KEUTAMAAN ORANG MENCARI ILMU

Published by Buletin Al Anwar on

 “Menuntut Ilmu adalah wajib bagi setiap muslim

Ilmu merupakan sarana untuk menunaikan apa yang Allah wajibkan pada kita. Tidak sempurna keimanan dan tidak sempurna pula amal kecuali dengan ilmu. Namun, yang dimaksud dengan kata ilmu di sini adalah Ilmu syar’i yaitu ilmu di mana seorang muallaf mengetahui mana yang hak dan mana yang batil, di mana dengan ilmu syariat seseorang bisa lebih dekat dengan tuhannya.

Dalam mencari ilmu tersebut apabila berniat untuk bersaing mencari popularitas, untuk dijadikan bangga-banggaan, untuk mengalahkan atau menjatuhkan lawan debat kalian, maka engkau sebenarnya telah berusaha menghancurkan agamamu. Ibarat seorang pedagang, maka transaksi yang engkau buat itu sia-sia dan pedagang tersebut tidak membawa keuntungan. “ Barangsiapa menuntut ilmu supaya dapat menyaingi para cendikiawan, supaya dihormati dan untuk menarik simpati orang banyak, maka dia akan dicampakkan oleh oleh Allah kedalam neraka jahannam”. (H.R Imam Ibnu Majah)

Ada juga hadits yang di riwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang mestinya untuk mencari ridho Allah, tetapi dia menuntunnya untuk mencari duniawi (materi), maka dia kelak tidak akan mencium bau surga di hari kiamat.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Tetapi, apabila niat dan tujuan kalian untuk mencari ilmu tersebut bukan untuk dipamerkan bukan untuk dibangga-banggakan, maka bergembiralah kalian ketika kalian menuntut ilmu tersebut para malaikat telah membeberkan sayapnya dan rela untuk kalian duduki dan para malikat tersebut berdoa kepada Allah untuk memintakkan ampunannya.

Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Turmudzi dari Abu Darda Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang melalui jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan orang tersebut ke surga, dan para malaikat dengan senang mambeberkan sayapnya, rela diinjaknya. Sesungguhnya orang yang berilmu itu selalu dimintakkan ampun oleh penduduk langit dan penduduk bumi, sampai-sampai ikan di laut. Sesungguhnya para ulama’ itu sebagai pewaris para nabi”. (H.R Imam Abu Dawud dan Imam At-Turmudzi)

Menurut Imam Abu Hamid Al-Ghozali menjelaskan dalam kitabnya yaitu bidayatul hidayah, orang yang mencari ilmu itu di bagi atau diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu :

Pertama, Orang mencari ilmu itu dengan niat untuk mencari bekal akhirat, mencari ridho Allah dan ingin mendapatkan kebahagian di akhirat. Orang yang mencari ilmu dengan niat yang demikian itu termasuk golongan orang-orang yang beruntung.

Kedua, orang yang mencari ilmu untuk kepentingan duniawi, untuk memperoleh kemuliaan, kedudukan dan harta, maka orang yang demikian ini termasuk golongan orang-orang yang sedang dalam keadaan bahaya.

Ketiga, Orang yang dikuasai oleh setan, yaitu orang yang mencari ilmu semata-mata untuk kepentingan hawa nafsunya. Dia menjadikan ilmu yang dia peroleh sebagai alat untuk mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya dan mengejar kedudukan. Orang yang demikian ini termasuk golongan yang binasa, dan telah tertipu oleh bujukan syetan.

Dalam sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Zaid bin Haritsah R.A : “ Bahwa di hari kiamat nanti ada seorang dicampakkan ke dalam neraka. Kemudian semua isi perut orang tersebut keluar dan diputar-putar kebingungan. Penghuni neraka lalu mengerubungi orang tersebut dan bertanya : “ hai fulan mengapa engkau di sini dengan keadaan seperti itu? Bukankah engkau aktif dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar”. Orang tersebut menjawab : “benar, aku dulu aktif menganjurkan kebaikan tetapi saya sendiri tidak melalukannya dan saya aktif mencegah kemungkaran, tetapi saya sendiri mengerjakan kemungkaran itu”.

Orang yang ketiga tersebut telah disinggung oleh Rasulullah dalam hadisnya : “ Ada sekelompok orang selain Dajjal, yang paling aku takutkan atas kalian semua, kekhawatiranku ini lebih dari kekhawatiranku terhadap Dajjal. Lalu ada salah seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW. Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab mereka adalah ulama’ suk (jahat)”.

Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi di dalam kitab karangannya yaitu Nashaihul ‘Ibad, beliau mengatakkan ada tiga faktor penting yang menyebabkan ilmu yang bermanfaat.

Diriwayatkan, bahwa ada seorang dari kaum Bani Israel telah mengumpulkan buku sebanyak delapan puluh peti yang berisi ilmu, namun tidak manfaat baginya, maka Allah SWT. Memberikan wahyu kepda Nabi mereka, agar menasehati orang tersebut: “ Apabila kamu mengumpulkan lebih dari itu pun, niscaya tidak akan bermanfaat kepadamu selain kamu mengerjakan tiga perkara yaitu : kamu mencintai dunia karena dunia itu bukan balasan bagi orang-orang mukmin, janganlah kamu berteman dengan setan karena dia bukanlah teman orang-orang mukmin dan janganlah kamu menyakiti seseorang karena hal itu bukanlah perbuatan orang-orang mukmin.”

Maksud pernyataan di atas adalah tempat kesenangan orang mukmin itu bukan terdapat di dunia akan tetapi kesenangan orang-orang mukmin adalah kelak di akhirat yang kekal. Sedangkan maksud dari jangan menemani setan adalah janganlah kalian mengikuti ajakan setan tertipu oleh setan yang bisa menyesatkan kalian sehingga melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Di dalam meningkatkan taqwa kepada Allah, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari tiga hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, tiga hal yang dimaksud adalah iman, ilmu dan amal. Di antara tiga hal tersebut yang akan kita tekankan adalah ilmu, dan terlebih lagi adalah amal, sebab dengan bertambahnya ilmu dan meningkatnya amal ibadah, maka iman yang terkandung di dalam hati akan menjadi subur dan kokoh.

Ilmu adalah roh dari pada Islam. Jangan harap orang menjadi muslim yang baik jika tidak mengerti tentang agama. Jangan harap suatu masyarakat menjadi masyarakat yang baik, jika di tempat itu tidak ada pengajian tentang ilmu agama.

Baca juga: ILMU YANG TIDAK MANFAAT

Tentang ilmu diceritakan ada seorang ulama besar yang sangat sabar dalam mencari ilmu tidak lain dan tidak bukan yaitu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. Syaikh Abdul Qadir berkata Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku makan.

Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa kumakan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.

Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada seorang pemuda non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”

Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun mengiyakannya. Aku makan dengan tidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.”

Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”

Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.”

semoga dengan adanya tulisan ini kita dapat mengambil hikmah seperti yang diharapkan penulis. Meluruskan kembali jika melenceng dari niat yang benar, memperbaiki ulang jika rusak dari niat yang benar, dan kembali ke jalan yang benar jika tersesat di jalan niat yang salah.

penulis: M. Nurudin


0 Comments

Leave a Reply