TAUBAT SEJATI
Oleh: Ainun Nadzir
Setiap manusia yang hidup di dunia pasti tidak lepas dari kesalahan yang dimiliki. Baik yang secara sadar dilakukan maupun yang tidak sengaja dilakukan. Hal inilah yang mendasari pentingnya manusia untuk bertobat kepada Allah SWT atas segala kesalahan yang dilakukan. Taubat manusia oleh Allah SWT hanya diterima ketika kita masih hidup, namun ketika ajal sudah menjemput maka tobat kita tidak akan diterima oleh Allah swt.
Maka hendaknya setiap insan mempersiapkan dirinya untuk menyambut kematian. Salah satu langkah di antaranya adalah dengan senantiasa bertobat dari segala macam kemaksiatan, mengembalikan hak kepada orang yang dizhalimi, bergegas dalam mengerjakan amal-amal solih sebelum kematian datang secara tiba-tiba (lihat Mulakhash Fiqhi, I/292).
Allah Ta’ala berfirman, ”Dan bertobatlah kalian semua orang-orang yang beriman semoga kalian mendapatkan keberuntungan.” (QS. An-Nuur: 31). Syaikh As-Sa’di mengatakan, ”Maka tidak ada jalan menuju keberuntungan melainkan dengan jalan tobat, yaitu kembali dari segala hal yang dibenci Allah, dalam urusan lahir maupun batin, menuju segala hal yang dicintai Allah, dalam urusan lahir maupun batin. Dan ini juga menunjukkan bahwa setiap mukmin pasti membutuhkan taubat. Hal itu dikarenakan di sini Allah memanggil seluruh kaum yang beriman…” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 567)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian” (Shahih Ibnu Majah) Maka dimanakah orang-orang yang bertaubat dan menyesali dosanya ? Dimanakah orang-orang yang kembali taat dan merasa takut akan siksa ? Dimanakah orang-orang yang mau ruku’ dan bersujud di hadapanNya?
Taubat pada hakikatnya adalah meninggalkan segala yang dibenci Allah lahir maupun batin menuju segala hal yang dicintai-Nya lahir maupun batin. Asal makna tobat adalah kembali. Barang siapa yang kembali insaf setelah terjerumus dalam berbagai penyimpangan karena merasa malu kepada Allah dan takut terhadap azab-Nya maka dialah orang yang disebut sebagai taa’ib (pelaku tobat).
Hukum tobat sendiri adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim berdasarkan Al- Kitab, As-Sunnah dan Ijma’. Adapun dalil dari Al Kitab, ini didasarkan oleh firman Allah Ta’ala, “Dan bertobatlah kepada Allah wahai semua orang beriman, supaya kalian mendapatkan keberuntungan” (QS. An Nuur : 31)
Begitu pula firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya” (QS. At-Tahriim : 8) Di dalam kedua ayat ini terdapat perintah yang sangat tegas untuk bertobat kepada semua kaum beriman. Hal ini menunjukkan wajibnya melakukan tobat. Dan ia juga sekaligus menunjukkan bahwa tobat itu tidak khusus berlaku bagi para pelaku maksiat dan kesalahan saja; karena Allah Ta’ala memerintahkannya kepada seluruh kaum beriman.
