Ikhtiyar Menjadi Manusia Sempurna
Oleh: Moh. Nasih Aminulloh
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, serta dzat sang Maha pemilik segalanya. Selawat serta salam semoga tercurah limpahkan atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW pembuka segala sesuatu yang terkunci, penutup dari semua yang terdahulu, penolong dengan sebenar-benarnya kebenaran ke jalan yang lurus dan kepada keluarganya yang mempunyai hak kebenaran sebenar-benar kekuasaan Nya yang Maha Agung.
Manusia merupakan sebaik-baik ciptaan Tuhan. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam ayat suci al Qur’an surat at Tin ayat 4 yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Dalam tafsir ibnu katsir disebutkan, bahwa pada ayat tersebut Allah SWT bersumpah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa paling sempurna, tegak jalannya dan sempurna, lagi baik semua anggota tubuhnya. Memang jika kita berpikir dan merenungkan apa yang telah Allah SWT karuniakan kepada kita, mulai dari ujung rambut sampai kaki merupakan sebuah nikmat yang sangat besar. Di setiap organ tubuh memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing.
Sering kali hal seperti ini yang sering kali kita lupakan, sering kali kita kurang bersyukur. Padahal begitu besar nikmat dan karuniaNya yang telah diberikan kepada kita. Bisa dibayangkan jika satu nikmat saja dicabut, misal contoh kita diberi penyakit sariawan. Itu hanya secuil nikmat yang Allah cabut sementara. Tapi mungkin kita sudah merasakan sakit yang luar biasa, mulai dari makan minum tidak enak dan sebagainya. Sebagaimana lagu yang dilantunkan oleh raja dangdut H. Roma Irama “kalau sudah tiada, baru terasa”. Untuk itu selagi nikmat tersebut masih ada di diri kita, mari kita perbanyak syukur. Mulai dari mensyukuri hal yang terkecil, hal ini akan membawa kita untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang lain, terlebih nikmat yang besar. Allah berfirman di dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya:
“Dan (ingatlah) tatkala Pemelihara kalian mengumumkan bahwasanya jika kalian bersyukur, maka sungguh Aku akan tambah untuk kalian (akan nikmat). Dan jika kalian kufur (mengingkari akan nikmat yang diberikan), sesungguhnya siksa-Ku sangat lah pedih”
Bentuk wujud tubuh manusia jika dibawa ke dalam matematika pada masalah bangun dan ruang, maka tergolong pada wujud yang menempati dimensi tiga. Hal ini menunjukkan bahwa wujud manusia memiliki panjang, lebar dan tinggi. Setiap wujud dari dimensi tiga memiliki kapasitasnya sendiri, disebut juga dengan volume. Rumus dasar untuk mencari sebuah volume pada suatu benda yakni, luas alas dikalikan dengan tinggi benda, sedangkan luas alas sendiri diperoleh dari panjang dikali dengan lebar. Jika dituliskan dengan notasi LA ×t=p×l×t.
Jika hal tersebut kita integrasikan dengan dunia Islam, LA (luas alas) bermakna hubungan antara manusia dengan manusia atau makhluk lain (hablum min annas), sedangkan untuk t (tinggi) bermakna hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (hablum min Allah). Sedangkan untuk operasi perkaliannya () bermakna ikatan di antara keduanya. Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berlaku juga untuk manusia, manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya, manusia yang seutuhnya jika memenuhi dua aspek tadi. Yakni hubungan antara manusia dengan manusia atau makhluk lainnya baik, begitu juga dengan hubungan antara manusia dengan Sang Penciptanya juga harus baik.
Allah SWT banyak mencontohkan di dalam firmannya memerintahkan di aspek hablum min Allah juga dibarengi dengan aspek hablum min annas, sebagaimana dalam surat al Baqorah ayat 43 yang artinya:
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan di aspek hablum min Allah berupa perintah untuk mendirikan salat. Ibnu Abbas RA pernah berkata, “Mendirikan salat bermakna menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan, khusyuk dan melaksanakan salat dengan penuh kesempurnaan”. Dalam pengertian lain salat merupakan sarana komunikasi antara hamba dan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat amalan yang tersusun dari beberapa perkataan (rukun qauli) dan perbuatan (rukun fi’li) yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’, sekaligus sebagai cermin keimanan bagi seorang mukmin.
Dalam kajian tasawuf, secara umum terdapat dua makna salat secara sufistik: Pertama, shalat itu adalah mi’raj artinya mendaki, taraqqi menuju Allah. Dan setiap kali hamba Tuhan akan mendaki (mi’raj) pada saat itu Tuhan akan turun. Misalnya bagi orang yang salat, tetapi salat itu tidak pernah mengangkatnya maka salatnya itu diragukan. Karena merasa tidak dekat dengan Allah. Artinya orang itu baru salat secara lahiriah dan secara sufistik belum menimbulkan perubahan yang ada dalam dirinya. Karena tujuan dari pada salat bukan sekedar gerakan-gerakan badan, tetapi adanya keterkaitan hati dengan Allah. Kalau kita mengetahui besok akan mati, pasti akan menyiapkan segala sesuatunya, salah satunya dengan melakukan salat dengan sebaik-baiknya. Seperti kata Rasul, kalau ingin memperoleh salat yang bisa menjadi mi’raj atau salat yang bisa menjadi kendaraan, maka syarat utamanya adalah berupaya menjadikan salatnya sebagai yang terakhir. Sehingga orang yang salatnya demikian, tidak akan pernah merasakan Lelah dan sebagainya. Justru dengan salat, akan memperoleh kenikmatan dan ketenangan di dalam batinnya.
