LINGKUNGAN DAN PROBLEMATIKANYA DALAM KAJIAN ISLAM

Published by Buletin Al Anwar on

Oleh : Mochamad Fahmi Fuadul Lami’

Problematika lingkungan di Indonesia semakin hari semakin bertumpuk dan semakin sulit dicari pemecahannya. Hal ini terutama dipicu oleh banyaknya musibah atau bencana yang datang silih berganti. Satu bencana belum tuntas, datang lagi bencana lainnya. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan di benak kita bangsa Indonesia yang juga menarik para cendekiawan, agamawan, dan pemerhati lingkungan untuk mengkajinya.

Islam sebagai agama samawi yang bersumberkan wahyu Allah swt. memberikan beberapa petunjuk tentang berbagai peristiwa alam (termasuk bencana) dan masalah lingkungan. Allah swt. menciptakan alam semesta ini dengan rapi dan sistematis serta memberikan manusia tanggung jawab untuk memelihara dan memakmurkannya. Tiga konsep dasar Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) memberikan petunjuk yang jelas tentang pemeliharaan lingkungan. Namun, nyatanya manusia sendirilah yang kemudian banyak menyimpang dari aturan yang ada dan banyak berbuat ulah sehingga Allah memberi peringatan hukuman dan siksaan dengan berbagai musibah yang terjadi.

Krisis lingkungan yang terjadi sekarang ini memerlukan kesadaran dan kepedulian dari berbagai kelompok masyarakat. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dimana mayoritas pemeluknya tersebar di berbagai pelosok, dari perkotaan hingga ke daerah pinggiran hutan yang berdekatan dengan kawasan konservasi dan taman nasional.

Komunitas pesantren merupakan salah satu komunitas muslim yang besar di Indonesia dan memiliki peran penting untuk ikut andil dalam pelestarian alam (konservasi) dan lingkungan. Menurut catatan Education Management and Information System –EMIS Departemen Agama, pada tahun 2001 terdapat 11.312 buah pesantren di seluruh Indonesia dengan jumlah santri sebanyak 2.737.805 jiwa. Luasnya sebaran pondok pesantren juga merupakan hal yang menarik. Penelitian yang dilakukan oleh EMIS melaporkan bahwa 78% atau 8.829 pesantren berada di daerah pedesaan. Selebihnya, jika ditinjau berdasarkan lokasinya, 2.429 pesantren berlokasi di daerah pertanian dan 1.546 di daerah pegunungan dan hanya 50% pesantren berada di lokasi daerah permukiman.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pesantren berpotensi sebagi lokomotif bagi penularan kesadaran konservasi dan pembangunan di desa. Lebih jauh lagi, pesantren dapat menjadi transfer agent bagi perkembangan budaya sadar lingkungan dan budaya positif lain sesuai dengan ajaran Islam. Terbukti beberapa pesantren bahkan pernah mendapatkan penghargaan lingkungan nasional seperti Kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia.

Pandangan Islam Tentang Lingkungan

Lingkungan bisa dimaknai dengan beberapa hal, di antaranya adalah semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Secara mudah lingkungan dipahami sebagai semua yang melingkupi kita dan berada di sekitar kita. Yusuf al-Qardlawi mendefinisikan lingkungan sebagai sebuah lingkup di mana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri, sebagai tempat ia kembali, baik dalam keadaan rela atau terpaksa.

Agama Islam memberikan perhatian yang serius dalam masalah lingkungan ini. Allahlah yang membuat subur semua tanah di atas bumi ini, sehingga bisa ditanami dan untuk bercocok tanam. Bagaimana jadinya jika semua belahan bumi ini diciptakan dalam bentuk sahara yang gersang atau berupa emas dan permata, tentu saja manusia tidak dapat bertahan di bumi ini. Allah juga menciptakan air yang kemudian bisa menghidupkan tanah yang sudah mati dan juga menghidupkan semua makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Dalam surat al- Anbiya’ Allah SWT.  berfirman:

 “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. al-Anbiya’ (21): 30).

Dalam ayat yang lain Allah SWT. berfirman:

“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.”(QS. al-Furqan (25): 48-49).

Allah menundukkan bumi dengan segala isinya untuk manusia, sehingga ia bisa berjalan di atas permukaannya, makan dari rizki yang diberikan-Nya, menjadikannya sebagai tempat bersandar dan berbaring, serta memberikan kepadanya keleluasaan untuk berjalan-jalan, membangun, dan bercocok tanam di atasnya. Allah melengkapi bumi dengan berbagai variasi yang menjadikan bumi begitu indah dilihat dan dinikmati sehingga menyadarkan kepada manusia bahwa semua itu diciptakan oleh Dzat Yang Maha Hebat, yaitu Allah SWT.

Karena semua itu diciptakan oleh Allah untuk manusia, maka sebagai tanggung jawab yang harus diemban manusia adalah memelihara dan memakmurkan bumi ini, bukan sebaliknya malah merusak dan membinasakannya. Tanggung jawab ini adalah sebagai konsekuensi dari kesediaan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus menerima amanat untuk menjaga dan memakmurkan bumi (QS. al-Ahzab (33): 72).

Perintah Memelihara Lingkungan

Dalam perspektif aqidah Islam penciptaan alam semesta (lingkungan) dengan semua elemen yang ada di dalamnya merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah swt. Semua ciptaan Allah SWT. baik yang berujud makhluk hidup maupun makhluk mati memiliki tugas yang sama, yakni bersujud bertasbih kepada Allah SWT.  Alam semesta bersama-sama manusia bersujud kepada Alah, menaati perintah-Nya, dan patuh terhadap semua hukum yang berlaku bagi semua makhluk.

Alam semesta ini juga bertasbih kepada Allah SWT, meskipun kita tidak memahami bentuk pujian mereka. Namun, dalam proses penciptaan selanjutnya, Allah membedakan manusia dari seluruh elemen lingkungan dengan memberikannya akal dan kemampuan-kemampuan rohani, yang kemudian menjadikan manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah (2): 30) dan sekaligus membawa beban amanah sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu olehmanusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzab (33): 72).

Allah melengkapi manusia dengan tabiat yang majemuk sehingga mampu membangun peradaban di atas bumi dan karena hal inilah Allah melebihkan manusia dari semua makhluk ciptaan Allah lainnya, termasuk melebihi malaikat terutama karena manusia memiliki kemampuan berpikir dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga manusialah yang berhak menjadi khalifah di bumi ini (QS. al-Baqarah (2): 33).

Karena itulah manusia memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pemeliharaan lingkungan. Sebagai konsekuensi ditundukkannya segala elemen lingkungan kepada manusia, maka selanjutnya manusia dituntut untuk berinteraksi dengan lingkungan secara baik sesuai dengan hukum-hukum yang sudah digariskan oleh Allah swt, melaksanakan serta memelihara pemberlakuan hukum-hukum tersebut dalam aplikasi nyata. Peranan manusa ini dikategorikan sebagai tujuan-tujuan yang sangat mulia di tengah-tengah kehidupan manusia, yang dalam bahasa al-Raghib al-Asfahani (dalam al-Qardlawi, 2002: 24-26) merupakan hikmah Allah kepada para mukallafin (para Muslim dewasa) yang pada akhirnya dibagi menjadi tiga tujuan, yaitu: 1) untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah SWT. (QS. al-Dzariyat (51): 56), 2) sebagai wakil Allah di muka bumi (QS. Shad (38): 26), dan 3) membangun peradaban di muka bumi (QS. Hud (11): 61).

Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik terhadap lingkungan dengan menumbuhkan rasa cinta kepada sekeliling kita yang terdiri dari makhluk hidup dan makhluk mati. Makhluk hidup, mulai dari hewan-hewan melata sampai burung-burung harus dilihat sebagai layaknya makhluk hidup seperti kita.  Makhluk mati pun harus dilihat bahwa mereka sebenarnya dalam keadaan bersujud kepada Allah SWT.

Karena itulah, berbuat baik kepada lingkungan merupakan bagian dari perbuatan baik kita. Kita memberi kesempatan semua makhluk (lingkungan) untuk melaksanakan tugas bersujud kepada Allah sebagaimana kita. Kita tidak boleh merusak lingkungan, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seorang Muslim juga harus melihat alam sekitar ini sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Selain itu, seorang Muslim juga harus melihat alam sebagai nikmat yang dikaruniakan Allah SWT. kepada manusia (Wallahu a’lam).


0 Comments

Leave a Reply