Dalil lain yang juga menunjukkan atas kewajiban bertobat ialah firman Allah Ta’ala, “Dan barang siapa yang tidak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang berbuat zalim” (QS. Al-Hujuraat : 11). Di dalam ayat ini Allah membagi hamba-hamba-Nya ke dalam dua kelompok orang : orang yang bertobat adalah orang yang zalim. Dan karena kezaliman itu diharamkan maka demikian pula sebaliknya; bertobat menjadi sebuah kewajiban. Adapun dalil dari As-Sunnah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk bertobat. Beliau bersabda, “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Karena sesungguhnya aku sendiri bertobat kepada Allah dalam sehari 100 kali” (HR. Muslim)
Ada beberapa buah persyaratan yang harus dipenuhi agar taubat itu bisa menjadi taubat yang sejati. Pertama yaitu, beragama islam. Taubat tidak sah apabila dilakukan oleh orang yang masih berstatus kafir. Karena kekafirannya adalah bukti yang menunjukkan kedustaan pengakuan taubatnya. Cara bertaubat orang kafir ialah dengan cara masuk agama Islam terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan taubat bukanlah bagi orang yang melakukan kejahatan sehingga ketika sudah tiba kematian kepada mereka dia mengatakan, “Aku akan bertaubat sekarang” dan bukan juga bagi orang yang meninggal dalam keadaan kafir. Mereka itulah orangorang yang kami siapkan siksa yang sangat pedih” (QS.An-Nisaa’ : 18)
Kedua, ikhlas karena Allah SWT. Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali yang ikhlas untuk-Nya saja bukan yang diperuntukkan bagi selainNya. Terkadang ada orang yang meninggalkan maksiat karena dia memang tidak punya kesempatan untuk melakukannya. Seperti contohnya orang yang tidak memiliki uang untuk membeli khamr kemudian dia mengaku bertaubat dan tidak meminumnya lagi. Akan tetapi sebenarnya di dalam lubuk hatinya masih terdapat keinginan kuat apabila suatu saat dia sudah punya uang niscaya dia akan membeli dan meneguknya kembali. Maka orang seperti ini taubatnya tidak diterima dan tidak sah karena dia melakukannya tidak ikhlas karena Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan amal untuk-Nya. Ingatlah, agama yang murni hanya untuk Allah” (QS. Az-Zumar : 2,3) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan bagi setiap orang balasan berdasarkan apa yang diniatkannya” (Muttafaq ‘alaih) Salah satu do’a yang dipanjatkan oleh Al-Faruq ‘Umar bin Al-Khaththaab adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku shalih. Jadikanlah amal itu untuk mengharap wajah-Mu saja dan jangan jadikan sedikitpun amal itu untuk selain-Mu, siapa pun dia”.
Ketiga yaitu, meninggalkan kemaksiatan. Tidaklah tergambarkan taubat bisa terwujud sementara pelakunya masih terus melakukan dosa kemaksiatannya ketika dia bertaubat. Adapun apabila ternyata dia masih mengulangi dosanya sesudah bertaubat sedangkan syarat-syarat taubat sudah benar-benar terpenuhi; termasuk di antara syaratnya adalah dengan meninggalkan perbuatan maksiat tersebut maka taubatnya yang dahulu tidak menjadi batal. Akan tetapi dia harus bertaubat lagi, dan demikianlah seterusnya. Imam Nawawi mengatakan, “Apabila seseorang sudah bertaubat dengan benar dengan memenuhi syarat-syaratnya kemudian dia mengulanginya maka hal itu ditulis sebagai dosanya yang kedua dan taubatnya (terdahulu) tidak menjadi batal” (Syarh Shahih Muslim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila seseorang bertobat dengan benar niscaya dosa-dosanya diampuni. Dan apabila dia mengulangi dosa maka wajib baginya untuk bertaubat lagi. Apabila dia sudah bertobat maka Allah juga akan menerima tobatnya itu” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam)
Kelima, yaitu menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat. Tidak pernah tergambar adanya taubat kecuali dari orang yang merasa menyesal, takut dan khawatir akan nasib dirinya akibat dosa yang dilakukannya. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hakikat tobat adalah penyesalan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah,
dishahihkan Al-Albani)
Sedangkan yang terahir, langkah yang harus dilakukan agar tobat diterima oleh Allah swt. adalah dengan tidak mengulangi perbuatan dosa yang dilakukan dimasa lalu. Dan mengganti dengan perbuatan baik yang menghasilkan pahala disisi Allah SWT.
0 Comments