Kedua, salat yang bisa menjadi kekuatan spiritual. Dalam konteks inilah bisa dimengerti bahwa fungsi shalat dalam persepsi al Qur’an diklaim mampu mencegah kemungkaran. Sebagaimana dalam firmanNya di al Qu’an surat al Ankabut ayat 45 yang artinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur’an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Shalat juga sebagai sumber segala kekuatan dan penolong. Sebagaimana dalam firmanNya di al Qu’an surat al Baqoroh ayat 45 yang artinya:
“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,”.
Kesabaran merupakan bekal yang harus dimiliki di dalam menghadapi setiap kesulitan dan penderitaan. Kesabaran dalam arti yang positif. Sabar dalam ketahanan diri, berarti tidak boleh panik. Sabar dalam ketahanan jiwa agar tetap tegar dan mantap. Sehingga mampu menenangkan diri dan menepis kepanikan apalagi frustasi. Ketika mengalami kesulitan dalam hidup, kebingungan, keraguan, keresahan dan mengalami keguncangan jiwa maka kerjakanlah salat.
Pada ayat tersebut pula Allah SWT memerintahkan diaspek hablum min annas berupa perintah untuk mengeluarkan zakat. Di dalam kitab ibnu katsir, Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah meriwayatkan kepada kami Utsman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abu Hayyan at Taimi, dari al Harits al Aqli sehubungan dengan makna firmanNya “dan tunaikanlah zakat,” bahwa makna yang dimaksud adalah zakat fitrah.
Contoh lain di dalam firmannya yang memerintahkan diaspek hablum min Allah juga dibarengi dengan aspek hablum min annas, yakni di dalam surat al Isra’ ayat 23-24 yang artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.”
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan di aspek hablum min Allah berupa larangan untuk menyembah kepada selain Allah SWT, yakni menyembah hanya kepadanya. Bentuk perwujudan dari penghambaan kita kepada Allah SWT dengan melakukan apa yang telah diperintahkan dan menjauhi apa yang telah dilarang. Dan berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas iman dan takwa kita kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam penggalan surat at Taghabun ayat 16 yang artinya: “Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu, ”. Menurut keterangan di tafsir Jalalain ayat tersebut merupakan nasakh dari ayat 102 di surat Ali Imron yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam”. Dari kedua ayat tersebut kita diperintahkan untuk bertakwa sebatas kemampuan kita. Tidak usah berlebihan dalam menjalankannya, yang terpenting adalah keistikamahannya, dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Pada ayat tersebut pula Allah SWT memerintahkan di aspek hablum min annas berupa perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita dengan sebenar-benarnya kebaikan. Mulai dari menjaga dan merawat mereka berdua. Menjaga adab ketika diperintah dengan tidak menolak apalagi sampai mengumpat perintah dari mereka. Jika berbicara kepada keduanya muliakanlah mereka dengan perkataan yang baik dan tidak meninggikan suara kita. Serta jangan lupa mendoakan keduanya dalam kebaikan, selalu dilimpahi rahmat dan karunianya. Karena hal itu semua masih belum cukup untuk menyamai atau bahkan melebihi apa yang keduanya telah berikan kepada kita. Lantaran merekalah kita bisa dilahirkan di dunia ini seizin Allah SWT.
Oleh janganlah sekali-kali membuat mereka kecewa apalagi membuat sakit hati mereka terlebih sampai membuat mereka meneteskan air mata karena perilaku buruk kita naudzu billah tsumma naudzu billah. Karena keridaan Allah terletak pada keridaan kedua orang tua kepada kita. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang artinya; “Ridanya Allah terletak pada keridaan orang tua, sedangkan kemurkaan Allah juga terletak kepada kemurkaan orang tua”. Semoga kita semua selalu dalam keridhoan kedua orang tua kita, sehingga insyaAllah Allah pun juga rida kepada kita semua. Aamin ya robbal ‘alamalin. Dari uraian di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa sebagai bentuk ikhtiyar kita apa lagi kita hidup dizaman yang penuh akan fitnah ini dibutuhkan minimal ada dua aspek untuk menjadi manusia yang sempurna dan seutuhnya. Yakni, hablum min Allah baik, diimbangi juga dengan hablum min annasnya juga baik. Di mana dua aspek tersebut harus saling melengkapi, tidak bisa kita hanya baik pada satu aspek, sedangkan aspek yang lain kita tinggalkan.
0 Comments