air itu berjenis-jenis tumbuhan yang bermacam-macam “(QS Thaha; 53)
Sesungguhnya selain air bermanfaat bagi manusia, ternyata air juga bermanfaat bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena tumbuhan akan dapat berkembang ketika ia mendapatkan air. Dijelaskan juga dalam surat al-Nur ayat 45, sebagaimana berikut: “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air … (QS An Nur ; 45).
Ayat-ayat tersebut makin menjelaskan kepada kita bahwa setelah air diturunkan ke bumi, maka sebelum Allah swt., ciptakan hewan, tentunya yang terlebih dahulu Allah swt., ciptakan adalah tumbuh-tumbuhan sebagai cadangan makanan hewan. Kemudian hewan-hewan ada juga yang menjadi cadangan makanan untuk hewan-hewan predator. Semua jenis hewan, baik burung maupun hewan darat, ternyata menurut ilmu pengetahuan memang asal-usulnya dari hewan air.
Sebagai khalifah, maka manusia memiliki tanggung jawab untuk menjadi rahmat bagi alam, dan memiliki tugas tigas pokok. Tugas manusia dalam memperlakukan alam semesta ini adalah:
- Prinsip Tanggung Jawab
Manusia mempunyai tanggung jawab baik terhadap alam semesta seluruhnya dan integritasnya, maupun terhadap keberadaan dan kelestariannya. Setiap bagian dan benda di alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan dengan tujuannya masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu, manusia sebagai bagian dari alam semesta, bertanggung jawab pula untuk menjaga dan melestarikannya.
- Prinsip Solidaritas
Manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Lebih dari itu, dalam perspektif ekosentrisme, manusia mempunyai kedudukan sederajat dan setara dengan alam dan semua makhluk lain di alam ini. Kenyataan ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan solider, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain.
- Prinsip rahmat terhadap Alam
Apabila sudah tertanam prinsip ini pada setiap hati manusia, maka pastilah yang ada hanya rasa untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi. rahmat lil alamin dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.
Daftar Referensi
Khaeron, H.E. Herman. 2014. Islam, Manusia dan Lingkungan Hidup. Bandung: Nuansa Cendikia.
Suparni, Niniek. 1994. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika.Syamsudin, Muh. “Krisis Ekologi Global dalam Perspektif Islam.” Jurnal Sosiologi Reflektif 11.2 (2017): 83-106.
0 Comments