Strategi Dakwah Mahasiswa Nahdhlatul Ulama’ Dalam Menangkal Radikalisme Pada Masa Kini

Published by Buletin Al Anwar on

Hamdan Arif Fatoni

PDDIKTI pada tahun 2022 melansir jumlah total mahasiswa Indonesia mencapai 6 M lebih orang. Jumalah ini termasuk jumlah yang sangat fantastis bagi sebuah tempat investasi untuk kemajuan bangsa dan Negara. Mahasiswa merupakan potret masa depan suatu bangsa. Namun menjadi riskan bilamana identitas kalangan pemuda kita mengalami masa transisi krisis identitas. Quintan Wiktorowicz pada tahun 2005 berpendapat, “Bahwa pemuda berkemungkinan untuk mengalami gejala cognitive opening (pembukaan kognitif)”, sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal.

Itulah alasan yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan juga ajakan kelompok-kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris juga menyadari problem psikologis yang ada pada generasi muda. Kelompok teroris mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas, kondisi psikologis generasi muda yang belum stabil dan mudah marah juga terkadang frustrasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka telah menyiapkan sebuah doktrin dan juga menyediakan apa yang mereka butuh kan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan.

Kelompok teroris dapat dengan mudah merekrut mahasiswa sebagai anggotanya melalui sarana internet, akses mereka sangat bebas. Tanpa ada sekat pembatas, dengan mudah mereka merekrut generasi penerus bangsa untuk menjadi bagian dari aksi strategisnya

Tidak bisa dipungkiri memang, Internet dapat menjadi akses utama pergerakan mereka, karena berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 273,87 juta jiwa pada 31 Desember 2021 (databoks.katadata.co.id). Artinya, ada sekitar 201,8 juta orang yang punya akses ke internet di Indonesia pada awal 2022.

Berkembangnya paham radikal dan intoleran di lingkungan kampus adalah hal yang nyata. Ihkwan Syarief (Satgas Pencegahan Terorisme BNPT 2020-2021) menjelaskan, sebanyak 47,3 persen pelaku terorisme adalah kelompok muda berusia 20-30 tahun. Lembaga survei Alvara Research tahun 2020 yang dipublikasikan oleh kepala BNPT pada Desember 2020 di Bali menemukan bahwa terdapat 12,2 persen atau hampir 30 jutaan penduduk Indonesia masuk dalam indeks potensi terpapar radikalisme. Dari jumlah tersebut, sebanyak 85 persen di antaranya adalah generasi milenial dengan rentang usia 20-39 tahun. Secara spesifik hasil survei menyebutkan bahwa sekitar 23,4 persen mahasiswa dan pelajar mengaku anti-Pancasila dan pro terhadap khilafah.

Ancaman era konektivitas ini menjadi ancaman yang cukup serius dan berdampak besar bagi suatu negara, berkaca dari pengalaman negara timur tengah yang mengalami pola sasaran cyber attack konten hoaks dan ajakan radikalisme. Selayaknya Indonesia juga belajar dari perpecahan di sana. Awal konflik di Suriah misalnya, tidak bisa dilepaskan dari masifnya berita bohong atau hoaks yang beredar dari media sosial. Untuk merekatkan ikatan kebangsaan dan menangkal berita bohong yang berpotensi memecah belah bangsa, keberadaan organisasi masyarakat memegang peranan penting dalam menjaga kebhinekaan, kerukunan antar golongan dan juga keutuhan negara.

Ciptakan Ikon Islam Moderat                                                                                                                                        Usulan inisiatif ke depan yang baik dilakukan oleh mahasiswa Nadhlatul Ulama adalah mereproduksi ikon Islam moderat. Bukan tanpa sebab, menyoal defisitnya anak muda Nadhlatul Ulama yang berkemauan maju ke depan, belum lagi ditambahnya banyak orang Indonesia banyak warganya yang dipengaruhi oleh ceramah ustaz-ustaz popular dari pada ulama’ pengurus Nadhlatul Ulama, di mana isi ceramah ustaz-ustaz tersebut tanpa punya otoritas keilmuan yang jelas, sangat fatal dan serampangan. Ini memang tantangan yang berat bagi para mahasiswa Nadhlatul Ulama, dan di sinilah para mahasiswa Nadhlatul ulama diharapkan dapat mengambil peran menjadi ikon penyejuk yang mengisi ruang-ruang dunia maya. 

Perbanyak Konten di Medsos

Usulan penting kedua yang tidak kalah penting pula adalah memperbanyak konten di media sosial dan internet dengan konten Islam “Kita”. Tumbuhnya masyarakat yang penuh toleransi dan kedamaian adalah bentuk suatu negara yang diinginkan juga diimpikan oleh semua manusia. Hal ini dirasa penting, karena sering kita lihat belakangan ini dunia maya kita dipenuhi oleh banyak web, atau akun sosial media yang isinya mengandung hate speech dan provokasi, yang perlahan dapat menyeret umat Islam Indonesia dalam konflik kekerasan.

Indonesia terbilang negara yang harmonis, bayangkan terdiri dari belasan ribu pulau dengan etnik yang beragam tetapi tidak ada gejolak yang serius, bahkan membuat negara-negara lain iri terhadap negara kita. Beda dengan negara lain yang diwarnai dengan kudeta dan pemberontakan. Dengan jumlah ratusan juta jiwa penduduk, puluhan provinsi, serta ribuan kota dan kabupaten, berhasil melaksanakan pemilu tanpa kekacauan berarti. Mengakui semua agama besar dunia dan penduduknya hidup berdampingan dengan rukun. Perselisihan yang terjadi tidak sampai memecah belah persatuan negara ini. Hal inilah yang seharusnya membuat kagum dan sangat ingin ditiru oleh bangsa-bangsa di dunia.

Digawangi oleh kalangan-kalangan Islam tradisional. Islam di Indonesia mampu melakukan Counter-Hegemony dari akar rumput sampai kalangan menengah ke atas. Polanya beragam, akademisi (mahasiswa dan dosen) kalangan pesantren melakukan peredaman radikal melalui tulisan yang meredam provokasi di sosial media, hingga kalangan santri dan kiai pesantren yang istikamah menyiarkan Islam yang penuh dengan etika mulia dan ajaran hidup bersama dan berdampingan. Sekali lagi tanpa adanya Nadhlatul Ulama, maka potret Islam ”kita” tidak dapat meneguhkan Islam sebagai agama yang rahmat bagi pemeluknya, sekaligus rahmat bagi manusia pada umumnya.

Semangat Kolaborasi bukan Kompetisi

Usulan ketiga yang patut diperhatikan adalah kolaborasi. Di berbagai kampus, mahasiswa Nahdlatul Ulama sudah bahu membahu dalam menangkal radikalisme, dan juga para mahasiswa harus punya pola pikir untuk semangat kolaborasi antar organisasi bukan untuk kompetisi dalam hal-hal rebutan kader ataupun kompetisi untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Karena di luar Nahdlatul Ulama sudah begitu masif melakukan kolaborasi, bahkan sampai instrumen politiknya bisa senyawa.

Salah satu kolaborasi yang bisa dilakukan oleh para mahasiswa  organisasi NU yang ada  di lingkungan kampus antara PMII, PKPT IPNU IPPNU, KMNU dan MATAN. Mereka saling bahu membahu membuat acara rutin di lingkungan kampus. Masing-masing di kasih porsi sesuai dengan passion organisasinya. Kemudian hal demikian perlu dikomunikasikan lebih lanjut di kalangan pusat, supaya kader yang ada di bawah bisa saling ketemu dan berdiskusi untuk menjaga NU dan kesatuan negara.

Semoga ide dan gagasan baru ini dapat memberikan kemanfaatan yang bisa diterapkan kepada Nahdliyin secara luas, yang terpenting bukan hanya sekedar ide dan gagasan, tetapi adalah bagaimana tulisan ini dapat di eksekusi di lapangan.

Daftar Pustaka

Siroj, KH Said Aqil. 2022. Meneguhkan Peradapan Islam Nusantara. Jakarta: Kompas Media Nusantara

Inklusi Finansial. 2022. Jumlah Pengguna Internet di Indonesia 2022 Capai 73,7 Persen dari Populasi. diakses 20 Februari 2022 pukul 23.01.(https://www.receh.in/2022/02/jumlah-pengguna-internet-diindonesia.html?m=1#:~:text=Menurut%20Direktorat%20Jenderal %20Kependudukan%20dan,di%20Indonesia%20pada%20awal%202022).

Setyowati, Agnes. 2022. Waspada, Radikalisme Sasar Generasi Muda Indonesia. Di akses 20 Februari 2022 pukul 23.09. ( https://www.kompas.com/tren/read/2021/09/20/124608 765/waspada-radikalisme-sasar-generasi-mudaindonesia?amp=1&page=2&jxconn=1* 1hfnug8other_jxampidRC1Wb1E2Wm9ITWtWbGt5LTdSVUJLdWJiWjBsYk4zbjZWeEUtdXhVTmVQWUltSlZnVzBRd0pLQU5rM256XzByaQ).

https://pddikti.kemdikbud.go.id/mahasiswa

http://databoks.katadata.co.id/


0 Comments

Leave a Reply