MAAF, AKU TERLAMBAT MENGENALMU

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: M. Fatihul Barir

Surat cinta untukmu Yaa Rasulallah,

Di balik rintik hujan yang menjamu, kutulis sepucuk surat cinta untukmu. Tetes melodi berdawai menghantar irama senja tuk menjemputmu. Salam untukmu, wahai kecintaanku yang hidup berabad jauh dariku. Salam untukmu, wahai yang karena panggilanmu mata ini menangisimu. Salam untukmu, dari seorang lelaki desa yang berjuang meniti jalanmu. Salam untukmu, dari hati yang ingin menumpahkan bara rindu di hari kelahiranmu.

Habibi Ya Rasulallah,

Sejak Allah mengenalkanmu padaku, aku tak ingat kapan pertama kali diperdengarkan padaku. Apakah di saat kuterlahir di muka bumi ini, dengan seruan adzan yang Aby kumandangkan di telingaku, atau bahkan jauh sebelum itu aku sudah pernah mendengar namamu. Aku sering mendengar kisahmu dari para guru, pun dari Aby yang bercerita tentang kegigihanmu dan para dzurriyatmu yang membanggakan akhlak muliamu, kutemui pula sosokmu yang kubaca dari kitab suci maupun buku-buku Islami.

Habibi Ya Rasulallah,

Betapa sakitnya merindukanmu, keinginan yang sangat dan sangat membuncah untuk bertemu, tak jarang kuluapkan pada air mata yang kian menggenang hingga akhirnya tertumpah berkali-kali saat kupejamkan mata begitu kubayangkan engkau berada di hadapanku. Ketika menunggu adzan maghrib di bawah jemuran asrama pondok, hingga kubersembunyi di loteng agar isak tangisku tak didengar oleh siapa pun. Bahkan aku tak bisa tidur memikirkanmu. Wahai engkau yang kurindukan, engkau di mana?. Adakah engkau merindukanku?

Habibi Ya Rasulallah,          

Bila waktu itu, aku adalah salah satu dari sahabat yang hidup semasa denganmu, aku ingin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang selalu ada di dekatmu, aku ingin menjadi salah satu dari sahabat-sahabatmu yang terlahir semasa denganmu, menatapmu, mendengar langsung wahyu dan sabda dari lisanmu. Bila waktu itu, mimbar dari pohon kurma menangis karena takut engkau tinggalkan, maka aku ingin menjadi pelepah kurma yang kau usap dengan tangan muliamu. Bila banyak tempat yang dulu kau kunjungi, aku ingin menjadi tanah agar aku leluasa mencium telapak kakimu, di manapun kau berpijak untuk menegakkan kalimat Laailaaha Illallah di muka bumi.

Habibi Ya Rasulallah,

Aku pernah berkecil hati, sebab aku terlahir di zaman akhir penuh fitnah. Hatiku tak hentinya mengharapkan perjumpaan denganmu. Engkau pernah menangis di hadapan para sahabatmu karena merindukan saudara-saudaramu. Dalam sabdamu, mereka adalah umat yang terlahir jauh setelah kewafatanmu, beriman padamu dan belum pernah melihatmu. Yaa Rasulallah, kini mereka sedang bersamaku, menanti syafaatmu, termasuk aku.

Habibi Ya Rasulallah,

Semerbak wangimu, hingga kini tercium di tubuh dzurriyyatmu. Kucintai mereka, karena kecintaanku padamu. Hingga suatu waktu, meski aku belum pernah berjumpa denganmu, kuutarakan kerinduanku padamu dalam mimpi bersama Syaikh Maimoen Zubair berziarah ke makammu membaca maulid di dekat makammu. Dan kutemukan beberapa kali nama محمد (Shallallhu Alaihi Wasallam) bersanding dengan lafadz الله di langit biru. Betapa indah melamunkan perjumpaan denganmu. Sungguh ini menenangkanku. Namun, dengan ini bertambah pula kerinduanku padamu Ya Rasulallah…

Habibi Ya Rasulallah,

Maaf, aku lemah membawa bukti cinta untukmu. Belum sempurna kuikuti sunah dan akhlakmu. Sungguh, kealpaanku menambah sedihku menggenggam cintamu. Biar pun begitu, telah kuikrarkan dalam sanubariku. “Hati ini tidak akan berputus asa berbakti mencintamu”. Kutulis namamu dengan butir air mataku, sebagai penawar rindu di setiap asaku.

Hening,

Selarut ini kutulis rindu kelu membisu

Kusimpan serpihan kata agar tak porak-poranda

Kini hatiku, telah membongkar segala rahasia

Rapuh…

Mudah menangis bila mengingatmu,

menyebut namamu,

mendengar tentangmu

Sunyi malam menjadi teman sajakku

Kutorehkan dari cadas hati membatu

Mengaku rindu,

Sesak menyayat pilu,

Adakah teman berbagi selain-Mu?

Kutuang kesedihanku

Kesepianku

Dan rinduku itu…

Berapa lama kumenunggu jumpa?

Berapa lama harus gugenggam rindu dendam terluka?

Pengharapan adalah jembatan pengaduanku pada-Mu

Hanya 1 yang kupinta,

Di dekat kekasihmu “Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam” kucurahkan duka cinta

(Malang, 23.58 WIB)

Habibi Yaa Rasulallah,

Masih melekat kuat di ingatanku, ketika Allah memutar takdirku. Benar-benar di titik nol ku. Ketika Allah mengenalkanku pada hakikat mencintaimu, belum lama, baru sejak tahun 2016 lalu. Kutanyakan pada-Nya di balik bisik kata tanpa suara, “Bagaimana mungkin aku mencintai seseorang yang belum pernah kulihat?. Bagaimana aku mengenali seseorang yang belum pernah kujumpai?”. Berkecamuk batinku, penuh tanya. Berkali selepas sholat Ashar aku selalu termenung menatap langit, kupejamkan mata, dan entah airmata selalu hadir menyela saat kusebut namamu. Ternyata, cinta ini ada dan sungguh nyata kurasakan, sangat dekat. Allah telah memberiku jawaban atas segala pertanyaanku. “Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, senantiasa hidup di hati para pecinta”. Yaa Rasulallaah, maafkan aku yang terlambat mengenalmu.

Habibi Yaa Rasulallah,

Ini adalah surat cintaku yang pertama untukmu. Mungkin lebih tepatnya, ini balasan dari surat yang pernah engkau kirimkan padaku. Bukankah hati yang dikehendaki mencintaimu adalah panggilan darimu Yaa Rasulallah?

Labbaika Yaa Rasulallah

Labbaik…


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *