Jual Beli Online dalam Perspektif Al-Qur’an: Mukjizat Beribu Manfaat

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh: Sidiq Nugroho

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…(Q.S Al-Baqarah/2:185)

        Bulan suci Ramadhan, sebagaimana kita ketahui bersama ialah bulan turunya Al-Qur’an. Pada bulan Ramadhan ini umat Islam merayakan peringatan nuzulul Qur’an. Kitab Suci Al-Quran sebagai mukjizat teragung sepanjang zaman yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an merupakan pegangan utama umat Islam oleh karena itu harus dipelajari, andai belum mengerti maknanya maka hal tersebut tetap bernilai pahala dan ada keutamaan di dalamnya. Mengenai dasar agar kita membaca Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

                Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan Barangsiapa yang sesat Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan. (Q.S. An-Naml: 91-92)

       Online merupakan suatu bisnis dari mekanisme bisnis secara elektronik yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet sebagai media pertukaran barang dan jasa.(Adi Nugroho, E-Commerce Memahami Perdagangan Di Dunia Maya). Yang paling utama di dalam jual beli adalah internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme perdagangan tersebut. Sedangkan didalam Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bab I, Pasal 1, angka 2 menjelaskan bahwa transaksi elektronik, yaitu: perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, atau media elekronik lainnya.

                Permasalahan yang sering timbul adalah hukum terkandung pada jual beli Online tersebut. Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa jual beli seperti ini merupakan jual beli yang fasid dan otomatis akadnya batal, karena tidak memenuhi kriteria syarat dan rukun dari jual beli. Jumhur ulama sepakat diantara rukun tersebut adalah: Shighot (ijab qobul), Aqid (penjual dan pembeli), dan ma’qud ‘alaih (objek akad)). Dan jual beli dinyatakan sah apabila memenuhi syarat dan rukun tersebut. Para Ulama sepakat bahwa suatu perjanjian atau jual beli harus memenuhi rukun dan syarat sah yang tidak boleh di tinggalkan. Apabila di tinggalkan dan tidak dipenuhi maka jual beli tersebut masuk kategori ghoiru shahih menurut Hanafiyyah, kategori fasid menurut Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah. Pertanyaanya adalah apakah jual beli online itu memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan didalam agama islam?  Ada beberapa rukun yang akan kami ulas dalam pembahasan ini sehingga memperjelas hukum jual beli online tersebut.

Shigot (ijab qobul)

                Formulasi ijab qabul dalam suatu perjanjian jual beli dapat dilaksanakan dengan ucapan lisan, tulisan atau isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis. Formulasi ijab qabul dapat dilaksanakan menurut kebiasaan (‘urf) sepanjang tidak bertentangan dengan syara’. Point yang paling terpenting dalam ijab qobul adalah adanya tawafuq (adanya kesesuaian antara ijab dan qabul) dianatara kedua belah pihak. Sebagai contohnya penjual berkata “Saya jual baju biru ini seharga 80.000 rupiah” pembeli pun menjawab “Saya beli baju biru itu”. Lalu bagaimana ijab qobul jual beli online? Dalam transaksi online, setelah pembeli melihat-lihat daftar barang dan harga, lalu ia menyetujui aturan-aturan yang tercantum pada form tata cara pembelian maka ia akan melakukan proses order dengan mengisi form pembelian dan diakhiri dengan klik “OK”.  Dengan pembeli melakukan klik “OK” dapat dipahami jika pembeli telah setuju untuk terikat perjanjian jual beli dengan penjual. Sehingga telah terjadi kesepakatan antara pihak penjual dengan pembeli, yang mana pihak merchant sepakat untuk mengirimkan barang yang dipesan dan pembeli sepakat untuk menyerahkan uang via transfer atau lainya.

Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad)

                Dalam konteks jual beli syarat kedua yaitu objek dari akad harus memenuhi beberapa syarat: (1)Barang yang dijual harus ada (maujud), oleh karena itu tidak sah jual beli yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Akan tetapi untuk beberpa jenis akad dikecualikan dari syarat ini, seperti jual beli salam, istishna’. Ini menurut ulama Hanafiyyah. (2) Barang yang dijual harus mal Mutaqowwim, dalam artian setiap barang yang bisa dikuasai secara langsung dan boleh diambil manfaatnya. Tidak sah jual beli nal ghoiru mutaqowwim seperti bangkai, benda-benda yang najis, dll ataupun varang yang dilarag negara untuk diperjual belikan. (3) Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Tidak jual beli dengan baran yang belum dimiliki.

                Dari permasalahan pertama jual beli jual beli objek nya hanya berupa visualitas (gambaran), yaitu hanya berupa contoh di monitor. Dalam hal ada atau tidaknya objek maka ulama berbeda pendapat. Hanafiyyah mengatakan boleh saja menjual barang yang tidak terlihat dan tidak dijelaskan sifatnya. Tetapi, bila pembeli melihat barang yang dimaksud maka ia memilih hak khiyar, memilih meneruskan atau tidak meneruskan. Malikiyyah berpendapat boleh saja jual beli barang yang tidak bisa dilihat tetapi dijelaskan sifatnya. Syafi’iyyah gilingan ibadiyyah berpendapat bahwa tidak sah secara mutlak jual beli yang tidak kelihatan oleh kedua belah pihak meskipun barang itu ada. (Wahbah Zuhaili: 2011: 129-130)

Aqid (penjual dan pembeli)

                Dalam kitab Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq bahwa orang yang melakukan akad harus berakal dan mumayyiz. Akad orang gila, dan anak kecil belum mumayyiz tidak sah. Apabila seseorang kadang sadar dan kadang gila maka akadnya ketika sadar sah dan ketika gila tidak sah. (Sayyid Sabiq: 2013: 37) Sudarsono dalam bukumnya menjelaskan bahwa pelaku perjanjian (jual beli online) disyaratkan  harus mukhallaf (aqil baligh, berakal, sehat, dewasa/bukan mumayyid dan cakap hukum). Jadi tidak sah perjanjian (jual beli online) apabila dilakukan oleh anak-anak dan orang gila serta orang-orang yang berada di bawah pengampuan. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa batasan umur pelaku perjanjian diserahkan kepada urf (adat) setempat dan atau perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara. (Heri Sudarsono: 2003: 6)

                Kesimpulanya adalah hukum jual beli online secara hukum sah untuk dilakukan sepanjang rukun dan syaratnya terpenuhi, barang yang diperjual belikan telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, dan benda tersebut jelas keberadaanya. Sepanjang adanya

barang yang diperjual belikan telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, dan benda tersebut jelas keberadaanya. Sepanjang adanya ridha, kejujuran, dan keadilan yang melakekat pada transaksi muamalah tersebut, maka bentuk transaksi tersebut diperbolehkan. Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. (an-Nisa’: 29)

                Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan, bahwa tidaklah suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan manfaat, baik ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman: “(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (al-A’raf: 157)

                Dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di makassar pada 2010, jual beli melalui alat elektronik sah, dengan dasar mengambil  hukum adalah kitab Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri: “Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah substansinya, buka bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks, dan telegram,atau semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikan”. Dan landasan lainya yaitu qoidah fiqh yang berbunyi “Pada asalnya semua muamalah boleh hingga ada dalil yang menunjukan keharamanya”

Mukhtarul Ahadaits

” Wahai Allah berkenalah untuk melembutkan aku akan perkara mudah bukan perkara sulit, karena perkara mudah dan perkara sulit dihadapan-Mu menjadi mudah, aku memohon pada-Mu akan kemudahan dan keselamatan di dunia dan akhirat”. (HR. Thobrany dari Aby Hurairah).

” Wahai Allah berkenanlah untuk membuka pendengaran hatiku untuk mengingat-Mu, dan berkenalah untuk memberikanku (kekuatan) untuk taat pada-Mu dan rasul-Mu serta mengamalkan kitab-Mu”. (HR. Thobrany dari ‘Ali).

“Wahai Allah berkenanlah aku untuk selalu cukup dengan ilmu, dan hiasi aku dengan kesabaran, dan muliakan aku dengan taqwa, dan indahkan aku dengan kesehatan”. (HR. Ibnu an-Najjar dari Ibnu Umar).

“Wahai Allah berkenanlah berbelas kasih kepada para pengganti kami, yang mana mereka mengajarkan hadits-hadits dan sunnah-sunnah serta mengajarkannya kepada manusia”. (HR. Thobrany dari ‘Ali).

Categories: FIQIH

0 Comments

Leave a Reply